~~~ Welcome to my blog! And don't forget to visit again ^^ Arigato! ありがとう ~~~
Welcome to Chovanila Zone Blog! Please leave a chat or comment :)
RSS

Friday 1 August 2014

Amnesia - Kado Terindah

             Esok. Aku tak tahu harus senang atau sedih. Waktu terus berjalan, dan aku tak mampu menghentikannya. Kumasukkan beberapa pakaian ke dalam tas ransel. Perjalanan dari Tulungmegung ke Sidopono sekitar 15 jam kata Kakek Alif. Dan harus menyeberang sebuah selat, karena kedua kota itu berbeda pulau letaknya.
            “Farah.”panggil Safira seraya menghampiriku yang berada di kamar. Ia terkadang masih memanggilku Farah, namun kadang juga memanggilku Friska. “Iya, Saf. Ada apa?”tanyaku. “Kakek memintaku, agar aku dan Kakek bisa ikut mengantarmu dan Nino ke pelabuhan. Boleh kan?”pintanya. Aku mengangguk, dan melanjutkan berkemas-kemasku.
-o-
            Perpisahanku dengan mereka semakin dekat. Kalimat itu selalu terbayang di pikiranku. Hari ini, 23 Januari 2015. Hari yang menyaksikan perpisahanku dengan mereka, dan menjadi tanggal yang akan kucatat di memoriku.
            Aku berdiri di depan kaca almari kamar. Terlihat sederhana sekali. Dengan bawahan celana panjang hitam dan atasan baju lengan panjang putih polkadot merah muda. Seperti biasa, rambut panjang sepinggang itu tetap kuurai. Entahlah, aku enggan menguncirnya. Aku hanya menjepit rambutku dengan jepit berwarna merah yang kubeli di sekolah itu. Tiba-tiba, Safira ikut berdiri di sebelahku. Rambutnya terurai juga, namun panjangnya masih kalah dengan rambutku. Memakai atasan yang sama persis dengan yang kupakai. Namun bawahannya berbeda. Ia memakai celana panjang putih.
            Aku merasa muka kami berdua ada kemiripan. “Saf, aku merasa kita mirip.”ucapku memulai pembicaraan. “Aku pun begitu. Meskipun tak terlalu mirip, namun setidaknya ada kemiripan. Mungkin bentuk muka dan mata kita terlihat agak mirip.”balasnya. Kuamati lagi lekat-lekat. Mirip! Benar kata Safira, bentuk muka dan mata yang seolah-olah membuat kami mirip.  Meskipun selisih umur kami 3 tahun, namun tak terlalu kelihatan perbedaan diantara kami. Tinggi badan kami hampir sama. Begitu pun dengan postur tubuh.
            Tiba-tiba Kakek Alif memanggil kami. “Farah, Safira, ada nak Nino! Cepatlah keluar dari kamar.”. Kami menghentikan pembicaraan, dan menyusul Kakek Alif di ruang tamu. “Pagi Friska, Safira!”sapa Nino ramah. “Pagi juga, No.”balasku tersenyum. “Pagi juga Nino.”tambah Safira. “Nino, Safira dan Kakek Alif ikut mengantar kita ke pelabuhan. Boleh kan?”tanyaku kepada Nino. “Tentu. Baiklah, ayo kita berangkat! Kapal penyeberangan tak selalu ada setiap waktu.”balasnya.
            Seketika aku ingat Bu April. Dan aku ingin berpamitan kepada beliau. Beliau orang yang baik dan penyayang. Aku pun segera berlari menuju rumahnya.
            “Assalamualaikum...”ucapku sambil mengetuk pintu. “Waalaikumsalam…”jawab Bu April dari dalam rumah sambil membukakan pintu. “Eh nak Farah, silahkan masuk. Cantik sekali, mau kemana?”tambah Bu April. “Terima kasih, Bu. Tapi, saya tidak punya banyak waktu.  Saya hanya ingin berpamitan kepada Bu April, karena saya harus pulang ke Sidopono. Saya ingin mengucapkan terima kasih, selama ini Bu April selalu bersikap baik kepada saya.”ucapku yang masih menggendong tas ransel di punggung. “Sama-sama, nak. Ibu juga meminta maaf kalau ada perbuatan atau perkataan ibu selama ini yang tidak berkenan di hati nak Farah. Bu April senang sekali, bisa berkenalan dengan gadis yang ramah dan cantik sepertimu. Jika ada waktu, jangan lupa untuk berkunjung kesini ya. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untuk nak Farah.”balas Bu April seraya memelukku. Setelah itu, aku segera kembali ke rumah, karena yang lain sudah menunggu.
            Kami berempat menuju pelabuhan naik angkot hijau. Letak pelabuhan agak jauh memang. Setelah sampai, kami pun turun dan berjalan menuju loket pembelian tiket kapal. Ternyata cukup banyak calon penumpang yang tujuannya ke Pulau Nile. Perlu diketahui, kota Sidopono terletak di Pulau Nile, sedangkan kota Tulungmegung terletak di Pulau Klora.
            “Friska, aku saja yang mengantri untuk membeli tiket. Aku tak mau kau berdiri lama.”ucap Nino. Aku tersenyum, dia sungguh perhatian. Aku mencari tempat duduk yang tak jauh dari situ. Alhasil, aku duduk di sebelah Safira dan Kakek Alif.
            Tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku, “Friska!”. Aku menoleh, mencari sumber suara. Suara itu sepertinya tak asing bagiku. Suara lelaki, dan yang pasti itu bukan suara Nino. “Friska!”. Terdengar lagi, dan kali ini semakin dekat. Ternyata suara… Kak Nugi! Lama tidak bertemu dengannya.
            “Kak Nugi!”seruku. “Apa kabar, kak? Kenapa waktu itu pindah dari SMPN 1 Tulungmegung?”tambahku. “Kabar kakak baik kok. Kakak pindah waktu itu karena ada urusan penting di luar kota, yaitu kota Sidopono.”jawabnya. “Berarti, kakak dari kota Sidopono?”tanyaku kaget. Ia mengangguk. “Kau Nino kan, sahabat Friska waktu kecil?”tanya Kak Nugi sambil melihat ke arah Nino. “Iya, kak. Sudah lebih dari delapan tahun ya kita nggak ketemu, kak!”balas Nino. Karena Kak Nugi dulu itu tetanggaku, jadi jelas kenal lah dengan Nino, teman bermainku sejak kecil.
            “Fris, ada yang ingin kakak sampaikan.”ucap Kak Nugi. “Silahkan. Ada apa?”tanyaku. “Kakak mohon, kamu, Nino, Safira, dan kakek pergi ke taman kota sekarang juga. Ini lebih penting daripada kalian berangkat ke Sidopono. Kakak yakin, kalian akan menemukan seseorang disana. Percayalah, kalian tidak akan menyesal jika melakukannya.”jawab Kak Nugi. Aku menatapnya, kali ini sepertinya Kak Nugi serius. Seseorang? Apakah dia orang yang penting, sampai kami harus mengorbankan ini semua?
            “Apa kau akan melakukannya, Friska?”bisik Nino kepadaku. Aku mengangguk. “Baiklah, aku percaya dengan Kak Nugi. Aku akan melakukannya.”jawabku yakin. Setelah berbicara seperti itu, Kak Nugi pun berlalu meninggalkan kami. Safira ingin mengejarnya, dan bertanya lebih jelasnya. Namun aku mencegah, sepertinya Kak Nugi tak menginginkan kami bertanya terlalu banyak.
            Alhasil, kami berempat pergi menuju taman kota. Letak taman kota atau biasa disebut alun-alun itu tak jauh dari sekolahku malah. Jika dari pelabuhan, tentunya sangat jauh. Aku penasaran, tentang ucapan Kak Nugi itu. Ingin rasanya, aku segera menemui ‘seseorang’ yang dimaksud.
            Kami turun dari angkot. Masih dengan tas ransel yang cukup berat menumpang di bahuku. Aku dan Safira berjalan di depan, sedangkan Nino menemani Kakek Alif berjalan di belakang. Aku menaiki tangga, dan berusaha untuk berjalan ke tengah taman agar lebih mudah mencarinya.
            Samar-samar, aku melihat seorang lelaki dan seorang wanita sedang duduk di kursi, depan monumen alun-alun yang berada di tengah taman. Ada juga seorang anak perempuan. Kami berjalan mendekatinya. Dan kurasa… Aku mengenal mereka!
            “Bunda!”teriakku memanggil dan berlari ke wanita itu. Beliau menoleh. Aku langsung memeluknya. Tak salah lagi, ini bunda. “Bunda, Friska rindu bunda.”ucapku seraya menangis dalam pelukannya. “Selama satu tahun bunda khawatir terhadapmu, Friska. Kamu menghilang tanpa kabar sejak kecelakaan bis waktu itu.”balas Bunda ikut menangis. “Nak Dewi? Kau anakku.”ucap Kakek Alif tiba-tiba. “Bapak? Alhamdulillah, Pak. Kita dipertemukan lagi! Maafkan Dewi, tak bisa menjaga bapak selama puluhan tahun ini.”jawab Bunda sambil memeluk Kakek Alif. Seketika aku bingung. Jadi Kakek Alif itu, kakekku?
            “Ayah, bunda!”seru Safira sambil memeluk ayah. “Kenapa ayah meninggalkan aku, saat aku masih berumur tiga tahun?”tanyanya sambil menatap ayah. “Musibah itulah yang memisahkan kita, nak. Maafkan ayah, masa kecilmu berlalu tanpa sosok orang tua. Kau hanya tinggal bersama kakekmu. Ayah merasa bersalah kepadamu, nak.”jawab ayah. Aku semakin bingung. Apa maksudnya ini?
            “Friska, Diana, kalian pasti belum tahu siapa sebenarnya Safira dan Kakek Alif ini? Mari ayah ceritakan yang sebenarnya dari awal.”kata ayah sambil berjalan menuju pendopo alun-alun. Aku menggandeng tangan Diana, adikku.
            Kami pun duduk. Ayah mulai bercerita. “Kakek Alif ini kakek dari kalian bertiga anakku, Safira, Friska, dan Diana. Dan Safira ialah kakak kalian berdua, Friska dan Diana. Mungkin Safira masih ingat semua kejadiannya. Jadi, waktu Safira masih berumur tiga tahun, dan Friska masih bayi, terjadi gempa bumi di kota Sidopono. Waktu itu, kami sekeluarga pergi ke luar kota untuk menghadiri acara, kecuali Safira dan kakek Alif yang tidak ikut dan menjaga rumah. Itu karena, Safira sakit cacar, dan kakek Alif yang menjaganya. Saat terjadi gempa bumi, ayah dan bunda sangat khawatir terhadap kalian. Karena kalianlah yang berada di rumah saat itu. Ternyata saat kami bertiga pulang, rumah sudah hancur. Kami tak tahu, keberadaan Safira dan kakek Alif sejak itu. Tapi kami yakin, kalau kalian berdua masih hidup. Akhirnya, kami tinggal bertiga di rumah yang baru. Dan, baru lahir Diana tiga tahun kemudian setelah kejadian itu. Jadi, mungkin Friska dan Diana tak mengira kalau kalian mempunyai seorang kakak perempuan. Maafkan ayah, tak pernah menceritakan hal ini sebelumnya ke kalian, terutama ke kamu, Friska.”. Aku mengangguk, dan berkata, “Tak apa, yah. Friska senang, akhirnya keluarga kita utuh kembali. Friska juga beruntung, diselamatkan oleh Safira dan Kakek Alif, yang ternyata mereka adalah keluargaku.”.
            “Kalian mau pulang ke Sidopono ya, Friska dan Nino?”tanya bunda tiba-tiba. Kami berdua mengangguk. “Baiklah. Besok kita kembali bersama ke kota Sidopono. Tentunya, bersama Safira dan kakek Alif juga.”tambah bunda. Aku tersenyum kepada Safira dan Nino. Dan mulai sekarang, aku harus memanggil Safira dengan tambahan ‘Kak’, ‘Kak Safira’!
            Tiba-tiba ada seseorang bertepuk tangan menghampiri kami. Dan itu… Kak Nugi! Sejak kapan ia ada disini? Muncul darimana coba? “Nak Nugi inilah, yang memberitahu bunda kalau Friska tinggal di Tulungmegung. Oleh karena itu, bunda jadi tahu keberadaanmu.”ucap bunda. “Terima kasih, Kak. Mungkin kalau waktu itu tidak bertemu kakak, aku tak bisa bertemu bunda hari ini.”kataku seraya tersenyum ke Kak Nugi. “Sama-sama. Kakak senang sekali, akhirnya kalian bisa bertemu orang tua kalian, Friska, Safira!”balas Kak Nugi.
            “Ada satu hal yang kau lupakan, Friska. Aku ingin mengucapkan sesuatu.”ucap Nino seraya menatapku. Aku hanya diam. “Selamat ulang tahun yang ke-13, Friska!”serunya. Aku masih bengong. 23 Januari? Ya ampun, aku baru ingat kalau ini hari ulang tahunku! “Umm,, terima kasih, Nino. Sungguh, aku tidak ingat kalau ini hari ulang tahunku! Mungkin aku terlalu sibuk memikirkan pulang hari ini.”balasku. Ia tersenyum, dan berkata, “Maaf, tak bisa memberimu apa-apa tahun ini.”tambahnya. Aku mengangguk, seolah tak mempermasalahkannya. “Kami sengaja datang ke sini hari ini, tepat di hari ulang tahun Kak Friska, agar kakak bisa merasakan kado terindah dari kami selama hidup kakak.”ucap Diana. “Terima kasih, ayah, bunda, dan Diana. Kado terindah ini, akan selalu kuingat selamanya, dimana aku dipertemukan dengan keluargaku, untuk yang pertama kalinya setelah aku mengalami amnesia.”balasku sambil menangis haru.
            Hari ini, aku banyak mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang kusayangi. Terima kasih ayah dan bunda, atas pengorbanannya bertemu denganku. Terima kasih Kak Safira, telah menjadi penyelamat dan teman disaat aku membutuhkan. Terima kasih Diana, atas kasih sayangmu selama ini kepada kakakmu. Terima kasih kakek Alif, telah menganggapku sebagai cucu saat aku amnesia, dan cucu untuk selamanya. Terima kasih Kak Nugi, telah menjadi penghubung antara aku dan keluargaku. Dan satu lagi, terima kasih Nino, telah menjadi sahabat terbaikku sejak kecil, selalu ada untukku, dan selalu melindungiku seperti kakakku sendiri.

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Amnesia - Komik Kenangan

            “Farah, kapan kita akan memulai?”tanya Safira. Aku mengerti maksudnya. Ya, pembuatan komik. “Sekarang kah? Mumpung hari Minggu.”jawabku. Ia mengambil buku gambarnya. Kali ini buku gambarnya tak lagi berwarna kuning, melainkan merah. Miliknya yang kuning telah habis terpakai.
            “Kau sudah ada ide cerita? Nanti akan kuilustrasikan.”tambah gadis itu. “Bagaimana kalau, bercerita tentang kisahku saat ini?”usulku. Menurutku, kejadian yang kualami sekarang menarik untuk dikomikkan. “Amnesia maksudmu?”tanyanya lagi. Aku mengangguk.
            Ia mengilustrasikan kejadian kecelakaan bis. Seorang anak perempuan yang diselamatkan oleh kakek dan cucunya. Ya, ilutrasinya mirip sekali. Tugasku adalah menuliskan percakapan (dialog) dari gambar-gambar tersebut.
            Berhari-hari, setiap pulang sekolah, kami selalu melanjutkan komik yang dibuat. Tentunya, tanpa mengganggu aktivitas sehari-hari dong! Seperti memasak, membantu kakek, belajar bersama, mengerjakan PR, dll.
-o-
            Pagi itu, sekolahku ramai sekali. Ternyata seperti ini suasana pengambilan rapor di SMPN 1 Tulungmegung. Ya, rapor kenaikan kelas! Eits, kenaikan kelas? Itu tandanya, aku akan naik kelas 9! Asyik!!!
            Kakek Alif mengambil rapor cucu-cucunya, raporku dan milik Safira. Kami tegang sekali, sakaligus penasaran peringkat berapa kami di kelas. Dan… saat yang ditunggu-tunggu! Pengumuman peringkat oleh Bu Jasmine! Karena anak-anak tak dibolehkan masuk ruangan, jadi kami terpaksa mengintip lewat jendela. Ke-21 temanku itu berusaha untuk mengambil tempat mengintip. Hehehe…
            “Baiklah, bapak dan ibu. Saya akan mengumumkan peringkat satu, dua, dan tiga. Peringkat tiga diduduki oleh Dianita Sarah. Peringkat dua diduduki oleh Safira Dina Aulia. Dan peringkat satu diduduki oleh Farah Azalia Maura. Semoga peringkat tersebut dapat dipertahankan, dan bagi yang belum mendapat peringkat, bisa menjadi motivasi untuk lebih giat belajar.”ucap Bu Jasmine dari dalam ruangan.
            Aku peringkat satu? Sedangkan aku adalah murid baru dikelas ini! Sarah menghampiriku, ia mengucapkan selamat kepadaku. “Farah, kau hebat! Meskipun umurmu masih dua belas tahun, tapi kau bisa berprestasi di kelas ini. Selamat! Aku kagum kepadamu…”ucapnya. “Kau juga tak kalah hebat kok! Jangan mempermasalahkan umur.. Hehehe! Selamat juga ya!”balasku sambil tersenyum.
            “Aku senang kau mendapat peringkat satu, Friska! Selamat!”kata Safira sambil menepuk bahuku. “Selamat juga, Safira! Maafkan aku, jika menggantikan posisimu di peringkat satu.”ucapku menunduk. “Tak apa, itu hak semua siswa di kelas ini yang sudah berusaha untuk mendapatkannya.”balasnya tersenyum. Ya, aku merasa bersalah menggantikan posisi Safira di peringkat satu, dan Safira menjadi peringkat dua.
            Setelah pengambilan rapor selesai, kakek Alif, aku, dan Safira pulang ke rumah. Masih ada tugas yang harus kami selesaikan, yaitu komik.
-o-
            Hari demi hari dilalui. Hingga akhirnya, pembuatan komik selesai! Kami segera mengirimkannya ke penerbit yang menerima komik. Kami berharap, semoga komik itu diterbitkan, dan ide ceritanya sesuai dengan kriteria penerbit.
             Sebenarnya, aku ingin segera mengetahui apakah komik kami itu layak terbit atau tidak. Namun, semua itu butuh penantian. Aku tak akan melupakan janjiku dengan Nino, untuk kembali ke kota Sidopono. Baiklah, aku akan bersabar! Semoga penantian ini tidak sia-sia. Amin..
-o-
            Sabtu, 21 Januari 2015. Aku menghempaskan tubuhku di kasur. Kulihat jam dinding. Masih pukul 13:16. Oh ya, aku perlu menjelaskan, jam dinding di kamarku itu jam digital, jadi bisa kutulis sedetail ini. Hehehe… Jam itu merupakan salah satu bingkisan yang kudapatkan waktu memenangkan lomba menulis di Makalung.
            Tiba-tiba, ada suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Aku melihatnya dari jendela. Seseorang turun dari motornya, dan berjalan menuju pintu rumah untuk mengetuknya. Aku membuka pintu dan menerima sebuah amplop dari Pak Pos yang berseragam oranye itu. Tak lupa, aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Aku pun segera berlari masuk rumah dan memanggil Safira.
            “Safira! Ada surat untuk kita, dari penerbit komik. Kita buka bersama yuk!”ucapku seraya menghampiri Safira yang sedang membuat kopi untuk Kakek Alif di dapur. “Oh ya? Aku tak sabar membukanya!”balasnya. Secangkir kopi itu lalu diantarkan ke kamar Kakek Alif. Kami duduk di kursi teras.
            Aku memegang amplop itu dan membukanya. Safira ikut membaca surat yang ada di tanganku itu. Inti dari surat itu ialah… KOMIK KAMI DITERBITKAN! Kami segera memberitahukan berita gembira ini kepada Kakek. Beliau senang sekali! Aku melihat isi amplop lagi. Ternyata kami diberi 5 eksemplar komik yang diterbitkan itu. Aku mengambilnya satu, dan berlari menuju kamar untuk mengambil secarik kertas. Ya, kertas itu berisikan alamat rumah Nino yang kutanyakan waktu itu. Aku bersiap-siap dan berganti pakaian. Tentunya, aku berpamitan kepada Kakek Alif dan Safira terlebih dahulu, tanpa aku beritahukan tujuanku kemana. Sepertinya Safira mengerti. Ia mengedipkan satu matanya kearahku. Aku tersenyum dan mengayuh sepedaku.
            Letak tempat tinggal Nino tak jauh dari sekolahnya, SMPN 3 Tulungmegung. Untungnya, alamat itu mudah dicari. Jl. Radipangan no. 9. Aku tak yakin setelah menemukan rumah yang dimaksud. Aku memarkir sepedaku dengan ragu. Lalu, aku berjalan menuju pintu rumah dan mengetuknya.
            “Assalamualaikum…”ucapku. “Waalaikumsalam…”jawab seseorang dari dalam rumah sambil membukakan pintu. Ternyata seorang wanita tua yang umurnya tak beda jauh dengan Kakek Alif.  “Ada apa nak ayu datang kemari?”tanya beliau. “Saya datang kesini ingin bertemu Nino, nek. Saya sahabatnya.”jawabku. “Ayu tenan kowe nduk. Ayo lungguh dhisik, dakcelukne bocahe yo. (cantik banget kamu nak. Ayo duduk dulu, nenek panggilkan ya).”ucap nenek. Aku mengangguk saja.
            Tak lama kemudian, Nino menghampiriku. “Sudah lama kau menunggu?”tanyanya. “Tidak juga. Sekitar lima menit.”jawabku. Ia duduk di sebelahku. “Nenekmu ramah sekali. Kau hanya tinggal bersama nenekmu?”tanyaku. Dia mengangguk. Tiba-tiba ia menatapku. “Kau sama saja seperti dulu. Rambut panjangmu selalu kau urai.”ucapnya. “Mungkin kalau sekolah tidak seperti ini. Kau terlihat rapi pagi ini, tidak sepertiku.”balasku. “Oh ya? Tapi kau cantik, Fris. Kau tetap Friska yang cantik dan manis, seperti yang kukenal.”ucapnya seraya tetap menatapku. Aku menunduk. Aku tak mengira, dia memujiku seperti itu. “Terima kasih untuk itu.”balasku singkat.
            Aku memberikan komik yang kubawa tadi kepada Nino. “Ini untukmu.”. “Komik? Ini komikmu dan Safira?”tanyanya. “Aku mengangguk. “Aku ingin kau menyimpannya. Dan, kau masih ingat perjanjian itu bukan?”balasku. “Masih. Dan aku selalu menunggu untuk itu. Kapan kita ke berangkat ke Sidopono?”ucapnya. “Besok lusa? Kau siap?”tanyaku balik. “Kalau kau siap, aku juga.”jawabnya. Aku tersenyum senang. Ia menanyakan alamat rumahku, dan berniat menjemputku lusa. Tak lama kemudian, aku berpamitan pulang.
            “Titip salam untuk Safira dan Kakek ya, Fris!”seru Nino. “Ok! Nanti kusampaikan. Assalamualaikum…”ucapku. “Waalaikumsalam…”balas Nino dan neneknya. Aku pun meninggalkan rumah itu dengan mengayuh sepedaku.
            Sesampainya di rumah, Safira menungguku di kursi teras. Aku menghampirinya, dan ikut duduk. “Kau bertemu dengannya?”tanyanya. “Ya. Dia menitipkan salam untukmu. Besok lusa kami berangkat.”balasku. “Besok lusa? Apa itu tidak terlalu cepat? Aku masih ingin kau tinggal disini.”bantah Safira. “Itulah keputusan kami. Kami ingin segera bertemu dengan keluarga, dan kembali ke sekolah kami. Maaf Saf, aku tak dapat menuruti keinginanmu.”ucapku lesu. “Aku mengerti. Baiklah, semoga kalian selamat dan bisa bertemu dengan orang-orang menyayangi kalian.”kata Safira seraya menitikkan air mata. Aku tak tega harus meninggalkan sahabatku ini. Namun, aku juga masih membutuhkan orang tua, saudara, sahabat, dan orang-orang terdekatku. Aku ingin bertemu mereka. Berada di tengah kehangatan keluarga adalah impianku saat ini.

            Safira meninggalkanku yang masih terduduk diam di kursi teras. Entahlah, aku bingung. Ini pilihan yang sulit bagiku. Satu tahun tinggal bersama Safira dan Kakek Alif, memberiku banyak pelajaran. Merekalah penulis kata-kata di memoriku, memori baru. Karena memori lama sempat hilang sekejap. Terlalu banyak pengalaman dan kenangan yang kudapatkan bersama mereka, membuatku semakin sulit untuk meninggalkannya. 

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Amnesia - Pertemuan Tak Disengaja

            Aku membolak-balik halaman kalender. Sekarang tanggal 28 November. Itu berarti, dua hari lagi lomba diselenggarakan. Dan besok, aku berangkat dari sekolah menuju kota Makalung. Aih, senangnya! Hal yang kutunggu-tunggu sejak tiga minggu yang lalu.
            “Farah! Kau terlalu lama memandangi kalender! Ayo cepat, aku sudah siap. Kau belum memakai sepatu!”ucap Safira dengan nada agak keras. Aku menutup kalender itu, dan mengambil sepatu kemudian memakainya. Lalu aku berlari menyusul Safira dan kakek Alif di teras. Setelah berpamitan, kami berangkat. Langit terlihat cerah, jadi kami tak perlu khawatir kehujanan seperti waktu itu.
            Saat kami menaiki tangga, tiba-tiba Pak Risky memanggilku. “Farah, Safira! Setelah ini kalian langsung ke ruang dua puluh satu ya! Akan ada pengarahan untuk pemberangkatan lomba besok!”. Kami mengangguk.
            Setelah meletakkan tas di bangku, kami segera menuju ruang 21. Kak Aria, Bu Jasmine, Pak Risky, dan Kak Taufan telah menunggu kami disana. Ya, aku dan Safira lah yang terakhir masuk dan telat bergabung.
            “Langsung saja kita mulai. Untuk pemberangkatan lomba besok, kalian berkumpul di ruang 19 sekitar jam 7 malam. Dari sekolah, kita akan naik bis. Lama perjalanan sekitar 9 jam. Perlengkapan wajib yang harus dibawa yaitu alat tulis, papan dada, seragam putih biru, sepatu hitam dan kaos kaki putih, pakaian secukpnya, buku catatan ekskul, perlengkapan sholat, mandi, dan obat-obatan. Untuk lomba melukis, peralatan lukis sudah disiapkan panitia, jadi tak perlu membawa. Kita pulang esok paginya, dan menginap di penginapan untuk semalam. Semua biaya ditanggung sekolah. Ada yang ditanyakan?”ucap Kak Aria memberi penjelasan. Apa? Naik bis? Kalau memang harus naik bis, lebih baik aku tidak ikut! Aku masih trauma karena tragedi kecelakaan bis waktu itu, yang menghilangkan ingatanku sampai sekarang. Aku tak mau! Sungguh!
            “Kak, apa tidak ada kendaraan lain selain bis? Saya trauma. Jika tidak ada, lebih baik saya tidak ikut.”kataku sambil mengacungkan tangan. Safira menoleh kearahku dan mengerti maksud ucapanku. “Eh, maaf. Maksud kakak bukan bis, tapi mobil sekolah. Kau tak keberatan kan, Farah?”tanyanya balik. Aku menggeleng. Lagipula, hanya untuk 6 peserta dan 4 orang pendamping, kurasa terlalu berlebihan jika naik bis. Kalau mobil, mungkin aku tidak trauma.
            Malamnya, aku dan Safira terlihat sibuk sekali menyiapkan barang-barang yang harus dibawa besok. Kakek Alif heran melihat tingkah kedua cucunya. Aku memeriksa kembali barang bawaanku di tas ransel yang biasa kupakai sekolah itu. Sepertinya sudah lengkap! Aku melihat benda-benda yang ada di meja kamar. Tanpa sengaja aku melihat sebuah dompet hangus yang kutemukan di lokasi kecelakaan waktu itu. Masih lengkap berisi kartu pelajar dan uang sepuluh ribu yang hangus. Entah mengapa, aku tertarik untuk membawa dompet ini. Walaupun mungkin tak berguna dan hanya memenuhi tasku saja.
            “Kau membawanya?”tanya Safira. Aku mengangguk. “Kau berharap bisa menemukan orang itu disana?”tanyanya lagi. “Aku tak tahu. Jika memang ditakdirkan untuk bertemu, pasti bertemu kok. Jika tidak, ya sudah. Aku yakin, pemilik kartu pelajar ini masih hidup. Meskipun tidak ada bukti pasti untuk itu.”jawabku.
-o-
            Tak tahu mengapa, berat rasanya meninggalkan kakek Alif sendiri, meskipun hanya 2 hari. Kakek berpesan, agar kami bisa menjaga diri baik-baik disana. Setelah shalat Maghrib, kami segera berpamitan kepada kakek Alif. Dengan tas ransel di punggung, kami berjalan beberapa meter untuk mencari angkot menuju sekolah, karena tak mungkin kami bersepeda.
            Setelah sampai di sekolah, kami segera menuju ruang 19. Disana sudah ada 2 anak yang datang, kurang 2 anak lagi. Kak Taufan juga belum datang nampaknya. Mobil sekolah telah menunggu kami di depan ruangan.
            Hingga akhirnya pukul 19:46 (ini terlalu rinci), semua telah berkumpul lengkap tak kurang satupun. Kami berangkat menaiki mobil sekolah, dan Kak Taufan lah yang menyetir. Kami bercanda bersama, menebak apa yang akan dilakukan disana, banyak sekali! Kata Kak Aria, perkiraan sampai di penginapan pukul 5 pagi besok. Lomba dimulai pukul 8 pagi. Masih ada waktu untuk mandi bukan? Untungnya, lokasi penginapan tak jauh dari lokasi lomba. Aku tertidur lelap. Suara yang terakhir kudengar adalah obrolan antara Kak Taufan dan Pak Risky.
            Aku membuka mataku perlahan. Kulihat manusia di sebelahku. Ternyata dia sudah bangun terlebih dulu dibanding yang lain. “Pagi, Safira!”sapaku. “Pagi juga, Farah! Kau sudah bangun rupanya!”balasnya. Ia sibuk merapikan rambut panjangnya yang berantakan karena terhembus angin dari jendela mobil selama semalam. Sepertinya keadaan rambutku juga seperti itu. Lebih buruk dari punya Safira malah! Hehehe…
            Kak Taufan masih serius menyetir. Teman mengobrolnya, Pak Risky, yang duduk di sebelah Kak Taufan, tertidur lelap. “Pagi Kak Taufan! Kak, ini jam berapa? Sudah sampai kota mana?”tanyaku. “Pagi juga Farah! Sekitar jam empat pagi. Sudah sampai kota Kuban, satu jam lagi sampai. Oh ya, kan sudah terdengar adzan Subuh, kita mampir mushola dulu ya?”balasnya. Aku mengiyakan.
            Setelah kami menemukan mushola, mobil terhenti. Bu Jasmine, Kak Aria, dan empat anak lain terbangun dari tidurnya. Semua turun dari mobil dan menunaikan sholat Subuh berjamaah.
            Usai sholat, kami kembali ke mobil. Perjalanan dilanjutkan.
            Satu jam kemudian… langit hitam berganti biru. Mobil kami berhenti di sebuah penginapan yang akan kami tempati nanti malam. Semua turun dan mengambil tasnya masing-masing di bagasi. Kedatangan kami disambut dengan gembira. Kami dipersilahkan untuk menaruh tas di kamar, mandi, dan sarapan. Pemilik penginapan ramah sekali. Tak heran, jika kami akan betah tinggal disini.
            Tepat pukul 7 pagi, kami berangkat dari penginapan menuju lokasi lomba. Tak henti-hentinya aku berdoa agar dimudahkan oleh Allah. Pelaksanaan lomba di Gedung Balai Nusa Makalung, yang jaraknya mungkin hanya 100 meter dari penginapan.
            Kami turun dari mobil dan melihat sekeliling. Ramai sekali! Gedung itu dipenuhi siswa-siswi SMP dari berbagai kota di Indonesia. Aku tak bisa membayangkan, perjuanganku nanti melawan mereka.
            “Selamat datang peserta lomba menulis dan melukis tingkat nasional tahun dua ribu empat belas! Bagi peserta lomba menulis, silahkan masuk ke ruang delapan belas. Dan peserta lomba melukis, ditunggu panitia di ruang delapan segera. Lima belas menit lagi lomba akan dimulai!”terdengar pemberitahuan dari pengeras suara. Aku dan Safira berpisah. Bu Jasmine dan Kak Taufan menemani kami mencari ruangan yang dimaksud. Sedangkan peserta lomba melukis ditemani oleh Kak Aria dan Pak Risky.
            Kami menemukannya! Ternyata, ruang 18 itu masih dibagi-bagi lagi dalam bentuk kelas. Ruang 18A penuh, 18B juga, hingga akhirnya kami menemukan 3 kursi dan meja kosong di ruang 18K.
            Teng… teng… teng… Bel tanda lomba dimulai telah berbunyi. Seorang lelaki seumuran Kak Taufan, masuk ke ruangan kami. Ia membawa puluhan kertas folio bergaris yang siap dibagikan kepada kami. Dan tema lomba kali ini adalah… “Mempadukan Sikap Kepemimpinan dan Kreatif bagi Para Pelajar di Nusantara”. Aku bingung, apa yang harus kutulis untuk tema sesulit ini. Aku tidak menemukan ide cerita sama sekali! Oh tidak!
            Sepuluh menit aku berpikir, belum mendapat ide juga. Sedangkan peserta lain sudah asyik menulis di kertas folionya. Belum ada satupun kata yang kutulis di kertasku. Entah, aku masih bingung. Tiba-tiba aku terpikir untuk memulai menulis. Meskipun tak tahu yang akan aku tulis. Dan jadilah, cerita yang sederhana, apa adanya, dan simple. Yang penting logis alias masuk akal.
            Waktu lomba habis. Seluruh peserta keluar ruangan. Aku tak menemukan Bu Jasmine dan Kak Taufan. Aku berniat menyusul Safira dan yang lain di ruang 8. Namun, saat aku sampai, ruangan itu sudah kosong. Rasanya ingin menangis, berpisah dari rombongan sekolah di tempat seramai ini. Seperti anak hilang! Ya, begitulah yang kurasakan saat ini. Mataku mulai berkaca-kaca, ternyata aku anak yang cengeng.
            Tiba-tiba mataku melihat sesuatu. Ada benda terjatuh di depanku. Sebuah sapu tangan. Benda itu jatuh dari kantong saku celana pemiliknya. Sepertinya, sang pemilik tidak mengetahui jika sapu tangannya jatuh.
            Aku mengejar anak laki-laki itu. Dia seumuran denganku, dan sepertinya peserta lomba melukis, bukan menulis. Aku menepuk bahunya. “Maaf, ini milikmu?”tanyaku. Aku tak ingin dikira sok kenal, niatku kan baik. “Iya, terima kasih! Kau menemukannya dimana?”tanyanya balik. “Tadi terjatuh di depan ruang delapan.”jawabku sambil tersenyum. “Oh, sekali lagi terima kasih! Jika dilihat, kau mirip sahabat SMP ku dulu. Boleh kutahu namamu?”ucapnya. Aku menjawab, “Namaku Farah Azalia Maura. Panggil saja Farah. Kamu?”. “Namaku Nino, Nino Alvian. Kau berasal dari kota mana? Aku Tulungmegung.”balasnya. “Sama! Umm,, maaf, sepertinya aku masih harus mencari rombongan dari sekolahku. Aku terpisah dari mereka! Senang berkenalan denganmu…”ucapku yang kemudian berlari meninggalkan Nino. Mungkin dia membalas perkataanku, namun tak terdengar.
            Ternyata keberadaan teman-temanku tak jauh dari situ. Aku senang sekali, telah menemukan mereka. “Farah! Kami tadi bingung mencarimu.”kata Pak Risky. “Maaf, Pak. Tadi saya juga bingung mau mencari kemana.”jawabku. Safira berkata pelan kepadaku, “Kulihat tadi kau berbicara dengan seorang anak laki-laki disana. Kau kenal?”. “Kenal karena tadi berkenalan. Sebelumnya tidak, tapi entah mengapa aku merasa wajahnya familiar. Tadi saputangan miliknya jatuh, ya sudah aku kembalikan. Namanya Nino. Dia berasal dari kota Tulungmegung juga lho!”jawabku. Safira tersentak kaget, “Nino? Kau tak salah? Jangan-jangan dia pemilik…..”. Aku baru ingat, jika pemilik dompet yang kutemukan waktu itu namanya Nino, Revanditya Nino Alvian. “Dia pemilik dompet hangus itu!”ucapku. “Pasti! Tak salah lagi! Dia temanku dulu. Tadi ia sempat berkata kalau aku mirip sahabat SMP nya dulu! Safira, temani aku untuk menemuinya!”ujarku yakin. Kami meminta izin ke Bu Jasmine dan Pak Risky untuk menemui seseorang. Untungnya, kami diijinkan dan diberi waktu sampai sebelum pengumuman.
            Kami kembali ke tempat dimana aku dan Nino mengobrol tadi. Namun sayang, dia dan rombongan sekolahnya sudah tidak berada di situ. Kami mengelilingi gedung itu, mencari kemanapun, tapi tetap saja tidak ketemu. Sampai akhirnya, terdengar pemberitahuan dari pengeras suara bahwa seluruh peserta lomba menulis dan melukis harus segera berkumpul di ruang 1, karena pengumuman akan segera dilaksanakan. Aku dan Safira langsung berlari menuju ruang 1. Tentunya, kami bertemu Pak Risky, Kak Aria, Bu Jasmine, dan yang lain. Mereka juga ingin menyaksikan pengumuman.
            “Pemenang lomba melukis tingkat nasional dua ribu empat belas… Juara tiga diraih oleh… Arman Hustafa dari SMP Cahaya Abadi Makalung! Juara dua diraih oleh… Fitria Maulidya dari SMPN 3 Surakoa! Dan juara satu dimenangkan oleh… Safira Dina Aulia dari SMPN 1 Tulungmegung! Selamat untuk para pemenang, dan silahkan maju ke atas panggung!”. Suara tepuk tangan meriah terdengar riuh sekali. Aku tersenyum kepada Safira, dia berhasil meraih juara 1 lomba melukis tingkat nasional! Safira tampak senang sekali, tidak disangka dialah pemenangnya.
            “Pemenang lomba menulis cerita tingkat nasional tahun dua ribu empat belas… Juara tiga diraih oleh… Kimaru Ottonika dari SMP Cerdas Harapan Mojokrawu! Juara dua diraih oleh… Farah Azalia Maura dari SMPN 1 Tulungmegung! Dan juara satu dimenangkan oleh… Alfira Diah Maharani dari SMPN 6 Palang! Selamat!”. Aku melonjak kegirangan! Juara 2! Aih, senangnya! Aku maju ke atas panggung.
            Tanpa sengaja, aku melihat Nino tersenyum kearahku. Ia berdiri di pojok belakang ruangan, bergabung bersama teman-teman satu sekolahnya. Tiba-tiba, kepalaku pusing sekali. Berat! Memori hitam putih saat tragedi kecelakaan bis, saat sebelum berangkat wisata, sesingkat itu melintas di pikiranku. Aku juga mengingat bagaimana persahabatanku dengan Nino dulu. Adikku, kedua orang tuaku, aku mengingatnya. Tiba-tiba pandanganku buram, dan… gelap! Sepertinya aku tak sadarkan diri. Suara terakhir yang kudengar adalah suara Safira yang mengkhawatirkanku.
-o-
            “Friska, kau sudah sadar?”. Aku membuka mataku perlahan. Kepalaku masih terasa pusing. Aku menoleh ke arah suara. Ternyata Safira dan Nino berada di sampingku. Dan itu suara Nino.
            “Nino…”ucapku lirih. “Ingatanmu sudah kembali?”tanya Safira. Aku mengangguk. “Tadi Safira bercerita kepadaku dari awal kalian bertemu, sampai sekarang.”kata Nino. Aku menatapnya penuh arti, tak menyangka, Allah mempertemukan aku dengan sahabatku ini, setelah mengujiku dengan amnesia yang kualami. Tentunya aku senang, kedua sahabatku bisa seakrab ini. “Umm,, Saf, Bu Jasmine, Pak Risky, sama yang lain kemana?”tanyaku. “Mereka menunggu di depan.”jawab Safira. Dan anehnya, aku baru sadar kalau aku berada di rumah sakit.
            Mereka masuk ke ruangan. “Farah, kata dokter, jika kepalamu sudah tidak pusing, kamu diijinkan pulang. Dan kita kembali ke penginapan.”kata Bu Jasmine. “Tak apa, Bu. Kepala Farah sudah tidak pusing kok. Kalau boleh, Farah ingin kembali ke penginapan segera. Tapi sebelumnya, izinkan Farah untuk berbicara sebentar dengan teman Farah ya, Bu.”ucapku. Beliau mengangguk. Semua keluar ruangan kecuali Nino, Safira, dan aku tentunya.
            Aku ingin bertanya lebih lanjut, kenapa dia tidak kembali ke Sidopono. Ternyata, Nino sama sepertiku. Kami tak mempunyai biaya untuk kembali ke sana. Tak lupa, aku mengembalikan dompet hangus miliknya. Sekarang dia bersekolah di SMPN 3 Tulungmegung. Sayang, kami tak satu sekolah. Tapi, aku menyempatkan untuk bertanya alamat  dimana ia tinggal di Tulungmegung. Oh ya, aku juga menanyakan nasib teman-teman kami waktu itu. Tapi, Nino juga tidak tahu pasti. Katanya, sebagian besar sudah kembali ke keluarganya, dan bersekolah sehari-hari di Sidopono. Ada juga yang dianggap menghilang, seperti aku dan Nino. Aku ingin kembali kesana, pulang dan bertemu keluargaku. Setidaknya, uang tunai yang kudapatkan tadi bisa untuk biaya transportasi kesana. Namun, aku juga tak dapat mengingkari janjiku kepada Safira sebelumnya, untuk membuat komik setelah lomba tingkat nasional selesai. Jadi, kami sepakat untuk kembali ke kota Sidopono setelah pembuatan komik selesai.
            Usai mengobrol, aku dan Safira kembali ke rombongan sekolah, karena harus kembali ke penginapan. Begitupun dengan Nino, ia juga bergabung dengan teman-teman satu sekolahnya dan pulang kembali ke Tulungmegung.
            Di kamar penginapan, Safira tampak sedih sekali. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Aku menghampirinya.
            “Kok belum tidur, Saf?”tanyaku seraya duduk di sebelahnya. “Jujur, aku takut kehilanganmu, Far!”jawabnya lirih. Matanya berkaca-kaca. Aku memeluknya. “Safira, sahabat Farah nggak boleh nangis… Meskipun nanti aku sudah bertemu keluargaku dan bersekolah disana, aku berjanji, akan sering main ke rumahmu. Aku juga tak ingin meninggalkanmu dan Kakek Alif. Kita masih bisa kok memasak bersama, pergi sawah bersama dan bermain bersama. Sampai sekarang, aku tak tahu, membalas kebaikan kalian selama ini pakai apa. Aku tak dapat membayangkan bagaimana nasibku jika kalian tak menyelamatkanku waktu itu. Kalian lah yang menolongku, merawatku, hingga aku bisa sembuh dari amnesiaku. Karena kalian juga, aku jadi mengerti susahnya hidup sederhana. Kamu yang mengajari aku memasak, bangun pagi, hingga bergaul dengan tetangga. Sampai kapanpun, aku tak akan melupakan kalian…”ucapku. Aku tak kuat menahan tangis. Air mata itu jatuh, membahasi pipiku, yang makin lama makin menderas.
            “Janji?”kata Safira penuh harap dan mengacungkan jari kelingkingnya ke arahku. Aku membalasnya dengan mengaitkan jari kelingkingku, “Janji.”. Akhirnya kami tertidur malam itu. Malam yang menyaksikan perjanjian kami.
-o-
            Tepat pukul 08:18 (lagi-lagi Friska menjelaskan dengan detail), semua siap meninggalkan penginapan. Mobil sekolah kami telah siap berangkat. Kami berdoa agar sampai di kota Tulungmegung dengan selamat. Aku dan Safira sudah tak sabar untuk segera bertemu kakek Alif di rumah. Padahal hanya 2 hari tidak bertemu, seperti berbulan-bulan. Perjalanan dilalui dengan gembira.
Meskipun namaku yang sebenarnya adalah Friska, aku tak keberatan jika masih dipanggil Farah, karena itu nama pemberian Safira dan Kakek Alif. Farah Azalia Maura dan Friskania Aira adalah orang yang sama, yaitu diriku. Hehehe…
-o-
            Lelah sekali tubuh ini. Mobil sekolah terhenti di lapangan sekolahku. Teman-teman sekelasku menyambut kedatanganku dan Safira dengan gembira. Apalagi, setelah mengetahui bahwa kami meraih juara.
            Perjuangan kami untuk sampai di rumah tercinta belum selesai. Dari sekolah, kami harus menaiki angkot dulu, sama seperti waktu berangkatnya. Saat turun dari angkot, kami masih harus berjalan dari jalan raya menuju rumah.
            Dan akhirnya… Rumah tercinta! Kakek Alif sudah menunggu kedatangan kami di kursi teras. Raut muka kakek terlihat senang sekali, setelah mengetahui kedua cucunya telah pulang dengan selamat. Beliau memeluk kami.

            Karena kelelahan, setelah berganti pakaian dan mandi, kami istirahat. Jika kantuk menyerang, tak dapat dilawan. Kami pun tertidur lelap.

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS