~~~ Welcome to my blog! And don't forget to visit again ^^ Arigato! ありがとう ~~~
Welcome to Chovanila Zone Blog! Please leave a chat or comment :)
RSS

Friday 2 May 2014

Cerpen : Dibalik Senyuman Ibu Sang Nelayan Kerang

             Terik matahari menyengat di tubuhku. Angin sepoi-sepoi seolah mengiringiku berjalan. Penuh sapaan ramah yang harus kubalas dengan senyuman. Langkah kakiku terasa sangat berat, karena harus melawan hembusan angin dari arah berlawanan. Keringat pun bercucuran dari sekujur tubuhku. Namun, inilah yang harus kujalani setiap hari. Melangkahkan kaki demi menuntut ilmu, meskipun lelah kurasakan.
            Akhirnya, rumah kesayanganku telah terlihat di depan mata. Kulihat ibu sedang merebus kerang bersama ibu-ibu yang lain. Aku mengetuk pintu rumah. Tampak seorang anak membukakan pintu. Itu Arin, adikku yang masih duduk di bangku kelas 5 SD. Ia menyambut kedatanganku dengan gembira. “Kak Fifi pasti lapar ya? Arin sudah buatkan sup ayam kesukaan kakak. Oh ya, nanti tolong beritahu ibu ya kak, kalau masakannya sudah matang.”ucap Arin. Aku mengangguk. “Terima kasih ya dek.”jawabku. Walaupun masih berumur 11 tahun, tetapi Arin sangat pandai dalam hal memasak. Ia selalu mempraktekkan resep yang dipinjamnya di perpus sekolahnya.
            Kuletakkan tas sekolahku di kursi kamar. Setelah berganti pakaian dan makan siang, aku menghampiri ibu yang sedari tadi merebus kerang di depan rumah. “Assalamualaikum...”ucapku ramah. “Waalaikumsalam..”balas mereka. “Bu, lebih baik sekarang ibu istirahat saja ya di rumah, biar Fifi yang merebus kerang-kerang ini. Ibu pasti lelah, bekerja sejak pagi tadi. Oh ya, masakannya sudah matang.”kataku. Ibu menjawab, “Wis, ibu wae nduk. Kowe ya kesel tho, mulih saka sekolah. Lek ana tugas sekolah, ndang digarap kana! Ya wis, kowe karo Arin mangan wae dhisik, ibu mengko wae.”(Sudah, ibu saja. Kamu juga lelah kan, pulang dari sekolah. Jika ada tugas sekolah, segera dikerjakan sana! Ya sudah, kamu dan Arin makan saja dulu, ibu nanti saja). Itulah ibuku. Beliau adalah wanita yang pekerja keras. “Ya sudah, jika ibu menolak. Fifi masuk rumah dulu ya. Fifi mau belajar untuk ulangan besok. Ibu-ibu, pareng rumiyin.”ucapku berpamitan kepada tetangga-tetangga yang lain.
            Aku kagum melihat kekompakan para warga kampung nelayan. Mereka bekerja sama demi keluarganya. Hasil yang mereka dapat pun dibagi bersama. Beginilah ceritanya…
            Para lelaki di kampung nelayan akan bekerja mencari kerang di malam hari. Mereka menaiki perahu yang ada di sungai depan rumah. Setiap pagi hari, para ibu-ibu merebus kerang, dan ada juga yang bertugas memisahkan kulit kerang dari kerangnya. Lalu, kerang-kerang itu dijual bersama-sama ke pasar. Hasil yang mereka dapatkan hari itu, dibagi bersama-sama. Begitulah kegiatan mereka sehari-hari.
            Malam itu, hujan sangat deras. Kulihat sungai depan rumah. Permukaan air sungai semakin tinggi. Aku takut, jika setiap hari hujan seperti ini, kemungkinan besar banjir akan melanda. Namun, ini sudah waktunya musim hujan tiba. Aku memikirkan nasib para nelayan yang mencari kerang. Jika cuaca buruk, mereka tak bisa berlayar. Pendapatan mereka pun akan berkurang.
            Keesokan harinya, seperti biasa, aku dan Arin berangkat ke sekolah. Setelah berpamitan, kami berjalan menuju jalan raya. Jarak antara rumahku dengan jalan raya cukup jauh. Karena itulah, kami berangkat pukul 05.45 dari rumah. Setelah sampai di jalan raya, aku mencari angkot menuju sekolah, sedangkan Arin hanya berjalan sedikit sudah sampai sekolahnya. Deru mesin kendaraan yang amat bising terdengar di telingaku. Tak lama, angkot yang aku tunggu pun telah tiba.
            Sepulang sekolah, aku berjalan menuju jalan raya depan sekolah untuk mencari angkot. Tiba-tiba, aku melihat sebuah dompet yang tergeletak di tanah. Kuambil dompet itu. Isi uang di dalamnya banyak sekali. Kira-kira lima belas lembar uang nominal seratus ribuan. Ternyata, disitu terdapat nama pemiliknya. Tono Hardianto, itulah nama yang kulihat. Alamat rumahnya yaitu di Jalan Diponegoro nomer 8. Dengan segera aku memberhentikan angkot yang lewat di depanku. “Pak, tolong antarkan ke Jalan Diponegoro ya!”ucapku kepada sopir angkot. Lelaki itu mengangguk.
            Setelah sampai, aku segera mencari alamat yang ada di KTP itu. Akhirnya, aku menemukan rumah yang kucari. Aku mengetuk pintu segera, dan mengucap salam. Tampak dari dalam rumah, seorang lelaki setengah baya membukakan pintu.
            “Permisi pak. Apakah benar ini rumah Pak Tono Hardianto?”tanyaku yang masih mengenakan seragam sekolah. “Iya, saya Pak Tono. Memangnya ada apa ya mbak, datang kemari?”tanya lelaki itu yang ternyata dialah orang yang kucari. “Oh ini pak, saya mau mengembalikan dompet bapak. Tadi saya menemukannya di depan sekolah saya.”jawabku seraya menyerahkan dompet yang kupegang. “Iya, benar mbak ini dompet saya. Terima kasih ya, mbak jujur sekali. Sebagai rasa terima kasih saya, ini ada sedikit uang untuk mbak. Mohon diterima.”kata Pak Tono sambil menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan yang tadi ada di dalam dompetnya. Aku menolaknya, karena aku ikhlas mengembalikan dompet itu. “Terima kasih pak. Tapi saya ikhlas kok mengembalikan dompet ini, karena saya tahu, pemiliknya pasti sekarang sedang bingung mencarinya.”. Pak Tono berkata, “Mbak sungguh berhati mulia. Semoga Allah membalas perbuatan baik mbak ini ya. Amin…”. Aku mengangguk dan berpamitan. Sebenarnya, Jalan Diponegoro tidak sejalur dengan arah rumahku. Namun, jika kita menemukan barang yang bukan milik kita, pasti harus dikembalikan ke pemiliknya.
            Aku melihat saku bajuku. Tidak ada uang untuk naik angkot menuju rumah. Bagaimana ini? Uang untuk naik angkot sudah terpakai tadi, saat mengembalikan dompet ke rumah Pak Tono. Ya sudahlah, akhirnya aku memilih untuk berjalan kaki menuju rumah. Padahal, dari Jalan Diponegoro menuju rumahku yang berada di desa Bluru Kidul itu jaraknya sangat jauh.
            Sesampai di rumah, aku terlihat lelah sekali. Sore itu, yang kurasakan hanya lelah dan mengantuk, meskipun sebenarnya aku belum makan siang. Arin masuk ke kamarku. “Kak Fifi belum makan ya? Arin ambilkan saja ya Kak! Kalau kakak nggak makan, nanti bisa sakit.”ucapnya penuh perhatian kepadaku. “Tidak perlu, Rin. Biar Kak Fifi ambil sendiri saja. Sekarang kamu istirahat, nanti malam mengerjakan tugas sekolah.”jawabku. Arin mengangguk, lalu ia berlalu meninggalkanku.
            Setelah makan siang, aku mencoba untuk tidur. Namun tiba-tiba, Arin masuk ke kamarku dengan keadaan panik. “Kak, Kak Fifi, Kak Fifi!”ucap Arin dengan nada agak keras. Ia menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku membuka mataku. “Kenapa dek, kok panik gitu?”tanyaku ikut panik. “Ibu Kak! Ibu! Ibu mengeluh, katanya perutnya sakit. Ayo kak, lebih baik kakak lihat sendiri saja di kamar ibu!”jawab Arin sambil menggandeng tanganku.
            Kami berdua masuk kamar ibu. “Astaghfirullah!”ucap kami bersamaan saat melihat ibu pingsan dalam keadaan pucat sekali. “Ya sudah Rin, kamu tenang ya! Kak Fifi panggil Pak Bandi dan Bu Susi dulu! Kita bawa ibu ke rumah sakit sekarang!”kataku. Aku segera keluar rumah dan menghampiri Pak Bandi, tetangga sebelah rumah. “Assalamualaikum..”ucapku panik. “Waalaikumsalam…”jawab Pak Bandi dari dalam rumahnya. “Ada apa nak Fifi, kok terlihat panik seperti itu?”tanya beliau. “Pak, saya minta tolong. Ibu sakit. Sekarang beliau tak sadarkan diri. Tolong antarkan ibu ke rumah sakit pak.”jawabku. “Astaghfirullah.. Ya sudah, tunggu sebentar ya nak.”ucap Pak Bandi. Alhamdulillah, batinku dalam hati. Aku meminta tolong Pak Bandi, karena hanya beliau di kampung ini yang memiliki kendaraan untuk mengantar ibu. Pak Bandi memiliki becak yang biasa digunakan untuk mengangkut hasil kerang sehari-harinya. Sedangkan warga kampung ini, mereka rata-rata memiliki sepeda pancal.
            Aku memopoh ibu keluar dari kamar. Pak Bandi menunggu di depan rumah dengan becaknya. Arin tampak panik dan khawatir terhadap ibunya. “Rin, kamu jaga rumah ya! Kak Fifi dan Pak Bandi akan mengantar ibu ke rumah sakit. Percayalah dan berdoalah, semoga ibu tidak apa-apa.”ucapku. “Iya kak. Hati-hati ya Kak!”balasnya.
            Letak rumah sakit cukup jauh dari rumahku. Aku jadi ingat kejadian satu minggu yang lalu. Waktu itu, ibu mengeluh hal yang sama. Aku ingin memeriksakan ibu ke rumah sakit. Namun ibu menolak. Beliau mengatakan, jika dirinya tidak apa-apa, hanya kelelahan. Ibu malah tersenyum, mungkin agar aku tenang. Saat itu sebenarnya aku mulai curiga, namun semua itu kulupakan. Dan siang ini, ibu mengeluh lagi. Sakit apa sesungguhnya ibuku ini ya Allah?
            Setelah sampai, aku dan Pak Bandi memopoh ibu untuk masuk. Saat itu juga, ibu ditangani di ruang UGD (Unit Gawat Darurat). Pak Bandi meminta izin kepadaku untuk kembali ke rumah, dan mengantarkan Arin ke sini. Aku tak tega melihat Arin sendirian di rumah. Pasti ia juga cemas terhadap keadaan ibunya.
            Sekitar 40 menit lamanya, Pak Bandi dan Arin sampai di rumah sakit. Mereka menghampiriku yang sejak tadi duduk di depan ruang UGD. “Kak, bagaimana kondisi ibu sekarang?”tanyanya. Aku menggeleng tak tahu. “Belum ada kabar dek. Kita tunggu saja ya!”jawabku pasrah.
            Tak lama, tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruangan. Aku dan Arin segera menghampirinya. Kami ingin bertanya tentang keadaan ibu sekarang. “Pak dokter, bagaimana kondisi ibu saya dok?”tanya Arin. “Pasien kritis dan harus ditangani.”jawab dokter itu. Astaghfirullah, batinku. “Memangnya, ibu saya sakit apa dok?”tanyaku. “Lho, kalian belum tahu? Bukankah Bu Siti sudah pernah periksa kesini sebelumnya?”tanya dokter lagi. Berarti ibu menyembunyikan penyakitnya. Beliau tidak ingin aku dan Arin tahu. Arin menggeleng tak tahu. “Ibu kalian menderita sakit gagal ginjal. Salah satu ginjalnya sudah tidak berfungsi. Untungnya, kami sudah mendapatkan pendonor ginjal. Jadi, harus segera dilakukan operasi.”ucap Pak Dokter. Aku dan Arin kaget mendengar jawaban Pak Dokter. Kok bisa sih, ibu menyembunyikan penyakitnya seperti ini, batinku dalam hati. Kami berdua tak kuat menahan tangis.
            Seorang suster menghampiriku. “Mbak, mari ikut saya menuju ruang administrasi.”ucap suster itu. Aku mengangguk. Arin mengikutiku dari belakang. Pak Bandi tetap menunggu di kursi.
            “Silahkan duduk.”ucap suster setelah kami memasuki ruang yang dimaksud. Aku dan Arin duduk. “Begini mbak. Ibu anda harus segera dioperasi. Silahkan diselesaikan dulu pembayarannya. Biaya operasi tiga puluh juta. Untuk rawat inap, bisa dipilih mau kelas apa. Ada kelas satu, kelas dua, kelas tiga, VIP, Super VIP, dan ada yang kelas bangsal.”kata suster. Aku kaget, mahal sekali biaya operasinya. “Apa tidak boleh dicicil sus, insyaallah saya akan menyelesaikan pembayarannya sekitar satu minggu kedepan.”ucapku memelas. Aku tak memiliki uang sebanyak itu. Tabunganku, mungkin jika dipecah jumlahnya hanya sekitar lima puluh ribu. Begitu pula dengan tabungan milik Arin. Ibu juga tak memiliki cadangan uang lebih. “Maaf, untuk pembayaran ini tidak dapat dicicil. Harus diselesaikan hari ini juga. Jika tidak, ibu anda terpaksa harus keluar dari rumah sakit ini, dan operasi pun dibatalkan.”jawab suster itu tegas. “Baiklah sus. Insyaallah saya akan berusaha mengumpulkan uang hari ini juga!”balasku. Arin menatapku sambil menangis. Ia tahu, tak mungkin kakaknya bisa mendapat uang sebanyak itu dalam beberapa jam saja.
            Aku dan Arin keluar dari ruangan. “Kakak yakin bisa melunasi biaya operasi ibu?”tanyanya ragu. Aku menggeleng. “Kak Fifi juga bingung dek.”jawabku. Tiba-tiba, Pak Tono, orang yang tadi kehilangan dompetnya, menghampiri kami berdua. “Pak Tono!”ucapku. Beliau mengangguk dan tersenyum. Arin bingung melihatku. “Kak Fifi kenal orang ini?”tanyanya. Aku menjawab, “Iya Rin. Tadi, kakak menemukan dompet Pak Tono di depan sekolah kakak, lalu Kak Fifi mengembalikan dompet beliau. Oh ya, Pak Tono, perkenalkan, ini adik saya, namanya Arin.”. Pak Tono tersenyum kepada Arin. “Mbak, tadi bapak tak sengaja ikut mendengar percakapan di dalam. Kalau mau, bolehkah saya membantu untuk membayar operasi ibu mbak? Saya ikhlas kok membantunya.”ucap Pak Tono kepadaku. Arin menjawab, “Alhamdulillah Kak, ada yang membantu kita!”. “Iya dek. Terima kasih ya Pak, Alhamdulillah!”ucapku. “Sama-sama. Oh ya nak Arin, bapak sangat kagum melihat kejujuran kakak kamu. Jika dompet itu ditemukan orang lain, bapak tak yakin, bisa kembali ke tangan bapak.”kata Pak Tono. Aku dan Arin tersenyum gembira.
            Akhirnya, masalah biaya sudah terselesaikan. Ibu menjalani operasi. Sambil menunggu hasilnya, kami berbincang-bincang bersama Pak Tono. Ternyata, anak Pak Tono sakit tipus, dan sekarang diopname. Karena itulah, kami bisa bertemu di tempat yang sama.
            Sekitar satu jam berlalu. Belum ada tanda-tanda operasi selesai. Yang bisa kami lakukan sekarang hanyalah berdoa, berharap agar operasinya berhasil. Tiba-tiba lampu operasi mati. Itu tandanya operasi sudah selesai. Seorang dokter keluar dari ruangan, dan menghampiri kami yang tampak cemas sedari tadi.
            “Bagaimana Pak Dokter, operasinya berhasil kan? Ibu kami selamat kan Pak?”tanya Arin tak sabar. “Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, dan…”ucapan Pak Dokter berhenti. Arin memelukku. Ia menangis di pelukanku. Aku tak kuat menahan air mata. “Tunggu! Saya belum selesai bicara. Dan.. Ibu kalian selamat. Kondisinya semakin membaik.”kata Pak Dokter sambil tersenyum. Aku menatap Arin yang tampak bahagia mendengarnya. “Rin, ibu selamat! Alhamdulillah!”ucapku menangis terharu. Terima kasih ya Allah, Engkau mendengarkan doa kami, ucapku dalam hati.
            Ibu dipindah ke ruang rawat inap VIP. Aku sudah tak sabar melihat ibu siuman. Terdengar suara adzan isya’ berkumandang. Aku dan Arin segera menuju mushola untuk sholat. Kebetulan, musholanya tak jauh dari ruang tempat ibu dirawat.
            Di mushola, kami bertemu Pak Tono. Seusai sholaat, kami pun menghampirinya. “Pak, bapak mau kan ikut kami ke ruangan ibu? Arin yakin, pasti ibu ingin bertemu dengan orang yang telah menolongnya.”ucap Arin memulai pembicaraan. Pak Tono mengangguk. Aku tersenyum senang melihatnya.
            Kami bertiga berjalan ke ruangan ibu. Kulihat ibu yang masih belum siuman sampai sekarang. Aku mencium tangan beliau. Tiba-tiba, tangannya bergerak perlahan. Aku tak menyangka, ibu siuman. Ibu membuka matanya. Aku dan Arin berseru, “Ibu!”. Kami memeluk ibu. Beliau tersenyum dan membalas pelukan kami. “Oh ya bu, perkenalkan, ini Pak Tono. Beliau lah yang menolong ibu. Berkat Pak Tono, ibu bisa dioperasi secepatnya, karena biayanya telah dilunasi.”ucapku. “Terima kasih ya Pak. Saya tak tahu harus membalas kebaikan bapak dengan apa.”kata ibu kepada Pak Tono. Pak Tono menjawab, “Saya juga berterima kasih kepada nak Fifi. Anak ibu jujur sekali. Dialah yang mengembalikan dompet saya yang terjatuh. Ibu sangat pandai mendidik anak. Saya kagum kepada ibu.”. Ibu tersenyum dan mengangguk. Beliau bertanya kepadaku, “Oh iyo nduk, sapa sing nggawa ibu mrene?” (Oh iya nak, siapa yang membawa ibu kesini?). “Pak Bandi bu. Tadi beliau sudah pulang karena mau mengantarkan anaknya ke posyandu.”jawabku.
            Lima hari kemudian… Dokter mengatakan, bahwa ibu sudah boleh pulang ke rumah. Tentunya, kami sangat senang sekali. Namun pesan dari dokter, untuk beberapa hari ini ibu tidak boleh bekerja terlalu berat, ibu harus istirahat. Aku berjanji, akan menggantikan pekerjaan ibu sepulang sekolah.
            Pak Tono mengantarkan kami pulang. Anak beliau yang sakit tipus, kata dokter insyaallah baru besok pulang. Kami juga mendoakan anak Pak tono, agar cepat sembuh. Sekitar 20 menit, kami sampai di rumah. Pak Tono akhirnya mengetahui rumah kami. Rumah sederhana yang terletak di pinggir sungai.
            Warga kampung nelayan menyambut kedatangan ibu dengan gembira. Ibu-ibu tetangga memberi ucapan selamat kepada ibu. Aku dan Arin tersenyum. Tiba-tiba, Bu Susi, istri Pak Bandi, berkata, “Bapak-bapak, ibu-ibu, bagaimana kalau kita rayakan kedatangan Bu Siti bersamaan dengan acara nyadran tahun ini?”. Semua warga mengangguk setuju. Aku baru ingat, kalau sekarang sudah memasuki bulan mulud. Di kalender Jawa, terdapat bulan mulud, atau biasa disebut maulid. Setiap memasuki bulan mulud, kampung kami mengadakan acara Nyadran. Nyadran adalah upacara tasyakuran laut yang sudah berlangsung secara turun-menurun di kampung nelayan. Bagi para warga, acara itu berfungsi untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, juga sebagai rasa syukur atas hasil laut selama setahun terakhir.
            Keesokannya, acara Nyadran diselenggarakan. Ritual para nelayan kerang diawali dengan prosesi menaiki perahu dari Bluru Kidul ke Makam Dewi Sekardadu di Pantai Kepetingan, Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, kira-kira sekitar 10 kilometer dari Kota Sidoarjo. Bagaimana keadaan Makam Dewi Sekardadu dan siapa Dewi Sekardadu itu? Dewi Sekardadu adalah ibunda Sunan Giri, salah satu wali penyebar Islam di Pulau Jawa (walisongo). Makamnya selalu menjadi rujukan para nelayan di Kabupaten Sidoarjo. Sebagian besar nelayan turun di dermaga, kemudian jalan kaki sekitar 500 meter. Di belakang makam ini terdapat sungai kecil. Kampung ini penuh tambak dan banyak terdapat hutan bakau. Seperti apa ritualnya? Para nelayan menaruh sesajen yang sudah dilarung di belokan sungai. Lalu, mereka berdoa bersama, dipimpin oleh pemimpin doa atau kiai kampung. Doa secara Islam ini memohon kepada Allah agar warga Bluru Kidul terlindungi dan diberi rezeki. Juga agar arak-arakan saat itu berlangsung lancar dan aman. Selain menaruh sesajen, masing-masing keluarga nelayan membawa tumpeng untuk didoakan di pesarean Dewi Sekardadu. Dan puncak acara Nyadran yaitu pengajian bersama di kompleks Makam Dewi Sekardadu. Mereka nyekar (menaruh bunga) secara bergantian dan menyentuh makamnya.

            Dan inilah acara yang ditunggu anak-anak. Setelah ritual dilaksanakan, para nelayan kerang kembali ke desa Bluru Kidul. Saatnya hiburan bagi warga. Biasanya, diadakan lomba dayung perahu, orkes dangdut, dan pengajian umum. Oh ya, Bupati Sidoarjo, Bapak Saiful Illah, juga turut meramaikan acara ini. Nyadran bisa berlangsung sekitar 2 sampai 3 hari, bahkan terkadang lebih. Jika seperti ini, kekompakan para nelayan kerang semakin terlihat. Aku bangga terhadap kampungku, desaku, dan kotaku, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Semoga, ciri khas kampung ini tidak akan punah pada generasi selanjutnya…

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment