Acara Ulang Tahun SMPN 1 Tulungmegung
“Hijau Sekolahku”
Kalian murid kelas 7, 8, dan 9 SMPN 1 Tulungmegung? Ayo, ramaikan acara ulang tahun sekolahmu! Tema acara kali ini ialah “Hijau Sekolahku”. Jadwal acara yang akan berlangsung yaitu:
5 November 2014
6 November 2014
8 November 2014
Tunggu apa lagi? Segera daftarkan diri kamu! Informasi lebih lanjut, hubungi:
Bu Jasmine (Guru Fisika kelas 9) 010-14045
Pak Risky (Pelatih Paduan Suara) 020-14022
Kak Aria (Pelatih Basket) 030-14000
|
“Bagaimana,
kau tertarik?”tanya Putri. “Sangat tertarik! Tentunya untuk lomba menulis
cerita! Kau ikut juga kan?”ucapku penuh antusias. Dia mengangguk. “Pasti! Kita
harus memberitahu yang lain tentang info menggembirakan ini!”balasnya. Putri
mengeluarkan handphone dari sakunya,
dan memotret poster itu. Lalu, kami segera kembali ke kelas.
Sesampai di kelas.. Tidak semua anggota kelas yang hadir,
karena masih ada yang belum datang. Setidaknya 90% telah hadir. Putri mengambil
hp nya, dan melihat kembali foto poster itu.
“Pengumuman! Tanggal 5 November nanti, sekolah kita
mengadakan berbagai acara dalam rangka ulang tahun sekolah.”seru Putri. Aku melanjutkan, “Susunan acara nya yaitu
yang pertama pembukaan, dilanjutkan sambutan-sambutan dan berbagai lomba
penyisihan, diantaranya pertandingan futsal, basket, bulutangkis. Ada juga
lomba menulis cerita dan melukis. Keesokannya, dilanjutkan semi final tiap
lomba. Dan tanggal 8 November, final semua lomba sekaligus penutupan. Jika ada yang
berminat, silahkan. Aku dan Putri yang mencatatnya, lalu kami konfirmasikan ke Pak
Risky, Bu Jasmine, dan Kak Aria.”
Nampaknya sebagian besar dari teman-temanku berminat. 11
anak mengikuti pertandingan futsal. 5 anak mengikuti pertandingan basket. 2
anak mengikuti pertandingan bulutangkis. 3 anak mengikuti lomba menulis, yaitu
aku, Asisa dan Putri. Sayang, Indi tak bisa ikut karena ada acara keluarga pada
tanggal 5 November nanti. Dan 1 anak mengikuti lomba melukis, yaitu Safira.
Aku dan Putri segera berlari keluar kelas, berniat
menemui Pak Risky di ruangan Paduan Suara. Untungnya, lelaki itu masih berada dalam ruangannya. Kami
mengetuk pintu, dan melangkahkan kaki ke arahnya. “Permisi Pak, kami dari kelas
delapan-sembilan ingin mendaftarkan beberapa anak di kelas kami yang berminat
mengikuti lomba perayaan ulang tahun sekolah.”ucapku sembari menyodorkan
selembar kertas hvs yang bertuliskan nama-nama itu. Pak Risky menerimanya.
“Terima kasih. Nanti akan saya konfirmasikan dengan Bu Jasmine dan Pak Aria.
Kalian boleh kembali ke kelas, karena lima menit lagi pelajaran pertama
dimulai.”. Kami mengangguk, dan segera keluar dari ruangan itu.
Sepulang sekolah, seperti biasanya, aku dan Safira
berjalan bersama menuju tempat parkir sepeda. Aku kagum terhadapnya, dialah
perwakilan tunggal lomba melukis dari kelasku. Rencana kami setelah sampai di
rumah ialah menyiapkan ide untuk lomba, karena pelaksanaanya kurang dua hari
lagi.
Rumah masih terlihat sepi saat kami pulang. Mungkin saja
kakek belum kembali dari sawah. Padahal, ini sudah waktunya makan siang.
“Farah, aku menyusul kakek ya di sawah. Kamu memasak dulu saja, terserah menunya
apa. Bahan-bahannya ada di keranjang sayur di dapur.”ucap Safira yakin, seolah
percaya bahwa aku bisa melakukannya sendiri. Aku tak membalas perintahnya, raut
mukaku masih terlihat bingung sekali. Apa yang harus aku masak hari ini? Oh
tidak!
Setelah berganti pakaian, aku bergegas menuju dapur. Kuamati
isi dalam keranjang sayur itu. Seikat bayam, 2 buah wortel, 1 kotak tempe.
Kubis, kacang panjang, juga ada ternyata. Tak banyak bicara, kedua tanganku
seolah ahli dalam hal masak memasak. Meskipun kenyataannya tidak. 25 menit pun
berlalu. Safira dan kakek nampaknya belum kembali dari sawah. Alhasil, sayur
bayam ala chef Farah pun siap disajikan! Kucicipi sedikit, rasanya tak seperti
yang aku bayangkan sebelumnya. Kukira hasilnya buruk, tapi ternyata luar biasa!
Nikmat sekali! Ini semua tak lepas dari bimbingan chef Safira tentunya…
Terdengar suara ketukan pintu. Aku segera berlari dan
membukanya. Safira dan kakek ternyata! Kebetulan sekali, masakanku sudah
matang. Aku ingin mereka segera mencicipi dan mengomentari hasil masakanku.
Kami bertiga tak sabar untuk makan siang dan langsung tancap gas menuju meja di
dapur, karena sudah kupersiapkan semuanya disana.
“Ini siapa yang memasak? Nikmat sekali!”puji kakek Alif.
Betapa senangnya aku! “Ini hasil masakannya Farah lho kek! Farah memang pintar
memasak!”tambah Safira sambil tersenyum kearahku. “Terima kasih kek. Tapi,
berkat chef Safira juga tentunya, aku bisa memasak seperti ini. Safira memang
jago memasak!”seruku. Kami kembali melanjutkan makan.
Seusai makan, aku dan Safira duduk di ruang tamu. Seperti
yang telah kami rencanakan sebelumnya, yaitu menyiapkan ide untuk lomba. Aku
mengambil sebuah buku tulis yang tidak terpakai di kamar, sedangkan Safira
mengambil buku gambar kuning kesayangannya itu. Tema lomba ialah Hijau
Sekolahku. Kami berpikir keras untuk mendapatkan ide. Rupanya, Safira mendapat
ide lebih cepat dibanding aku.
Ia membuat sketsa di buku gambarnya dengan pensil. Tangannya
nampak terlatih. Sketsa hitam putih saja terlihat bagus, bagaimana setelah
diwarnai? Pasti hasilnya luar biasa indah! Ia mengilustrasikan sebuah sekolah
yang banyak pepohonan di halamannya, tampak hijau nan asri. Selain itu,
digambarkan banyak siswa sedang kerja bakti membersihkan sekolahnya.
Bagaimana dengan ide ceritaku? Aku mengkisahkan, ada 5
orang anak yang bersekolah di SMPN 1 Tulungmegung. Mereka bertekad untuk
menjadikan sekolahnya hijau dan bersih. Akhirnya, dengan berani mereka mengajak
warga sekolah untuk merubah perilakunya terhadap lingkungan. Contohnya dalam
hal kedisiplinan membuang sampah. Ternyata, ajakan mereka berpengaruh.
Perlahan-lahan, sampah berjatuhan di paving jumlahnya berkurang, bahkan sudah
jarang sekali dilihat, atau tidak ada. Mereka juga mengajak warga sekolah untuk
mencintai tanaman, dan menegakkan gerakan sejuta tanaman. Sekolah itu menjadi
hijau dan bersih. Berkat mereka, SMPN 1 Tulungmegung mendapat predikat “Sekolah
Terindah” di kota itu.
Mungkin ide ceritanya sedikit aneh. But, I don’t care! Itu hasil pemikiranku, asli dari imajinasiku.
Sebagai manusia biasa, aku hanya berharap dan berusaha agar segalanya berjalan
dengan baik, dan membuahkan hasil yang bagus. Aku ingin, hasil karyaku ini
menjadi yang terbaik. Kata Kak Aria, selaku panitia, untuk juara lomba menulis
dan melukis, akan diikutkan lomba menulis cerita dan melukis tingkat nasional
di kota Makalung. Semoga, aku dan Safira bisa menjadi wakil sekolah untuk
mengikuti lomba tersebut. Tentunya, kelasku amat bangga jika ada anggotanya
yang berprestasi, bukan?
(berlanjut
ke hari H lomba)
“Bagaimana Farah, apa kau sudah siap? Kita harus
membanggakan kelas delapan-sembilan!”ucap Asisa penuh semangat. Aku tak terlalu
menghiraukan ucapannya, tanganku sibuk menguncir rambutku, kucir kuda! Tak
mungkin rambut hitam, lebat, dan panjang sepinggang itu kuurai begitu saja.
Jika Bu Jasmine melihatnya, rambutku akan dikepang dua layaknya gadis desa, dan
aku tak suka itu!
“Farah! Kau tak menghiraukan ucapanku!”teriak Asisa
kesal. “Eh, iya, maaf. Aku terlalu sibuk mengucir rambutku.”balasku. Asisa
mengangguk dan menggandeng tanganku untuk turun menuju ruang 18, tempat lomba
menulis diadakan. Putri sudah turun terlebih dahulu dibanding kami.
Kami memasuki ruangan itu. Sedikit demi sedikit, para
peserta memenuhi ruangan. Hingga akhirnya tak ada kursi kosong yang terlihat.
Itu tandanya, seluruh peserta telah lengkap jumlahnya. Pak Risky membacakan
peraturan selama lomba, dan ketentuan teknis penulisannya.
“Ketentuan teknis lomba menulis cerita SMPN 1
Tulungmegung dua ribu empat belas. Satu, tulisan berbentuk cerpen yang ditulis
tangan oleh peserta di kertas folio bergaris yang telah disediakan. Dua, cerpen
ditulis menggunakan bolpoin, apabila ada kata yang salah, cukup dicoret saja.
Tiga, panjang cerpen maksimal empat muka halaman, tidak boleh melebihi kertas
yang diberikan. Empat, waktu menulis cerpen 1 jam, apabila setelah 1 jam belum
selesai, kertas diletakkan di meja saja. Oh ya, penilaian dilihat dari keunikan
ide cerita, penulisan bahasa yang benar dan EYD, serta tata letak kata.”
Aku mendengarkannya baik-baik. Kak Aria membagikan kertas
folio kepada masing-masing peserta. Suasana tegang, tak ada satupun yang berani
membuka mulutnya untuk berkata sesuatu. Aku melihat isi tempat pensilku,
berniat mengambil bolpoin. Aku terkejut, sepertinya aku lupa membawa bolpoin
hitam di meja kamar. Yang kubawa malah bolpoin bertinta biru. Disaat suasana
hening seperti itu, aku mengacungkan tangan dan berkata, “Pak Risky, saya lupa
membawa bolpoin tinta hitam, bolehkah saya menggunakan bolpoin tinta biru?
Bolpoin yang saya bawa hanyalah itu.”. “Silahkan, tak ada yang melarang.”jawab
Pak Risky. Seluruh peserta memandangku. Aku tak memperdulikannya.
Setelah menuliskan nama dan asal kelas, segera aku
mengembangkan ide cerita yang kubuat kemarin lusa sembari menuliskannya. Hingga
tak terasa, tulisanku mencapai tiga muka halaman kertas. Kuperkirakan, ceritaku
berakhir di pertengahan halaman keempat.
“Adik-adik, waktu kalian kurang dua puluh menit! Gunakan
waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya!”ucap Kak Aria tegas. Seluruh peserta
tampak terburu-buru melanjutkan menulisnya, kecuali aku. Mungkin 20 menit cukup
untuk melanjutkannya tanpa terburu-buru menurutku.
Finally,
ceritaku selesai sebelum waktu habis. Tiba-tiba, bel tanda lomba berakhir
berbunyi. Tak semua dari mereka telah menyelesaikan naskahnya. Semua peserta
keluar dari ruangan dengan raut muka yang berbeda-beda. Ada yang terlihat puas
(mungkin cerita miliknya telah selesai), ada yang kecewa (mungkin ia butuh
tambahan waktu untuk menyelesaikan naskahnya), bahkan ada yang terlihat bingung
(kalau ini aku tak tahu penyebabnya).
Para peserta atau kelas yang lolos ke babak semifinal
dari masing-masing lomba dan pertandingan akan diumumkan nanti pukul 1 siang.
Aku, Putri, dan Asisa kembali ke kelas. Kami tak sabar menanyakan hasil
pertandingan futsal, basket, dan bulutangkis tadi.
“Assalamualaikum..”ucap kami bertiga saat memasuki kelas.
“Waalaikumusalam..”jawab teman-temanku serentak. “Bagaimana hasil pertandingan
futsal, basket, dan bulutangkis tadi?”tanya Putri. “Tadi pertandingan
bulutangkis melawan kelas delapan-dua menang. Pertandingan basket melawan kelas
tujuh-empat, menang juga. Tapi, pertandingan futsal melawan kelas delapan-tujuh
kalah.”jawab Sarah. “Tak apa, semoga nanti lomba menulis dan melukisnya masuk
semifinal ya!”ucapku penuh semangat.
Aku mengajak Safira ke kantin. Saat kami berniat memesan
nasi goreng di Pak Neo, tiba-tiba aku mendengar obrolan kakak kelas tentang
kepindahan Kak Nugi ke luar kota. Aku kaget, padahal belum sempat aku bertanya
tentang diriku yang sebenarnya ke lelaki itu. Hanya sekali pertemuanku
dengannya. Setidaknya aku berharap, Kak Nugi dapat membantuku menemukan
keluargaku. Ternyata, tak sesuai dengan yang aku harapkan.
“Ini mbak, nasi
gorengnya.”ucap Pak Neo sembari menyodorkan dua piring nasi goreng kepada aku
dan Safira. Kami tak menghiraukannya, karena masih memperhatikan beberapa kakak
kelas yang membicarakan kepindahan pelatih ekskul menulis itu. “Maaf mbak, ini nasi gorengnya panas, tangan
saya kepanasan.”keluh Pak Neo. Kami baru sadar jika sedari tadi Pak Neo
memegangi nasi goreng pesanan kami. “Eh, iya, maaf Pak.”ucapku merasa bersalah
sambil menerima nasi goreng dari tangan Pak Neo. Lalu kami mencari tempat duduk
yang kosong.
“Saf, aku menyesal, kenapa waktu itu aku tak segera
menceritakan semuanya ke Kak Nugi. Setidaknya Kak Nugi bisa membantuku
kan?”tanyaku meminta pendapat. “Ya, mungkin Allah sudah mengatur begitu, dan
Kak Nugi bukanlah petunjuk.”jawabnya. Safira melihat raut mukaku yang begitu
sedih. “Far, jangan sedih. Pasti suatu saat kamu menemukan keluargamu kok,
hanya waktunya belum tepat. Semua itu ada jalan keluarnya. Percayalah!”ucap
Safira menenangkanku. Aku mengangguk pelan.
Seusai makan, kami berjalan mengembalikan piring ke Pak
Neo dan membayar. Aku melihat jam dinding di kantin. Jam menunjukkan pukul
12:01. Adzan dhuhur telah berkumandang dari arah mushola sekolah. Kami
memutuskan untuk sholat dhuhur terlebih dahulu, lalu kembali ke kelas.
Saat kami berjalan menuju kelas, tiba-tiba ada
pemberitahuan dari pengeras suara, “Untuk seluruh peserta lomba menulis dan
melukis, mohon berkumpul di ruang delapan, karena pengumuman segera
dilaksanakan.”. Kami mengurungkan niat untuk ke kelas, dan menuju ruang 8. Aku
belum terlalu hafal letak ruangan-ruangan di sekolah ini.
Putri dan Asisa berjalan menuruni tangga. Perlu
diketahui, ruang 8 terletak di bawah. Aku dan Safira menunggu mereka di bawah
tangga, agar bisa bersamaan ke ruangan yang dimaksud.
Kami segera memasuki ruangan dan mencari tempat duduk.
Tak lama, Bu Jasmine datang membawa selembar kertas yang bertuliskan nama-nama
peserta yang lolos ke babak semifinal.
“Baiklah anak-anak. Ibu akan segera mengumumkan sepuluh
peserta dari masing-masing lomba yang lanjut ke babak selanjutnya, karena ini
sudah terlalu siang dan kalian harus segera pulang. Nama yang ibu panggil
silahkan maju ke depan. Peserta lomba menulis yang lolos ke babak semifinal
ialah .. Dinda Ismiati, Clarita Syifa Audinia, Qori’atun Inayah, Liliana Naura,
Natalia Asisa, Shafarella Nutri, Sari Minarsih, Violina Amartya, Desi Hanifah,
dan yang terakhir … Farah Azalia Maura! Selamat untuk yang dipanggil.”seru Bu
Jasmine. Aku masuk semifinal? Aih, senangnya! Aku dan Asisa mewakili kelas 8-9
untuk semifinal lomba menulis besok. Sayang, Putri tak lolos.
“Pengumuman lomba melukis. Peserta lomba melukis yang
lolos ke babak semifinal ialah .. Safira Dina Aulia, Alman Syakur, Fiola
Ifyana, Zefania Intan, Bagas Tanoe, Farina Della Aurini, Flara Azzarah, Revana
Chika, Melati Arum, dan Yunindya Ayu… Selamat untuk yang lolos! Dan bagi yang
belum lolos, jangan berkecil hati. Masih ada kesempatan lain. Sekian dan terima
kasih! Kalian boleh pulang. Untuk semifinal besok, tema lomba ialah, “Menjadi
Pelajar yang Santun dan Berakhlaq Mulia.”. Kalian bisa mempersiapkannya.”ucap
Bu Jasmine. Lalu, beliau pergi meninggalkan ruangan.
Alangkah senangnya aku! Tiga anak dari kelas 8-9 melaju
ke babak selanjutnya! Aku dan Safira berjalan menuju parkiran sepeda. Kami
ingin segera menceritakan berita gembira ini ke kakek Alif.
Sesampai di rumah, kakek sudah menunggu kami di kursi teras.
Ya, ini sekitar jam setengah 2 siang, bukan? Tentu kakek Alif sudah pulang dari
sawah. Kami tak perlu memasak siang ini, karena masakan kami pagi tadi masih
cukup untuk makan siang. Setelah berganti pakaian, kami menceritakan tentang
lomba tadi. Kakek tampak senang sekali, mendengar cerita itu. Kata kakek Alif,
kami harus pandai mengasah bakat kami. Ya, meskipun bakat kami berbeda. Justru,
kakek bangga akan itu.
Tiba-tiba, Bu April (masih ingat Bu April kan? Jika
tidak, coba buka bab 1!) mengentuk pintu rumah kami. Aku segera keluar
menemuinya. “Assalamualaikum..”sapa Bu April. “Waalaikumsalam.. Ada apa
bu?”balasku. “Begini. Bu April mau minta bantuan nak Farah dan nak Safira,
kalau tidak keberatan, boleh ya kalian berdua membantu ibu untuk acara ulang
tahun nak Tia, anak ibu?”ucap Bu April. “Kami tidak keberatan kok bu!”sahut
Safira yang tiba-tiba muncul di sebelahku. Aku tak tahu sejak kapan dia disini.
Bukannya tadi masih di kamar mandi? Entahlah.
Aku mengangguk. “Kami berganti baju dulu ya, Bu! Setelah
itu kami kesana.”ucapku. “Terima kasih ya nak, ibu tunggu.”balas wanita itu,
lalu berjalan menuju rumahnya. Sepertinya rencanaku gagal untuk menyiapkan ide
lomba menulis besok. Bagaimana pun, permintaan tolong orang lain lebih penting
dibandingkan urusan pribadi kita bukan? Aku pasrah saja, dan terserah apa kata
besok. Saat ini, aku belum menemukan ide cerita memang. Semoga besok
dilancarkan oleh Allah, itu saja doaku.
Setelah berganti baju, kami berjalan menuju rumah Bu
April. Disana terlihat ramai sekali, dipenuhi anak-anak kecil seumuran anak Bu
April. Aku tak tahu harus berbuat apa. Kami menemui Bu April yang terlihat
repot sekali di dalam.
Akhirnya, kami mendapat tugas masing-masing. Safira
membantu Bu April mengemas snack, sedangkan
aku menjadi pembawa acara dadakan. Hohoho.. Bakat terpendamku muncul! Rupanya
aku juga berbakat menjadi mc! Anak-anak itu kuajak bermain, menyanyi, sampai
menjawab kuis yang nantinya diberi hadiah. Semua tampak gembira, itu tandanya
aku berhasil! Hehehe…
Acara berakhir pukul 7 malam. Kami tampak kelelahan. Bu
April mempersilahkan kami untuk pulang. Tapi, tentunya kami diberi sesuatu! Snack, ice cream coklat, dan tiga
mangkuk soto ayam untuk makan malam. Kami senang sekali! Kebetulan, kami juga
sudah terlalu lelah untuk memasak malam ini.
Malam telah berlalu, dan kini berganti pagi. Matahari
seolah malu menampakkan dirinya hari ini. Ia bersembunyi dibalik awan hitam
yang siap menurunkan air matanya. Tak seperti biasanya, langit terlihat mendung
dan gelap. Kami buru-buru mengayuh sepeda menuju sekolah, agar tidak kehujanan.
Untungnya, hujan turun saat kami telah menaiki tangga, dan berjalan menuju
kelas.
Kali ini semifinal lomba menulis berada di ruang 22, tak sama
seperti kemarin. Karena ruangannya besar, lomba menulis dan melukis digabung
menjadi satu ruangan. Aku melihat raut muka para peserta. Mereka tampak siap
sekali. Mungkin persiapan mereka lebih matang dibanding aku. Aku tak peduli!
Aku harus tetap optimis demi meraih juara pertama, dan mengikuti lomba tingkat
nasional di kota Makalung!
Saat lomba dimulai, aku tak tahu ada zat apa di tangan
dan pikiranku, hingga kedua organ tubuhku ini bekerja sangat kompak. Sesuai
dengan tema yang diberikan tentunya. Kata demi kata kutulis. Aku tak menyangka,
bisa menulis selancar itu meskipun tanpa persiapan ide cerita sebelumnya.
Pengumuman kali ini berbeda dengan yang kemarin. Jika
kemarin secara lisan oleh Bu Jasmine, kini hanya ditempel di mading saja. Aku,
Safira, dan Asisa menyelinap masuk di kerumunan anak-anak. Ya, ramai sekali!
Hingga tak terlihat kertas pengumumannya yang mana.
Dan hasilnya… Alhamdulillah! Aku masuk lima besar yang
melaju ke babak final! Safira juga! Meskipun, lagi-lagi namaku berada di urutan
paling bawah. Entah, urutan nama itu berdasarkan apa. Sayang, Asisa tak masuk
final. Langkahnya terhenti di semifinal. Tentunya kami sedih, perwakilan dari
kelas 8-9 berkurang satu.
-o-
Hari ini, 8 November 2014. Hari yang paling menegangkan,
dan entah akan berubah menjadi menyenangkan atau menyedihkan. Aku sengaja tak
menyiapkan ide cerita sebelumnya, karena tema untuk lomba final dirahasiakan,
dan akan diberitahu saat lomba dimulai.
Tepat pukul 07.00 (menurut jam dinding kelasku), aku dan
Safira menuju ruang 2, tempat final lomba menulis dan melukis diadakan. Kali
ini Pak Risky yang mengawasi lomba, tidak ditemani Kak Aria atau Bu Jasmine.
“Tema lomba menulis dan melukis untuk final hari ini adalah “Menghadapi Dunia
Globalisasi bagi Para Pelajar”. Waktu menulis dan melukis dua jam. Untuk lomba
menulis, panjang cerita minimal 4 halaman, maksimal 8 halaman.”ucap Pak Risky
seraya memberikan dua kertas folio bergaris kepada masing-masing peserta.
Mungkin jika ditanya orang lain apa yang kutulis, aku tak
bisa menjawabnya. Karena aku sendiri juga heran mengapa tangan dan pikiranku
bisa bekerja sebaik itu. Alhasil, ceritaku berakhir di halaman ke-6.
Setelah waktu habis, dan kami dipersilahkan untuk keluar,
aku dan Safira berniat ke mushola, untuk sholat Dhuha. Lalu kami kembali ke
kelas dan bergabung bersama teman-teman. Saat kami datang, ternyata mereka
sedang menceritakan kejadian lucu saat masih kecil. Aku memilih untuk tidak
ikut. Ya, aku tak mengingat masa kecilku.
“Farah, sini! Kok menyendiri gitu?”tanya Nanda sambil
menghampiriku. “Tak apa. Aku hanya malas untuk bercerita.”jawabku lesu.
“Ayolah! Kumohon, sekali saja! Biasanya kau bergabung dengan kami kan? Tak
biasanya kau begini!”balasnya. Aku menyerah. Terpaksa, aku bergabung dengan
mereka dan menceritakan masa kecilku.
Safira berbisik kepadaku. “Kau yakin ingin menceritakan
masa kecilmu? Memang kau ingat?”tanyanya. “Bisa kuatur.”jawabku santai. Dan
yang kulakukan adalah… Mengarang cerita secara lisan! Jika tadi pagi aku
mengarang cerita melalui tulisan, kini kuucapkan langsung. Setelah kuceritakan
semua, kini giliran Devi menceritakan masa kecilnya. Safira berbisik, “Kau
hebat! Bakat mengarangmu patut dikagumi!”. “Hahaha.. Terima kasih!”balasku.
Tiba-tiba, kami mendengar pemberitahuan dari pengeras
suara bahwa seluruh finalis lomba menulis dan melukis harus berkumpul di ruang 46,
karena pengumuman pemenang akan segera dilaksanakan. Aku dan Safira langsung
berlari menuju ruangan yang dimaksud. Kami tak sabar untuk segera mengetahui
pemenangnya.
Kali ini, tidak hanya Bu Jasmine, Kak Aria, dan Pak Risky
saja yang berada di ruangan itu, tetapi juga ada Bu Yuli, selaku Kepala Sekolah
turut ikut menyaksikan pengumuman pemenang lomba menulis dan melukis ini.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…”ucap Bu
Jasmine memulai pembicaraan. “Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh…”jawab
para finalis serempak. “Sebelumnya, ibu mengucapkan terima kasih kepada
anak-anak karena telah berpartisipasi dalam acara ulang tahun sekolah dengan
mengikuti lomba menulis cerita dan melukis. Ibu senang sekali, ternyata di
sekolah ini ada calon-calon penulis dan pelukis di masa depan. Kemampuan kalian
tak diragukan lagi. Kalian adalah peserta terpilih, yang mampu menyisihkan
puluhan peserta dari kelas lain hingga lima terbaik. Untuk itu, bagi yang belum
menang, kalian tetap optimis dan berusaha! Jangan pantang menyerah! Baik,
dipersilahkan kepada Bu Yuli untuk mengumumkan pemenangnya.”ucap Bu Jasmine
panjang lebar yang ternyata ujung-ujungnya diserahkan ke Bu Yuli.
“Dimulai dari pemenang lomba melukis acara ulang tahun
sekolah ke-empat puluh tahun dua ribu empat belas.. Juara ketiga diraih oleh…
Farina Della Aurini dari kelas tujuh-satu! Juara kedua diduduki oleh… Safira
Dina Aulia dari kelas delapan-sembilan! Juara satu dimenangkan oleh… Flara
Azzarah dari kelas delapan-dua! Selamat kepada para pemenang dan dipersilahkan
untuk maju ke depan!”seru Bu Yuli. Terdengar suara riuh tepuk tangan. Safira
menang! “Saf, kamu menang!”sorakku. Ia tersenyum dan maju ke depan.
“Dilanjutkan oleh pengumuman pemenang lomba menulis cerita! Juara ketiga diraih
oleh… Clarita Syifa Audinia dari kelas sembilan-enam! Juara kedua diduduki
oleh… Sari Minarsih dari kelas tujuh-tujuh! Dan juara satu dimenangkan oleh…
Farah Azalia Maura dari kelas delapan-sembilan!”seru Bu Yuli. Aku masih terpaku
di tempatku. Juara satu? Mimpikah ini? Aku maju ke depan bersama para pemenang.
Safira tampak gembira melihatku. Namun yang kupikirkan sekarang, siapa yang
mewakili sekolah untuk lomba tingkat nasional di Makalung? Apa hanya untuk
juara 1 saja?
“Oh ya, untuk juara 1, 2, dan 3 berhak mengikuti lomba
menulis cerita dan melukis di kota Makalung tingkat nasional tanggal tiga puluh
November nanti!”tambah Kak Aria. Berarti, aku bisa ikut lomba bersama Safira!
Yeay!
Aku dan Safira kembali ke kelas membawa piala dan
bingkisan. Teman-teman menyambut kami gembira, dan memberi selamat. Kelas 8-9
berprestasi! Aku senang, meskipun keberadaanku sebagai anggota baru disini,
namun bisa membanggakan nama kelasku. “Farah, Safira, selamat ya! Kalian hebat!
Selamat berlomba juga di kota Makalung akhir November nanti!”ucap Devi kepada
kami. “Terima kasih, Devi!”balas kami. Hari ini menjadi hari yang spesial
buatku, dimana aku bisa berprestasi untuk yang pertama kalinya di sekolah
baruku.
Semenjak itu, karena mau menghadapi lomba, setiap hari
kami dilatih. Sebenarnya aku berharap Kak Nugi hadir kembali ke sekolah ini,
melatih para peserta yang hendak mengikuti lomba. Kini digantikan oleh pelatih
baru. Namanya Kak Taufan. Umurnya tak beda jauh dengan Kak Nugi. Meskipun
begitu, tetap saja, aku menginginkan Kak Nugi yang melatih, bukan Kak Taufan.
Pengetahuanku tentang menulis semakin bertambah. Aku tak
sabar, ingin rasanya kalender dipercepat hingga tanggal 30 November. Aku
mengharapkan yang terbaik, optimis, dan selalu berdoa. Semoga lomba berjalan
dengan lancar. Amin…
-o-
“Farah, aku ingin mengusulkan sesuatu.”ucap Safira sambil
menghampiriku yang sedang duduk di kursi teras. “Silahkan…”jawabku santai. “Aku
tahu, suatu saat nanti kau akan kembali ke keluargamu, dan aku kehilanganmu.
Aku ingin, kita membuat kenang-kenangan berdua.”ucapnya serius. “Kau pintar
menggambar, dan aku menulis. Bagaimana kalau kita membuat komik?”usulku.
“Boleh! Kapan kita mulai pembuatannya?”balasnya senang. “Setelah lomba nasional
mungkin?”tanyaku. Dia tersenyum dan mengacungkan jempol, tanda setuju.
“Janji?”ucapnya sambil mengacungkan kelingkingnya padaku. Aku membalasnya
seraya mengaitkan kelingkingku, “Janji.”
Kami semakin tak sabar, menunggu tanggal lomba tiba…