~~~ Welcome to my blog! And don't forget to visit again ^^ Arigato! ありがとう ~~~
Welcome to Chovanila Zone Blog! Please leave a chat or comment :)
RSS

Saturday 7 June 2014

Amnesia - Acara Ulang Tahun Sekolahku

Aku menaiki tangga sekolahku. Aku tak berjalan bersama Safira, ia masih memfotocopy sesuatu di koperasi sekolah. Tiba-tiba ada seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh. Ternyata Putri. “Ada apa?”tanyaku. “Kamu sudah tahu berita tentang acara ulang tahun sekolah?”tanyanya balik. Aku menggeleng. “Memangnya kenapa?”. Putri menggandeng tanganku, dan mengajak turun tangga. Kami berjalan menuju mading. Huh, ramai sekali! Kami menyelinap diantara kerumunan anak, dan membaca sebuah poster.

Acara Ulang Tahun SMPN 1 Tulungmegung
“Hijau Sekolahku”
Kalian murid kelas 7, 8, dan 9 SMPN 1 Tulungmegung? Ayo, ramaikan acara ulang tahun sekolahmu! Tema acara kali ini ialah “Hijau Sekolahku”. Jadwal acara yang akan berlangsung yaitu:
5 November 2014
  1. Pembukaan Acara Ulang Tahun Sekolah ke-40
  2. Sambutan-sambutan
  3. Penyisihan Pertandingan Futsal antar kelas
  4. Penyisihan Pertandingan Basket antar kelas
  5. Penyisihan Pertandingan Bulu Tangkis antar kelas
  6. Penyisihan Lomba Menulis Cerita antar kelas
  7. Penyisihan Lomba Melukis antar kelas
6 November 2014
  1. Semi Final Pertandingan Futsal antar kelas
  2. Semi Final Pertandingan Basket antar kelas
  3. Semi Final Pertandingan Bulu Tangkis antar kelas
  4. Semi Final Lomba Menulis Cerita antar kelas
  5. Semi Final Lomba Melukis antar kelas
8 November 2014
  1. Final Pertandingan Futsal antar kelas
  2. Final Pertandingan Basket antar kelas
  3. Final Pertandingan Bulu Tangkis antar kelas
  4. Final Lomba Menulis Cerita antar kelas
  5. Final Lomba Melukis antar kelas
  6. Pengumuman pemenang tiap lomba
  7. Penutupan acara

Tunggu apa lagi? Segera daftarkan diri kamu! Informasi lebih lanjut, hubungi:
Bu Jasmine (Guru Fisika kelas 9) 010-14045
Pak Risky (Pelatih Paduan Suara) 020-14022
Kak Aria (Pelatih Basket) 030-14000

           “Bagaimana, kau tertarik?”tanya Putri. “Sangat tertarik! Tentunya untuk lomba menulis cerita! Kau ikut juga kan?”ucapku penuh antusias. Dia mengangguk. “Pasti! Kita harus memberitahu yang lain tentang info menggembirakan ini!”balasnya. Putri mengeluarkan handphone dari sakunya, dan memotret poster itu. Lalu, kami segera kembali ke kelas.
            Sesampai di kelas.. Tidak semua anggota kelas yang hadir, karena masih ada yang belum datang. Setidaknya 90% telah hadir. Putri mengambil hp nya, dan melihat kembali foto poster itu.
            “Pengumuman! Tanggal 5 November nanti, sekolah kita mengadakan berbagai acara dalam rangka ulang tahun sekolah.”seru Putri.  Aku melanjutkan, “Susunan acara nya yaitu yang pertama pembukaan, dilanjutkan sambutan-sambutan dan berbagai lomba penyisihan, diantaranya pertandingan futsal, basket, bulutangkis. Ada juga lomba menulis cerita dan melukis. Keesokannya, dilanjutkan semi final tiap lomba. Dan tanggal 8 November, final semua lomba sekaligus penutupan. Jika ada yang berminat, silahkan. Aku dan Putri yang mencatatnya, lalu kami konfirmasikan ke Pak Risky, Bu Jasmine, dan Kak Aria.”
            Nampaknya sebagian besar dari teman-temanku berminat. 11 anak mengikuti pertandingan futsal. 5 anak mengikuti pertandingan basket. 2 anak mengikuti pertandingan bulutangkis. 3 anak mengikuti lomba menulis, yaitu aku, Asisa dan Putri. Sayang, Indi tak bisa ikut karena ada acara keluarga pada tanggal 5 November nanti. Dan 1 anak mengikuti lomba melukis, yaitu Safira.
            Aku dan Putri segera berlari keluar kelas, berniat menemui Pak Risky di ruangan Paduan Suara. Untungnya, lelaki  itu masih berada dalam ruangannya. Kami mengetuk pintu, dan melangkahkan kaki ke arahnya. “Permisi Pak, kami dari kelas delapan-sembilan ingin mendaftarkan beberapa anak di kelas kami yang berminat mengikuti lomba perayaan ulang tahun sekolah.”ucapku sembari menyodorkan selembar kertas hvs yang bertuliskan nama-nama itu. Pak Risky menerimanya. “Terima kasih. Nanti akan saya konfirmasikan dengan Bu Jasmine dan Pak Aria. Kalian boleh kembali ke kelas, karena lima menit lagi pelajaran pertama dimulai.”. Kami mengangguk, dan segera keluar dari ruangan itu.
            Sepulang sekolah, seperti biasanya, aku dan Safira berjalan bersama menuju tempat parkir sepeda. Aku kagum terhadapnya, dialah perwakilan tunggal lomba melukis dari kelasku. Rencana kami setelah sampai di rumah ialah menyiapkan ide untuk lomba, karena pelaksanaanya kurang dua hari lagi.
            Rumah masih terlihat sepi saat kami pulang. Mungkin saja kakek belum kembali dari sawah. Padahal, ini sudah waktunya makan siang. “Farah, aku menyusul kakek ya di sawah. Kamu memasak dulu saja, terserah menunya apa. Bahan-bahannya ada di keranjang sayur di dapur.”ucap Safira yakin, seolah percaya bahwa aku bisa melakukannya sendiri. Aku tak membalas perintahnya, raut mukaku masih terlihat bingung sekali. Apa yang harus aku masak hari ini? Oh tidak!
            Setelah berganti pakaian, aku bergegas menuju dapur. Kuamati isi dalam keranjang sayur itu. Seikat bayam, 2 buah wortel, 1 kotak tempe. Kubis, kacang panjang, juga ada ternyata. Tak banyak bicara, kedua tanganku seolah ahli dalam hal masak memasak. Meskipun kenyataannya tidak. 25 menit pun berlalu. Safira dan kakek nampaknya belum kembali dari sawah. Alhasil, sayur bayam ala chef Farah pun siap disajikan! Kucicipi sedikit, rasanya tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Kukira hasilnya buruk, tapi ternyata luar biasa! Nikmat sekali! Ini semua tak lepas dari bimbingan chef Safira tentunya…
            Terdengar suara ketukan pintu. Aku segera berlari dan membukanya. Safira dan kakek ternyata! Kebetulan sekali, masakanku sudah matang. Aku ingin mereka segera mencicipi dan mengomentari hasil masakanku. Kami bertiga tak sabar untuk makan siang dan langsung tancap gas menuju meja di dapur, karena sudah kupersiapkan semuanya disana.
            “Ini siapa yang memasak? Nikmat sekali!”puji kakek Alif. Betapa senangnya aku! “Ini hasil masakannya Farah lho kek! Farah memang pintar memasak!”tambah Safira sambil tersenyum kearahku. “Terima kasih kek. Tapi, berkat chef Safira juga tentunya, aku bisa memasak seperti ini. Safira memang jago memasak!”seruku. Kami kembali melanjutkan makan.
            Seusai makan, aku dan Safira duduk di ruang tamu. Seperti yang telah kami rencanakan sebelumnya, yaitu menyiapkan ide untuk lomba. Aku mengambil sebuah buku tulis yang tidak terpakai di kamar, sedangkan Safira mengambil buku gambar kuning kesayangannya itu. Tema lomba ialah Hijau Sekolahku. Kami berpikir keras untuk mendapatkan ide. Rupanya, Safira mendapat ide lebih cepat dibanding aku. 
            Ia membuat sketsa di buku gambarnya dengan pensil. Tangannya nampak terlatih. Sketsa hitam putih saja terlihat bagus, bagaimana setelah diwarnai? Pasti hasilnya luar biasa indah! Ia mengilustrasikan sebuah sekolah yang banyak pepohonan di halamannya, tampak hijau nan asri. Selain itu, digambarkan banyak siswa sedang kerja bakti membersihkan sekolahnya.
            Bagaimana dengan ide ceritaku? Aku mengkisahkan, ada 5 orang anak yang bersekolah di SMPN 1 Tulungmegung. Mereka bertekad untuk menjadikan sekolahnya hijau dan bersih. Akhirnya, dengan berani mereka mengajak warga sekolah untuk merubah perilakunya terhadap lingkungan. Contohnya dalam hal kedisiplinan membuang sampah. Ternyata, ajakan mereka berpengaruh. Perlahan-lahan, sampah berjatuhan di paving jumlahnya berkurang, bahkan sudah jarang sekali dilihat, atau tidak ada. Mereka juga mengajak warga sekolah untuk mencintai tanaman, dan menegakkan gerakan sejuta tanaman. Sekolah itu menjadi hijau dan bersih. Berkat mereka, SMPN 1 Tulungmegung mendapat predikat “Sekolah Terindah” di kota itu.
            Mungkin ide ceritanya sedikit aneh. But, I don’t care! Itu hasil pemikiranku, asli dari imajinasiku. Sebagai manusia biasa, aku hanya berharap dan berusaha agar segalanya berjalan dengan baik, dan membuahkan hasil yang bagus. Aku ingin, hasil karyaku ini menjadi yang terbaik. Kata Kak Aria, selaku panitia, untuk juara lomba menulis dan melukis, akan diikutkan lomba menulis cerita dan melukis tingkat nasional di kota Makalung. Semoga, aku dan Safira bisa menjadi wakil sekolah untuk mengikuti lomba tersebut. Tentunya, kelasku amat bangga jika ada anggotanya yang berprestasi, bukan?
(berlanjut ke hari H lomba)
            “Bagaimana Farah, apa kau sudah siap? Kita harus membanggakan kelas delapan-sembilan!”ucap Asisa penuh semangat. Aku tak terlalu menghiraukan ucapannya, tanganku sibuk menguncir rambutku, kucir kuda! Tak mungkin rambut hitam, lebat, dan panjang sepinggang itu kuurai begitu saja. Jika Bu Jasmine melihatnya, rambutku akan dikepang dua layaknya gadis desa, dan aku tak suka itu!
            “Farah! Kau tak menghiraukan ucapanku!”teriak Asisa kesal. “Eh, iya, maaf. Aku terlalu sibuk mengucir rambutku.”balasku. Asisa mengangguk dan menggandeng tanganku untuk turun menuju ruang 18, tempat lomba menulis diadakan. Putri sudah turun terlebih dahulu dibanding kami.
            Kami memasuki ruangan itu. Sedikit demi sedikit, para peserta memenuhi ruangan. Hingga akhirnya tak ada kursi kosong yang terlihat. Itu tandanya, seluruh peserta telah lengkap jumlahnya. Pak Risky membacakan peraturan selama lomba, dan ketentuan teknis penulisannya.
            “Ketentuan teknis lomba menulis cerita SMPN 1 Tulungmegung dua ribu empat belas. Satu, tulisan berbentuk cerpen yang ditulis tangan oleh peserta di kertas folio bergaris yang telah disediakan. Dua, cerpen ditulis menggunakan bolpoin, apabila ada kata yang salah, cukup dicoret saja. Tiga, panjang cerpen maksimal empat muka halaman, tidak boleh melebihi kertas yang diberikan. Empat, waktu menulis cerpen 1 jam, apabila setelah 1 jam belum selesai, kertas diletakkan di meja saja. Oh ya, penilaian dilihat dari keunikan ide cerita, penulisan bahasa yang benar dan EYD, serta tata letak kata.”
            Aku mendengarkannya baik-baik. Kak Aria membagikan kertas folio kepada masing-masing peserta. Suasana tegang, tak ada satupun yang berani membuka mulutnya untuk berkata sesuatu. Aku melihat isi tempat pensilku, berniat mengambil bolpoin. Aku terkejut, sepertinya aku lupa membawa bolpoin hitam di meja kamar. Yang kubawa malah bolpoin bertinta biru. Disaat suasana hening seperti itu, aku mengacungkan tangan dan berkata, “Pak Risky, saya lupa membawa bolpoin tinta hitam, bolehkah saya menggunakan bolpoin tinta biru? Bolpoin yang saya bawa hanyalah itu.”. “Silahkan, tak ada yang melarang.”jawab Pak Risky. Seluruh peserta memandangku. Aku tak memperdulikannya.
            Setelah menuliskan nama dan asal kelas, segera aku mengembangkan ide cerita yang kubuat kemarin lusa sembari menuliskannya. Hingga tak terasa, tulisanku mencapai tiga muka halaman kertas. Kuperkirakan, ceritaku berakhir di pertengahan halaman keempat.
            “Adik-adik, waktu kalian kurang dua puluh menit! Gunakan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya!”ucap Kak Aria tegas. Seluruh peserta tampak terburu-buru melanjutkan menulisnya, kecuali aku. Mungkin 20 menit cukup untuk melanjutkannya tanpa terburu-buru menurutku.
            Finally, ceritaku selesai sebelum waktu habis. Tiba-tiba, bel tanda lomba berakhir berbunyi. Tak semua dari mereka telah menyelesaikan naskahnya. Semua peserta keluar dari ruangan dengan raut muka yang berbeda-beda. Ada yang terlihat puas (mungkin cerita miliknya telah selesai), ada yang kecewa (mungkin ia butuh tambahan waktu untuk menyelesaikan naskahnya), bahkan ada yang terlihat bingung (kalau ini aku tak tahu penyebabnya).
            Para peserta atau kelas yang lolos ke babak semifinal dari masing-masing lomba dan pertandingan akan diumumkan nanti pukul 1 siang. Aku, Putri, dan Asisa kembali ke kelas. Kami tak sabar menanyakan hasil pertandingan futsal, basket, dan bulutangkis tadi.
            “Assalamualaikum..”ucap kami bertiga saat memasuki kelas. “Waalaikumusalam..”jawab teman-temanku serentak. “Bagaimana hasil pertandingan futsal, basket, dan bulutangkis tadi?”tanya Putri. “Tadi pertandingan bulutangkis melawan kelas delapan-dua menang. Pertandingan basket melawan kelas tujuh-empat, menang juga. Tapi, pertandingan futsal melawan kelas delapan-tujuh kalah.”jawab Sarah. “Tak apa, semoga nanti lomba menulis dan melukisnya masuk semifinal ya!”ucapku penuh semangat.
            Aku mengajak Safira ke kantin. Saat kami berniat memesan nasi goreng di Pak Neo, tiba-tiba aku mendengar obrolan kakak kelas tentang kepindahan Kak Nugi ke luar kota. Aku kaget, padahal belum sempat aku bertanya tentang diriku yang sebenarnya ke lelaki itu. Hanya sekali pertemuanku dengannya. Setidaknya aku berharap, Kak Nugi dapat membantuku menemukan keluargaku. Ternyata, tak sesuai dengan yang aku harapkan.
            “Ini mbak, nasi gorengnya.”ucap Pak Neo sembari menyodorkan dua piring nasi goreng kepada aku dan Safira. Kami tak menghiraukannya, karena masih memperhatikan beberapa kakak kelas yang membicarakan kepindahan pelatih ekskul menulis itu. “Maaf mbak, ini nasi gorengnya panas, tangan saya kepanasan.”keluh Pak Neo. Kami baru sadar jika sedari tadi Pak Neo memegangi nasi goreng pesanan kami. “Eh, iya, maaf Pak.”ucapku merasa bersalah sambil menerima nasi goreng dari tangan Pak Neo. Lalu kami mencari tempat duduk yang kosong.
            “Saf, aku menyesal, kenapa waktu itu aku tak segera menceritakan semuanya ke Kak Nugi. Setidaknya Kak Nugi bisa membantuku kan?”tanyaku meminta pendapat. “Ya, mungkin Allah sudah mengatur begitu, dan Kak Nugi bukanlah petunjuk.”jawabnya. Safira melihat raut mukaku yang begitu sedih. “Far, jangan sedih. Pasti suatu saat kamu menemukan keluargamu kok, hanya waktunya belum tepat. Semua itu ada jalan keluarnya. Percayalah!”ucap Safira menenangkanku. Aku mengangguk pelan.
            Seusai makan, kami berjalan mengembalikan piring ke Pak Neo dan membayar. Aku melihat jam dinding di kantin. Jam menunjukkan pukul 12:01. Adzan dhuhur telah berkumandang dari arah mushola sekolah. Kami memutuskan untuk sholat dhuhur terlebih dahulu, lalu kembali ke kelas.
            Saat kami berjalan menuju kelas, tiba-tiba ada pemberitahuan dari pengeras suara, “Untuk seluruh peserta lomba menulis dan melukis, mohon berkumpul di ruang delapan, karena pengumuman segera dilaksanakan.”. Kami mengurungkan niat untuk ke kelas, dan menuju ruang 8. Aku belum terlalu hafal letak ruangan-ruangan di sekolah ini.
            Putri dan Asisa berjalan menuruni tangga. Perlu diketahui, ruang 8 terletak di bawah. Aku dan Safira menunggu mereka di bawah tangga, agar bisa bersamaan ke ruangan yang dimaksud.
            Kami segera memasuki ruangan dan mencari tempat duduk. Tak lama, Bu Jasmine datang membawa selembar kertas yang bertuliskan nama-nama peserta yang lolos ke babak semifinal.
            “Baiklah anak-anak. Ibu akan segera mengumumkan sepuluh peserta dari masing-masing lomba yang lanjut ke babak selanjutnya, karena ini sudah terlalu siang dan kalian harus segera pulang. Nama yang ibu panggil silahkan maju ke depan. Peserta lomba menulis yang lolos ke babak semifinal ialah .. Dinda Ismiati, Clarita Syifa Audinia, Qori’atun Inayah, Liliana Naura, Natalia Asisa, Shafarella Nutri, Sari Minarsih, Violina Amartya, Desi Hanifah, dan yang terakhir … Farah Azalia Maura! Selamat untuk yang dipanggil.”seru Bu Jasmine. Aku masuk semifinal? Aih, senangnya! Aku dan Asisa mewakili kelas 8-9 untuk semifinal lomba menulis besok. Sayang, Putri tak lolos.
            “Pengumuman lomba melukis. Peserta lomba melukis yang lolos ke babak semifinal ialah .. Safira Dina Aulia, Alman Syakur, Fiola Ifyana, Zefania Intan, Bagas Tanoe, Farina Della Aurini, Flara Azzarah, Revana Chika, Melati Arum, dan Yunindya Ayu… Selamat untuk yang lolos! Dan bagi yang belum lolos, jangan berkecil hati. Masih ada kesempatan lain. Sekian dan terima kasih! Kalian boleh pulang. Untuk semifinal besok, tema lomba ialah, “Menjadi Pelajar yang Santun dan Berakhlaq Mulia.”. Kalian bisa mempersiapkannya.”ucap Bu Jasmine. Lalu, beliau pergi meninggalkan ruangan.
            Alangkah senangnya aku! Tiga anak dari kelas 8-9 melaju ke babak selanjutnya! Aku dan Safira berjalan menuju parkiran sepeda. Kami ingin segera menceritakan berita gembira ini ke kakek Alif.
            Sesampai di rumah, kakek sudah menunggu kami di kursi teras. Ya, ini sekitar jam setengah 2 siang, bukan? Tentu kakek Alif sudah pulang dari sawah. Kami tak perlu memasak siang ini, karena masakan kami pagi tadi masih cukup untuk makan siang. Setelah berganti pakaian, kami menceritakan tentang lomba tadi. Kakek tampak senang sekali, mendengar cerita itu. Kata kakek Alif, kami harus pandai mengasah bakat kami. Ya, meskipun bakat kami berbeda. Justru, kakek bangga akan itu.
            Tiba-tiba, Bu April (masih ingat Bu April kan? Jika tidak, coba buka bab 1!) mengentuk pintu rumah kami. Aku segera keluar menemuinya. “Assalamualaikum..”sapa Bu April. “Waalaikumsalam.. Ada apa bu?”balasku. “Begini. Bu April mau minta bantuan nak Farah dan nak Safira, kalau tidak keberatan, boleh ya kalian berdua membantu ibu untuk acara ulang tahun nak Tia, anak ibu?”ucap Bu April. “Kami tidak keberatan kok bu!”sahut Safira yang tiba-tiba muncul di sebelahku. Aku tak tahu sejak kapan dia disini. Bukannya tadi masih di kamar mandi? Entahlah.
            Aku mengangguk. “Kami berganti baju dulu ya, Bu! Setelah itu kami kesana.”ucapku. “Terima kasih ya nak, ibu tunggu.”balas wanita itu, lalu berjalan menuju rumahnya. Sepertinya rencanaku gagal untuk menyiapkan ide lomba menulis besok. Bagaimana pun, permintaan tolong orang lain lebih penting dibandingkan urusan pribadi kita bukan? Aku pasrah saja, dan terserah apa kata besok. Saat ini, aku belum menemukan ide cerita memang. Semoga besok dilancarkan oleh Allah, itu saja doaku.
            Setelah berganti baju, kami berjalan menuju rumah Bu April. Disana terlihat ramai sekali, dipenuhi anak-anak kecil seumuran anak Bu April. Aku tak tahu harus berbuat apa. Kami menemui Bu April yang terlihat repot sekali di dalam.
            Akhirnya, kami mendapat tugas masing-masing. Safira membantu Bu April mengemas snack, sedangkan aku menjadi pembawa acara dadakan. Hohoho.. Bakat terpendamku muncul! Rupanya aku juga berbakat menjadi mc! Anak-anak itu kuajak bermain, menyanyi, sampai menjawab kuis yang nantinya diberi hadiah. Semua tampak gembira, itu tandanya aku berhasil! Hehehe…
            Acara berakhir pukul 7 malam. Kami tampak kelelahan. Bu April mempersilahkan kami untuk pulang. Tapi, tentunya kami diberi sesuatu! Snack, ice cream coklat, dan tiga mangkuk soto ayam untuk makan malam. Kami senang sekali! Kebetulan, kami juga sudah terlalu lelah untuk memasak malam ini.
            Malam telah berlalu, dan kini berganti pagi. Matahari seolah malu menampakkan dirinya hari ini. Ia bersembunyi dibalik awan hitam yang siap menurunkan air matanya. Tak seperti biasanya, langit terlihat mendung dan gelap. Kami buru-buru mengayuh sepeda menuju sekolah, agar tidak kehujanan. Untungnya, hujan turun saat kami telah menaiki tangga, dan berjalan menuju kelas.
            Kali ini semifinal lomba menulis berada di ruang 22, tak sama seperti kemarin. Karena ruangannya besar, lomba menulis dan melukis digabung menjadi satu ruangan. Aku melihat raut muka para peserta. Mereka tampak siap sekali. Mungkin persiapan mereka lebih matang dibanding aku. Aku tak peduli! Aku harus tetap optimis demi meraih juara pertama, dan mengikuti lomba tingkat nasional di kota Makalung!
            Saat lomba dimulai, aku tak tahu ada zat apa di tangan dan pikiranku, hingga kedua organ tubuhku ini bekerja sangat kompak. Sesuai dengan tema yang diberikan tentunya. Kata demi kata kutulis. Aku tak menyangka, bisa menulis selancar itu meskipun tanpa persiapan ide cerita sebelumnya.
            Pengumuman kali ini berbeda dengan yang kemarin. Jika kemarin secara lisan oleh Bu Jasmine, kini hanya ditempel di mading saja. Aku, Safira, dan Asisa menyelinap masuk di kerumunan anak-anak. Ya, ramai sekali! Hingga tak terlihat kertas pengumumannya yang mana.
            Dan hasilnya… Alhamdulillah! Aku masuk lima besar yang melaju ke babak final! Safira juga! Meskipun, lagi-lagi namaku berada di urutan paling bawah. Entah, urutan nama itu berdasarkan apa. Sayang, Asisa tak masuk final. Langkahnya terhenti di semifinal. Tentunya kami sedih, perwakilan dari kelas 8-9 berkurang satu.
-o-
            Hari ini, 8 November 2014. Hari yang paling menegangkan, dan entah akan berubah menjadi menyenangkan atau menyedihkan. Aku sengaja tak menyiapkan ide cerita sebelumnya, karena tema untuk lomba final dirahasiakan, dan akan diberitahu saat lomba dimulai.
            Tepat pukul 07.00 (menurut jam dinding kelasku), aku dan Safira menuju ruang 2, tempat final lomba menulis dan melukis diadakan. Kali ini Pak Risky yang mengawasi lomba, tidak ditemani Kak Aria atau Bu Jasmine. “Tema lomba menulis dan melukis untuk final hari ini adalah “Menghadapi Dunia Globalisasi bagi Para Pelajar”. Waktu menulis dan melukis dua jam. Untuk lomba menulis, panjang cerita minimal 4 halaman, maksimal 8 halaman.”ucap Pak Risky seraya memberikan dua kertas folio bergaris kepada masing-masing peserta.
            Mungkin jika ditanya orang lain apa yang kutulis, aku tak bisa menjawabnya. Karena aku sendiri juga heran mengapa tangan dan pikiranku bisa bekerja sebaik itu. Alhasil, ceritaku berakhir di halaman ke-6.
            Setelah waktu habis, dan kami dipersilahkan untuk keluar, aku dan Safira berniat ke mushola, untuk sholat Dhuha. Lalu kami kembali ke kelas dan bergabung bersama teman-teman. Saat kami datang, ternyata mereka sedang menceritakan kejadian lucu saat masih kecil. Aku memilih untuk tidak ikut. Ya, aku tak mengingat masa kecilku.
            “Farah, sini! Kok menyendiri gitu?”tanya Nanda sambil menghampiriku. “Tak apa. Aku hanya malas untuk bercerita.”jawabku lesu. “Ayolah! Kumohon, sekali saja! Biasanya kau bergabung dengan kami kan? Tak biasanya kau begini!”balasnya. Aku menyerah. Terpaksa, aku bergabung dengan mereka dan menceritakan masa kecilku.
            Safira berbisik kepadaku. “Kau yakin ingin menceritakan masa kecilmu? Memang kau ingat?”tanyanya. “Bisa kuatur.”jawabku santai. Dan yang kulakukan adalah… Mengarang cerita secara lisan! Jika tadi pagi aku mengarang cerita melalui tulisan, kini kuucapkan langsung. Setelah kuceritakan semua, kini giliran Devi menceritakan masa kecilnya. Safira berbisik, “Kau hebat! Bakat mengarangmu patut dikagumi!”. “Hahaha.. Terima kasih!”balasku.
            Tiba-tiba, kami mendengar pemberitahuan dari pengeras suara bahwa seluruh finalis lomba menulis dan melukis harus berkumpul di ruang 46, karena pengumuman pemenang akan segera dilaksanakan. Aku dan Safira langsung berlari menuju ruangan yang dimaksud. Kami tak sabar untuk segera mengetahui pemenangnya.
            Kali ini, tidak hanya Bu Jasmine, Kak Aria, dan Pak Risky saja yang berada di ruangan itu, tetapi juga ada Bu Yuli, selaku Kepala Sekolah turut ikut menyaksikan pengumuman pemenang lomba menulis dan melukis ini.
            “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…”ucap Bu Jasmine memulai pembicaraan. “Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh…”jawab para finalis serempak. “Sebelumnya, ibu mengucapkan terima kasih kepada anak-anak karena telah berpartisipasi dalam acara ulang tahun sekolah dengan mengikuti lomba menulis cerita dan melukis. Ibu senang sekali, ternyata di sekolah ini ada calon-calon penulis dan pelukis di masa depan. Kemampuan kalian tak diragukan lagi. Kalian adalah peserta terpilih, yang mampu menyisihkan puluhan peserta dari kelas lain hingga lima terbaik. Untuk itu, bagi yang belum menang, kalian tetap optimis dan berusaha! Jangan pantang menyerah! Baik, dipersilahkan kepada Bu Yuli untuk mengumumkan pemenangnya.”ucap Bu Jasmine panjang lebar yang ternyata ujung-ujungnya diserahkan ke Bu Yuli.
            “Dimulai dari pemenang lomba melukis acara ulang tahun sekolah ke-empat puluh tahun dua ribu empat belas.. Juara ketiga diraih oleh… Farina Della Aurini dari kelas tujuh-satu! Juara kedua diduduki oleh… Safira Dina Aulia dari kelas delapan-sembilan! Juara satu dimenangkan oleh… Flara Azzarah dari kelas delapan-dua! Selamat kepada para pemenang dan dipersilahkan untuk maju ke depan!”seru Bu Yuli. Terdengar suara riuh tepuk tangan. Safira menang! “Saf, kamu menang!”sorakku. Ia tersenyum dan maju ke depan. “Dilanjutkan oleh pengumuman pemenang lomba menulis cerita! Juara ketiga diraih oleh… Clarita Syifa Audinia dari kelas sembilan-enam! Juara kedua diduduki oleh… Sari Minarsih dari kelas tujuh-tujuh! Dan juara satu dimenangkan oleh… Farah Azalia Maura dari kelas delapan-sembilan!”seru Bu Yuli. Aku masih terpaku di tempatku. Juara satu? Mimpikah ini? Aku maju ke depan bersama para pemenang. Safira tampak gembira melihatku. Namun yang kupikirkan sekarang, siapa yang mewakili sekolah untuk lomba tingkat nasional di Makalung? Apa hanya untuk juara 1 saja?
            “Oh ya, untuk juara 1, 2, dan 3 berhak mengikuti lomba menulis cerita dan melukis di kota Makalung tingkat nasional tanggal tiga puluh November nanti!”tambah Kak Aria. Berarti, aku bisa ikut lomba bersama Safira! Yeay!
            Aku dan Safira kembali ke kelas membawa piala dan bingkisan. Teman-teman menyambut kami gembira, dan memberi selamat. Kelas 8-9 berprestasi! Aku senang, meskipun keberadaanku sebagai anggota baru disini, namun bisa membanggakan nama kelasku. “Farah, Safira, selamat ya! Kalian hebat! Selamat berlomba juga di kota Makalung akhir November nanti!”ucap Devi kepada kami. “Terima kasih, Devi!”balas kami. Hari ini menjadi hari yang spesial buatku, dimana aku bisa berprestasi untuk yang pertama kalinya di sekolah baruku.
            Semenjak itu, karena mau menghadapi lomba, setiap hari kami dilatih. Sebenarnya aku berharap Kak Nugi hadir kembali ke sekolah ini, melatih para peserta yang hendak mengikuti lomba. Kini digantikan oleh pelatih baru. Namanya Kak Taufan. Umurnya tak beda jauh dengan Kak Nugi. Meskipun begitu, tetap saja, aku menginginkan Kak Nugi yang melatih, bukan Kak Taufan.
            Pengetahuanku tentang menulis semakin bertambah. Aku tak sabar, ingin rasanya kalender dipercepat hingga tanggal 30 November. Aku mengharapkan yang terbaik, optimis, dan selalu berdoa. Semoga lomba berjalan dengan lancar. Amin…
-o-
            “Farah, aku ingin mengusulkan sesuatu.”ucap Safira sambil menghampiriku yang sedang duduk di kursi teras. “Silahkan…”jawabku santai. “Aku tahu, suatu saat nanti kau akan kembali ke keluargamu, dan aku kehilanganmu. Aku ingin, kita membuat kenang-kenangan berdua.”ucapnya serius. “Kau pintar menggambar, dan aku menulis. Bagaimana kalau kita membuat komik?”usulku. “Boleh! Kapan kita mulai pembuatannya?”balasnya senang. “Setelah lomba nasional mungkin?”tanyaku. Dia tersenyum dan mengacungkan jempol, tanda setuju. “Janji?”ucapnya sambil mengacungkan kelingkingnya padaku. Aku membalasnya seraya mengaitkan kelingkingku, “Janji.”

            Kami semakin tak sabar, menunggu tanggal lomba tiba…

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Amnesia - Kakek Alif Seorang Petani yang Rajin

             Aku melangkahkan kaki menuju kelas. Tampak dari kejauhan, teman-temanku bergerombol di depan kelas. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu. Raut muka mereka sangat gembira. Aku menjadi semakin penasaran, ada apakah gerangan?
            “Nanda, ini ada apa? Mengapa ramai sekali?”tanyaku dengan raut muka bingung. “Hahaha… Farah tertinggal info! Mulai besok, kita libur kenaikan semester hingga tanggal dua November!”jawabnya sambil berseru ria. Suaranya yang keras membuatku harus menutup telinga. Asyik, berita menarik! Selama dua minggu ke depan, aku bisa membantu kakek bekerja di sawah. Dan aku ingin mengumpulkan informasi lebih banyak lagi seputar diriku.
            Saat pulang sekolah, aku dan Safira menemui kakek di sawah. Karena hari ini sekolah pulang lebih awal dari biasanya. Jadi, kakek pasti masih berada di sawah. Betul saja, tampak sosok Kakek Alif yang sedang mencangkul tanah di sawah, bersama petani-petani yang lain. Kami menghampiri Kakek Alif yang sedang serius. “Assalamualaikum.. Kakek Alif!”seru kami seraya memeluk Kakek Alif. “Waalaikumsalam! Cucu-cucu kakek sudah pulang rupanya. Tumben, masih pukul setengah sebelas pagi sudah pulang?”tanya Kakek Alif. Beliau menghentikan aktivitasnya sejenak. “Iya kek. Sekolah pulang lebih awal.”jawab Safira. Aku menambahkan, “Oh ya kek, ada kabar gembira! Mulai besok, kami libur kenaikan semester sampai tanggal dua November! Kami boleh kan membantu kakek bekerja di sawah besok?”. Kakek mengangguk. “Boleh, boleh! Asalkan kalian jangan sampai kelelahan ya.”ucap Kakek Alif. “Iya kek!”balasku dan Safira berbarengan.
            Keesokan harinya, aku, Safira, dan Kakek Alif bersiap-siap menuju sawah. Penampilanku sangat sederhana hari ini. Dengan rambut panjang yang terkuncir dua layaknya gadis desa, kaos atasan merah dan celana panjang putih (mirip seperti warna bendera Indonesia), dan sandal jepit berwarna hijau. Safira tampak cantik menurutku. Rambutnya yang panjang dikepang, memakai kaos atasan warna putih, dan rok panjang berwarna biru (mirip seperti seragam SMP), dan memakai sandal jepit berwarna kuning. Kakek menggoncengku, sedangkan Safira tetap mengayuh sepedanya.
            Tak terasa, akhirnya sampai di sawah sekitar pukul 06.00. Kakek segera menuju tanah garapannya, aku dan Safira mengikutinya dari belakang. Entah apa tugas kami disini, yang penting membantu kakek. “Kek, ada yang bisa kami bantu?”tanyaku. “Mmm,, kalian menanam padi saja ya. Nanti kakek ajarkan langkah-langkahnya.”jawab Kakek Alif. Kami mengangguk.
            Sambil bekerja, tak ada salahnya jika aku menanyakan sedikit tentang Kakek Alif. “Kek, Farah boleh tanya sesuatu tidak?”tanyaku memulai pembicaraan. “Boleh! Tanya saja.”jawab Kakek. Aku memulai mengajukan pertanyaanku. Safira tidak mendengarkan ucapan kami, karena dia tampak begitu serius menanam padi. “Kakek lahir dimana? Cerita ya kek, hingga akhirnya kakek bisa tinggal di Desa Saringpo itu.”tanyaku. “Kakek bukan penduduk asli desa ini. Kakek berasal dari kota Sidopono, sama sepertimu. Begitu juga dengan Safira, ia juga lahir disana.”jawab Kakek. “Lantas, kenapa kakek pindah ke kota Tulungmegung, dan tinggal di desa Saringpo?”tanyaku lagi. “Waktu itu, mungkin sekitar dua belas tahun yang lalu, di Kota Sidopono terjadi gempa bumi dahsyat. Dan Safira masih berumur 3 tahun. Kakek dan Safira terpisah dari keluarga. Anak kakek, menantu kakek, dan adiknya Safira saat itu sedang pergi. Di rumah hanya ada kakek dan Safira. Saat gempa itu terjadi, kakek dan Safira memilih keluar dari rumah dan menyelamatkan diri. Lalu kami tinggal di tempat pengungsian. Saat itu, kakek sudah tak memikirkan bagaimana nasib keluarga kakek. Oleh tim penyelamat, kami dicarikan tempat tinggal, dan menetaplah kakek di desa Saringpo itu.”cerita kakek Alif panjang lebar. “Apakah kakek tidak ingin kembali ke kota Sidopono dan mencari keluarga kakek?”tanyaku. “Sampai sekarang kakek belum mendapat kabar tentang keluarga kakek. Dan, kakek sudah merasa nyaman tinggal di desa ini bersama cucu kakek, Safira. Sebenarnya kakek berharap, suatu saat Safira bisa menemukan orang tuanya dan adiknya, jika memang masih hidup. Kasihan dia, masa kecilnya berlalu tanpa sosok orang tua.”jawab Kakek Alif. Aku mengerti ucapan Kakek Alif.
            Kami melanjutkan bekerja. Aku menghampiri Safira yang terlihat sibuk menanam padi. Sedangkan kakek menghampiri petani lain. Pagi itu menjadi pagi yang amat menyenangkan, melakukan hal yang sebelumnya mungkin belum pernah kulakukan. Ditemani oleh kicauan burung dan cerahnya sinar matahari, menambah kehangatan suasana saat ini.
            Para petani Desa Saringpo sangatlah rajin. Mereka mencari nafkah setiap hari demi keluarganya. Selain itu, sikap kekeluargaan diantara mereka amatlah rekat. Mereka bergotong royong demi kepentingan bersama. Jika dalam peribahasa, ibarat ‘berat sama dipikul, ringan sama dijinjing’. Segala masalah dirasakan oleh semua. Mereka menyelesaikan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Kebersamaan mereka itu lho, yang patut dikagumi. Sebaliknya, jika ada sesuatu yang menggembirakan, mereka juga merayakannya bersama-sama.
            Aku kagum melihat perjuangan Kakek Alif. Meskipun sudah tua, beliau tetap bekerja demi menghidupi dirinya dan cucunya, Safira. Beliau sangatlah hebat, bisa menyekolahkan Safira dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Semangat Kakek Alif patut dicontoh. Mencangkul tanah, menanam padi, mengairi sawah, memanen padi, seolah menjadi makanan Kakek Alif sehari-hari. Meskipun lelah, Kakek Alif tak pernah mengeluh. Apapun dilakukan demi kebahagiaan Safira. Seandainya saja, Kakek Alif adalah kakek kandungku.
            Setelah selesai menanam padi, aku dan Safira izin pulang ke rumah untuk menyiapkan makan siang dan sholat zuhur. Di tengah perjalanan, kami mampir terlebih dahulu di pasar dekat rumah. “Safira, kita memasak apa nanti?”tanyaku. “Kamu ingin makan apa?”tanyanya balik. “Masak masakan spesial yuk! Bagaimana kalau kita memasak oseng-oseng kangkung, lauknya ikan mujaer?”usulku. “Oke!”balasnya.
            Sesampai di rumah, kami segera menuju dapur dan memasak. Seperti biasa, aku bertugas memotong-motong sayur dan mengupas kulit bawang. Sedangkan Safira yang memasaknya. Kami memasak sambil bercerita seru. Hingga tak terasa, masakan kami pun telah matang. Kebetulan, saat itu Kakek Alif juga sudah pulang. “Kakek, ayo kita makan siang!”seruku. Aku sudah tak sabar ingin segera mencicipi masakan oseng-oseng kangkung tersebut.
            “Enak tidak kek, masakan buatan kami?”tanya Safira. “Enak sekali, oseng-oseng kangkung buatan cucu-cucu kakek. Kalian memang pintar memasak!”puji Kakek Alif. Kami tersenyum, “Terima kasih, kek!”.
            Setelah makan siang, tiba-tiba aku teringat tentang ide cerita yang pernah aku buat waktu itu. Aku ingin mengembangkannya menjadi sebuah novel. Safira asyik melihat acara memasak favoritnya di salah satu stasiun televisi. Sedangkan kakek Alif mencuci sepeda di garasi.
            Oh iya, aku belum menceritakan ide ceritaku. Sssttt,,, ini rahasia, yang tahu hanyalah aku, Safira, dan kalian! Mau tahu apa ide ceritaku? Ini dia:
Ada seorang anak perempuan yang bersekolah di salah satu SMP di kota. Dia jago bulu tangkis dan karate. Tapi, ia kurang mampu menguasai pelajaran yang didapatnya. Akibatnya, nilai rapotnya buruk, dan hanya unggul di bidang olahraga. Sampai akhirnya pada suatu hari, dia memiliki seorang sahabat yang dapat merubah cara berpikirnya, sehingga ia lebih mampu menguasai pelajaran. Prestasi di bidang olahraga nya pun tetap berjalan dengan baik. Ternyata, ia memiliki bakat terpendam, yaitu fotografi. Saat memasuki usia remajanya, dia telah menjadi atlet bulutangkis dan fotografer.
            Hmm,, bagus tidak ide ceritaku? Belum tuntas sih, bahkan aku pun belum mencari ide kelanjutan dari cerita itu. Sudahlah, jangan dipikirkan! Aku menulis kata demi kata sehingga tak terasa tulisanku sudah menjadi 6 halaman kertas buku tulis. Dan ups, tinta bolpoin ku habis. Dengan terpaksa, aku menghentikan kegiatanku.
            Malam harinya, aku menyusun rencana kegiatan yang akan kulakukan besok. Tiba-tiba Safira menghampiriku. “Farah belum tidur? Ayo tidur, sudah larut malam lho!”ucapnya. Aku mengangguk. Kami pun tertidur pulas.

            Hari demi hari dilalui. Hingga tak terasa, masa liburan telah habis. Dan besok, aku sudah kembali bersekolah seperti biasanya. Buku pelajaran, seragam, hingga alat tulis sudah kupersiapkan. Aku tak sabar, ingin bertemu dengan teman-temanku.

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Amnesia - Ekskul Menulis Cerita? Ikut!

            Aku melihat kartu pelajar itu sekali lagi. Sempat aku berfikir, kalau aku ingin kembali ke kota Sidopono. Dan mencari letak SMPN 1 Sidopono. Pasti guru-guru disana akan mengenaliku. Aku berencana untuk mengembalikan dompet dan kartu pelajar ini kepada temanku yang bernama Revanditya Nino Alvian, sebagai pemiliknya.
            Kuusulkan rencanaku kepada kakek untuk kembali ke kota Sidopono. “Kakek Alif, boleh tidak kalau Farah pergi ke kota Sidopono mencari keluarga Farah?”. Kakek menjawab, “Sebaiknya, jangan nak. Kau belum sembuh total. Masih dalam keadaan hilang ingatan. Kota Sidopono itu jauh, dan kau anak perempuan, tak baik jika pergi ke luar kota sendirian. Nanti saja, jika ingatanmu sudah kembali, kakek dan Safira janji akan menemani kamu ke kota Sidopono  untuk mencari keluargamu.”. Safira menambah, “Iya Farah. Selain itu, pergi ke luar kota itu butuh biaya transportasi. Lebih baik kita menabung dulu, jika nanti sudah terkumpul banyak, dan ingatanmu sudah kembali total, baru kita pergi ke kota Sidopono! Bagaimana?”. Aku mengangguk. Dalam hati, aku berjanji akan melakukan aktivitasku sehari-hari bersama Safira dan kakek hingga ingatanku pulih. Sekolah setiap hari dan membantu kakek di sawah.
            Keesokan harinya, seperti biasa, aku berangkat sekolah bersama Safira. Sesampai di sekolah, aku berjalan menuju kelas dan meletakkan tas di bangku. Devi memanggilku, “Farah, kayaknya kamu belum memilih ekstrakurikuler ya di sekolah ini?”. “Belum. Aku bingung ikut ekskul apa, Dev! Memangnya, apa saja ekskulnya?”tanyaku balik. “Banyak kok! Ada paduan suara, karawitan, badminton, basket, orkestra, melukis, tari, menulis cerita, dan lain-lain.”sahut Sarah. “Eits, menulis cerita? Mau! Di kelas ini, siapa saja yang ikut ekskul menulis?”balasku. “Cuma ada empat anak sih. Aku, Asisa, Nanda, dan Putri. Kalau kamu mau ikut, kan seru, bertambah satu anak!”jawab Indi, salah satu temanku yang lain.
            Kebetulan, hari ini hari Sabtu, jadwal ekskul menulis. Sepulang sekolah, aku tak langsung pulang. Berniat untuk mendaftar ekskul. Safira juga mengikuti ekskul melukis, jadi ia tak langsung pulang. Sama sepertiku, jam selesai ekskul menulis dan melukis itu bersamaan. Sehingga aku tetap bisa pulang bersama Safira, tanpa harus pulang sendiri.
            Aku, Indi, Nanda, Putri, dan Asisa berjalan menuju ruang ekskul. Tampak seorang lelaki muda sedang menunggu di meja yang berada di sudut ruangan. Asisa berbisik kepadaku seraya menunjuk lelaki itu. “Farah, kakak itu yang mengajar ekskul menulis. Namanya Kak Nugi. Dia sabar kok! Baik pula.”. Aku menanggapi pembicaraannya. “Oh, itu! Mmm,, temani aku ya Sis, bicara ke Kak Nugi kalau aku murid baru dan ingin bergabung di ekskul menulis!”. Asisa mengangguk.
            Setelah meletakkan tas di kursi, aku dan Asisa berjalan menuju meja Kak Nugi. “Kak, boleh tidak teman saya ini bergabung di ekskul menulis? Dia murid baru kak!”ucap Asisa. Kak Nugi menoleh. Tiba-tiba ia kaget setelah melihatku. “Lho, Friska! Kamu pindah sekolah? Lama ya tidak bertemu! Bagaimana kabarnya? Mengapa bisa sekolah di sini? Orang tuamu juga pindah? Jauh sekali pindahnya, dari kota Sidopono ke kota Tulungmegung!”tanyanya panjang lebar sehingga aku bingung menjawab yang mana dulu. Hah,, Kak Nugi mengenal aku? Dan memanggil aku dengan nama,, Friska??? Memangnya, Kak Nugi itu siapa?
            Asisa bingung mendengar ucapan Kak Nugi yang mengenal aku. “Loh, Kak Nugi sudah mengenal Farah ya?”tanya Asisa kebingungan. Aku masih terdiam. Kak Nugi menjawab, “Farah? Namanya kan Friska, bukan Farah! Iya, kakak sudah kenal Friska sejak dulu. Dia dulu tetangga Kak Nugi. Dan teman akrabnya. Tapi setelah Kakak pindah ke kota Tulungmegung, kita tidak pernah bertemu. Hei Friska, kok melamun?”. Pertanyaan Kak Nugi seolah mengagetkanku. Aduh, aku tak tahu apa-apa! “Em,, i-i-iy-iya kak! Friska pindah sekolah ke luar kota. Friska sekarang tinggal di rumah saudara. Kabar Friska baik kok!”. Aku berusaha mencari jawaban. Kulihat Asisa yang masih kebingungan. “Kamu boleh ikut ekskul menulis. Selamat bergabung!”seru Kak Nugi. Aku mengangguk.
            Kami kembali bergabung bersama teman-teman. Untungnya, Asisa tak bertanya yang macam-macam tentangku. Perkataan Kak Nugi masih terpikir di benakku. Namun, aku harus tetap fokus dengan materi ekskul pertamaku ini.
            Materi menulis cerita kali ini adalah langkah dasar menyusun sebuah karangan. Langkah pertama membuat cerita adalah menentukan tema. Langkah selanjutnya yaitu mencari ide cerita. Selanjutnya, menentukan judul. Setelah itu, membuat kerangka karangan. Lalu, dari kerangka karangan itu dikembangkan menjadi sebuah karangan yang utuh. Dan perlu diingat, dalam sebuah cerita harus ada permasalahan dan penyelesaian, agar cerita itu menarik. Itulah pembelajaran yang aku dapatkan hari ini.
            Tepat pukul 16.30, ekskul menulis dan melukis selesai. Aku menghampiri Safira di ruang ekskul melukis. “Safira, kamu sudah selesai?”tanyaku. “Sudah Far! Ayo kita pulang! Kasihan kakek, sendirian di rumah. Kita harus menyiapkan makanan untuk makan malam nanti!”jawab Safira. Kami berjalan menuju tempat parkir sepeda. Dan mengayuh sepeda ke arah pulang.
            Tok..tok..tok.. “Assalamualaikum! Kakek Alif!”seruku dan Safira sambil mengetuk pintu rumah. Kakek Alif menjawab, “Waalaikumsalam! Farah, Safira, kalian sudah pulang! Kok sampai sore sekolahnya?”. “Ada ekskul kek.”balasku. “Ya sudah, kita mau menyiapkan makan malam dulu ya kek!”tambah Safira. Kakek hanya tersenyum melihat tingkah kedua cucunya.
            Setelah makan malam, aku mengajak Safira duduk di kursi bambu. Aku ingin menceritakan tentang ucapan Kak Nugi tadi siang. “Safira, aku mau cerita.”ucapku memulai pembicaraan. “Curhat ya? Tentang ekskul menulis?”katanya. “Iya sih, sedikit! Kamu tahu Kak Nugi pembimbing ekskul menulis kan?”tanyaku. Ia menjawab, “Tahu! Memangnya kenapa?”. “Tadi waktu aku meminta izin untuk bergabung di ekskul menulis, ternyata Kak Nugi mengenal aku.”balasku. Safira tertarik dengan apa yang akan aku bicarakan. “Oh ya? Cerita dong Far!”. “Tadi, aku dan Asisa berniat untuk meminta izin bergabung di ekskul, tapi ternyata Kak Nugi mengenal aku. Dia kaget dan tanya-tanya kabarku. Kak Nugi memanggil aku Friska. Waktu ditanya Asisa siapa Kak Nugi, Kak Nugi jawab, katanya dia tetangga aku dan teman akrabku dulu. Lalu pindah ke kota Tulungmegung. Oh ya Saf, dugaanku benar lho! Kalau aku berasal dari kota Sidopono.”terangku panjang lebar.
            Kami terdiam sejenak. Safira melanjutkan dengan nada pelan, “Berarti, informasimu bertambah! Nama aslimu adalah Friska.”. Aku mengangguk. “Sepertinya begitu.”. Entah mengapa, tiba-tiba Safira menangis. “Loh, kamu kenapa Saf? Kok menangis?”tanyaku. “Aku takut kehilangan kamu Far, kalau suatu saat kamu pergi meninggalkan aku dan kakek, karena kamu sudah menemukan keluargamu. Padahal, aku sayang sama kamu, sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri.”jawabnya pelan. “Sudah, tak perlu menangis! Kalau suatu hari aku sudah menemukan keluargaku dan ingatanku kembali, aku janji tidak akan melupakan kamu. Kita akan tetap menjadi saudara, Safira.”ucapku menenangkannya. Aku merekam ucapanku dalam otakku. “Janji?”tanyanya sambil mengarahkan jari kelingkingnya kepadaku. Aku mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingking Safira. “Janji!”balasku tersenyum. Malam itu menjadi malam yang sangat indah, malam yang menyaksikan sebuah persahabatan abadi layaknya saudara. Dihiasi bintang dan sinar bulan purnama.
            Aku masuk ke dalam kamar, sedangkan Safira masih menemani kakek Alif melihat televisi di ruang keluarga. Tiba-tiba terlintas sebuah ide cerita di pikiranku. Aku ingin membuat novel. Segera kutuliskan ide ceritaku di sebuah buku tulis kosong. Sebenarnya, aku ingin mengetiknya langsung di laptop. Namun apa daya, sampai saat ini Safira belum memiliki laptop. Aku memakluminya. Semoga saja, suatu hari kehidupan keluarga ini akan membaik. Allah pasti akan membalas kebaikan seseorang, seperti kebaikan Kakek Alif dan Safira kepadaku.
            Tanpa kusadari, lamunan panjangku terhenti karena seseorang. Ternyata Safira. Ia menepuk bahuku dari belakang. “Farah melamun? Itu apa?”tanyanya seraya menunjuk buku tulis yang berisi ide ceritaku itu. Pertanyaan itu sontak mengagetkanku. “Tidak, bukan apa-apa. Oh ini, tadi tiba-tiba aku menemukan ide untuk menulis cerita. Ya sudah, aku tulis saja di buku ini.”jawabku. Safira mengerti ucapanku.

            Selama tinggal di sini, aku belum pernah melihat gambaran atau lukisan Safira satu kali pun. “Safira, aku ingin lihat gambarmu! Pasti bagus!”. Safira menjawab, “Hmm,, biasa saja! Sebentar ya, aku ambilkan buku gambarku di lemari.”. Aku mengangguk. Tak lama kemudian, Safira menghampiriku dengan membawa sebuah buku gambar berukuran A3 yang berwarna kuning. Ia duduk di sebelahku dan membuka halaman demi halaman buku gambar itu. Aku terkagum-kagum melihat gambarannya. Goresan pensil yang sangat teratur dan membentuk sebuah gambar yang amatlah indah. “Bagus sekali gambarmu! Aku saja belum tentu bisa menggambar seperti itu.”ucapku memuji. “Mmm,, terima kasih! Tapi, setiap orang itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Aku juga, belum tentu bisa menulis cerita dan menemukan ide cerita sebagus yang kamu tulis tadi.”balasnya. Benar kata Safira, kelebihan dan kekurangan setiap orang itu berbeda-beda. Jadi, kita tak perlu iri dengan kelebihan orang lain, justru kita harus mengembangkan kelebihan yang kita punya. 

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Amnesia - Tragedi Kecelakaan Bis

Aku membuka mataku perlahan. Cahaya terang seolah menyorot mataku. Kulihat sekeliling. Aku berada di sebuah kamar yang sepertinya asing bagiku. Kamar kecil nan sederhana. Di sebelahku tampak seorang lelaki tua yang tersenyum setelah melihatku tersadar. Ada juga seorang anak perempuan yang umurnya tak beda jauh denganku. Ia duduk menemani lelaki tua itu.
            Kurasakan kepalaku yang amat sakit dan pusing. Aku berusaha untuk duduk, menyapa mereka yang sedari tadi duduk menemaniku. Siapa mereka? Dan mengapa aku bisa berada disini?
            Tiba-tiba anak perempuan itu menyapaku. “Kau sudah sadar? Alhamdulillah!” ucapnya. “Syukurlah nak, kau telah sadar. Apakah kau masih merasa sakit?” tanya lelaki tua. Aku mengangguk pelan, karena kepalaku masih terasa berat untuk digerakkan. “Siapa namamu nak?” tanya lelaki tua itu sekali lagi. Aku tersadar. Seharusnya aku tahu siapa namaku. Namun kali ini, aku tak mengenal siapa diriku sendiri. Namaku, keluargaku, daerah asalku, teman-temanku, sepertinya ada gangguan di otakku.
            Aku menggelengkan kepala. “Maaf kek, saya tidak tahu siapa nama saya. Kepala saya pusing. Kakek ini siapa ya? Saya tidak mengenal kakek sebelumnya.” kataku. “Perkenalkan, nama kakek Alif Winarko. Kamu bisa panggil saya kakek Alif. Dan ini cucu kakek, Safira Dina Aulia. Kamu bisa memanggilnya Safira.”jawab seorang lelaki tua yang ternyata bernama Kakek Alif tersebut. “Mengapa saya bisa berada disini ya kek?” tanyaku yang tak henti-hentinya bertanya. “Kami yang telah menyelamatkan dan merawatmu setelah kecelakaan bis dua hari yang lalu. Kau terluka, dan kakek yang menemukanmu di tempat lokasi kejadian. Memangnya kau tak ingat kejadiannya? Apa kau amnesia?” ucap Safira. “Sepertinya begitu. Aku sama sekali tak mengingat tentang kejadian kemarin. Bahkan, aku sendiri tak mengingat siapa namaku, keluargaku, dan teman-temanku.”jawabku apa adanya.
            “Untuk sementara waktu, kau boleh tinggal disini. Sampai akhirnya kau berhasil menemukan keluargamu dan kondisimu akan membaik. Anggap saja kakek ini kakekmu sendiri. Dan Safira adalah saudaramu. Umur kalian juga tak beda jauh.”kata Kakek Alif. “Terima kasih kek! Terima kasih juga Safira!”balasku tersenyum. “Oh ya, kan kamu belum tahu nama kamu siapa sebenarnya. Bagaimana kalau namamu Farah saja? Lebih lengkapnya Farah Azalia Maura. Setuju tidak?”usul Safira. “Aku setuju kok, Saf! Nama pemberianmu bagus!”ucapku.
            Aku sangat beruntung bisa diselamatkan oleh orang-orang baik seperti Kakek Alif dan Safira. Mereka sudah kuanggap sebagai kakek dan saudaraku sendiri. Aku belum tahu, bisa membalas kebaikan mereka dengan apa. Jika tidak ada mereka, mungkin aku tidak bisa diselamatkan.
            Beberapa hari kemudian… Kondisiku kini sudah berangsur-angsur membaik. Dan sampai akhirnya, suatu sore aku mengajak Safira bersepeda sekitar desa untuk memperkenalkan diriku kepada tetangga lainnya.
            Aku mengayuh sepedaku bersebelahan dengan Safira. Tiba-tiba ada suara ibu-ibu memanggil Safira. Ibu itu duduk di teras depan rumahnya sambil mengobrol dengan ibu-ibu lain. “Nak Safira, jarang main ke rumah ibu. Itu teman kamu ya? Siapa namanya?”. Safira menjawab, “Bukan Bu April, ini saudara saya. Namanya Farah. Memang saudara jauh, jadi jarang ke rumah saya. Untuk beberapa bulan, dia menginap di rumah saya.”. Aku menyalimi dan mencium tangan Bu April tanda hormat. Dan memperkenalkan diriku.
            Kami melanjutkan bersepeda. “Saf, masyarakat sekitar sini itu ramah ya!”seruku. “Ya, begitulah masyarakat Desa Saringpo. Mereka selalu bersikap ramah kepada siapapun, baik itu penduduk tetap atau pun penduduk sementara sepertimu.”balas Safira. Aku semakin merasa nyaman tinggal di desa ini, penduduknya ramah, pemandangannya bagus, udaranya sejuk, dan banyak pepohonan. Semua yang ada disini sebagian besar masih alami, berupa sawah dan lahan kosong, bangunan pun masih sedikit jumlahnya.
            Setelah puas bersepeda, kami memutuskan untuk pulang ke rumah. Sesampai di rumah, tiba-tiba kakek memanggilku. “Farah, kakek punya kejutan buat kamu!”seru kakek Alif. “Apa kek?”tanyaku gembira. “Mulai besok, kamu sudah bisa bersekolah di sekolahnya Safira. Kakek sudah mengurus segala keperluanmu untuk sekolah. Kamu senang?”kata kakek Alif. “Senang sekali! Terima kasih kek!”sorakku.
            Tepat pukul 7 malam, aku duduk di kursi bambu teras. Kutatap langit yang penuh bintang. Bintang itu berkerlap-kerlip seolah mengerti perasaanku yang sedang senang. Aku sangat bersyukur kepada Allah, karena sampai sekarang masih diberi keselamatan. Jujur saja, sebenarnya aku ingin mengetahui siapa diriku ini. Bertemu dengan keluarga, berkumpul bersama saudara, bermain bersama teman, sepertinya adalah hal terindah yang aku bayangkan saat ini.
            Tiba-tiba ada seseorang menepuk pundakku. “Hei, sedang apa duduk disini?”tanya orang itu. Aku menoleh. Ternyata suara Safira. “Tak ada yang sedang kulakukan, hanya sekedar melihat bintang saja! Sini, duduk di sebelahku!”ajakku. Safira menuruti perintahku.
            “Kalau boleh tahu, orangtuamu kemana? Sepertinya aku tidak pernah melihat sosok ibu dan ayah di rumah ini. Maaf sebelumnya, kalau aku bertanya yang aneh-aneh.”ucapku memulai pembicaraan. “Tak apa kok, Far. Tidak ada yang salah dengan ucapanmu. Sejak umur tiga tahun, aku sudah kehilangan orang tuaku dan adikku. Aku tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang. Waktu itu ada musibah yang memisahkan kami, saat aku berumur tiga tahun dan adikku masih bayi. Kamu beruntung Far, memiliki saudara dan orangtua, yang sangat menyayangimu, meskipun kamu tidak tahu keberadaannya dimana sekarang. Tapi aku yakin, pasti kedua orangtuamu disana selalu mendoakanmu untuk keselamatanmu.”jawab Safira. Ia tak kuat menahan tangis air mata. Aku jadi merasa bersalah karena membuat Safira menangis.
            “Maaf ya Safira, gara-gara aku, kamu jadi menangis seperti ini! Mmm,, terima kasih ya, karena ucapanmu, aku jadi tenang sekarang. Oh ya, apa kamu mau menemani aku ke lokasi kecelakaan kemarin? Barangkali aku bisa menemukan sesuatu sebagai petunjuk.”ucapku. Safira mengangguk dan mengusap air matanya. Kami pun segera masuk kamar dan bersiap untuk tidur. Aku tidak sabar untuk hari esok, yaitu bersekolah. Selamat malam semua!
            Kring…kring…kring… Alarm berbunyi. Safira segera beranjak dari tempat tidur, melipat selimut dan merapikan tempat tidurnya. Sedangkan aku, masih tetap memeluk guling di tempat tidur. Hahaha…
            “Farah, ayo bangun! Hari ini itu hari pertama kamu sekolah! Masa’ mau terlambat sih? Kan malu? Ayolah, bangun!”seru Safira seraya menggoyang-goyangkan pundakku. “Iya,, iya,, ini aku sudah bangun!”balasku dengan nada terpaksa. Aku beranjak dari tempat tidur. Setelah merapikan tempat tidur, aku melihat jam dinding. Hah? Masih jam 3 pagi? Kenapa harus dibangunkan sekarang?
            “Safira,, tunggu!”ucapku dengan nada agak keras. Safira berjalan menuju dapur, aku menyusulnya dari belakang. “Sekarang kan masih jam tiga pagi, kenapa harus bangun? Bukankah masuk sekolah masih jam tujuh pagi? Paling tidak, kita bisa bangun jam lima bukan?”tanyaku. “Hahaha… Farah, Farah! Mungkin kamu tidak terbiasa bangun pagi seperti ini! Kita harus menyiapkan sarapan untuk kakek. Setelah selesai menyiapkan sarapan, kita sholat subuh berjamaah di mushola. Lalu, bersiap-siap ke sekolah!”jawabnya. “Lho, kamu yang memasak?”tanyaku sekali lagi. Safira mengangguk. “Iya, aku sudah terbiasa kok memasak. Memangnya Farah mau bantuin?”. Aku menjawab, “Mau,, mau! Sekalian aku ingin belajar memasak bersama chef Safira…”. Kami berdua tertawa dan melanjutkan memasak.
            Aku mengikuti tata cara memasak Safira. Padahal sebenarnya aku tidak tahu sedang memasak apa. Hehehe… Ternyata Safira anak yang rajin! Pasti Kakek Alif bangga banget punya cucu seperti Safira. Sifat Safira memang patut untuk ditiru. Rajin, disiplin, cantik, berakhlak baik, Safira pantas dikagumi.
            Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya masakan kami matang dan siap untuk disajikan. Adzan subuh pun terdengar dari arah mushola di depan rumah. Kakek Alif menyapa kami yang agak kelelahan usai memasak. “Wah, cucu-cucu kakek rajin sekali! Ya sudah, ayo bersiap-siap ke mushola untuk sholat subuh  berjamaah! Nanti terlambat lho!”. Kami berdua mengangguk hampir bersamaan.
            Tepat pukul 04.30, kami kembali ke rumah setelah dari mushola. Sesampai di rumah, kami segera bersiap-siap menuju sekolah. Mmm,, nikmatnya menyantap masakan buatan sendiri. Aku memuji masakan Safira. “Safira, enak banget loh masakannya! Nama masakannya apa sih?”. “Oh, terima kasih! Itu kan buatan kamu juga. Nama masakannya Sayur Lodeh.”.
            Kami berpamitan untuk berangkat sekolah. Setelah mengucapkan salam dan mencium tangan kakek, kami mengayuh sepeda beriringan menuju sekolah. Kata Safira, letak sekolahnya memang agak jauh dari rumah. Jadi, kami harus berangkat dari rumah pukul setengah enam pagi, meskipun masuk sekolah masih jam tujuh pagi.
            Tak terasa, akhirnya sampai juga kami di tempat tujuan. Kuparkir sepedaku bersebelahan dengan sepeda Safira. Setelah itu, berjalan masuk menuju sekolah. Bangunan megah ini kupandangi lekat-lekat. Sekolah ini memang tampak bagus dan bersih. Aku masih tak menyangka, bisa bersekolah di SMP Negeri favorit di kota ini. SMPN 1 Tulungmegung, itulah namanya. Fasilitas yang ada di sekolah ini sangatlah lengkap.
            Aku mengikuti Safira, karena kata kakek kelas kami sama. Ternyata kelas kami berada di lantai dua. Teman-teman Safira menyambut kami, dan mereka berkenalan denganku. Aku memperkenalkan diriku sebagai saudara Safira.
            Teng..teng..teng.. Bel masuk berbunyi. Semua murid segera masuk kelas dan duduk di bangkunya masing-masing. Seorang guru masuk ke dalam kelas. Dan berniat untuk memperkenalkan diriku kepada teman-teman.
            Dengan ragu bercampur malu, aku memperkenalkan diriku. “Pagi teman-teman! Namaku Farah Azalia Maura. Kalian bisa memanggilku Farah. Umurku dua belas tahun. Aku pindahan dari luar kota. Rumahku sama seperti rumah Safira, yaitu di Desa Saringpo nomer dua. Aku saudaranya Safira. Jika ada yang ingin ditanyakan, kalian bisa menanyakannya nanti. Terima kasih!”. Seketika kelas hening. Seorang guru yang tadi menyuruhku untuk memperkenalkan diri, kini mencarikan tempat duduk untukku. “Farah, kamu bisa duduk di sebelahnya Sarah, karena kebetulan Devi tidak masuk hari ini.”. Aku mengangguk dan meletakkan tasku di bangku.
            Sarah memperkenalkan dirinya kepadaku. “Hai Farah! Namaku Dianita Sarah. Kamu bisa panggil aku Sarah. Oh ya, kamu sudah tahu belum nama ibu guru yang tadi?”. Aku menjawab, “Belum. Memang, siapa namanya?”. “Namanya Bu Jasmine. Beliau guru fisika, sekaligus wali kelas kita. Bu Jasmine itu guru yang amat sabar.”balasnya.
            Aku merasa seperti anak kecil di kelasku. Bagaimana tidak? Semua teman-temanku rata-rata berumur 15 tahun. Sedangkan aku, masih 12 tahun. Aku menjadi murid termuda di kelas. Hahaha… Tak apalah, tapi aku selalu berusaha untuk menjalani kegiatan pembelajaran sehari-hari dengan mudah sebagai murid yang duduk di bangku kelas 2 SMP. Padahal pada umumnya, anak berusia 12 tahun itu masih duduk di bangku kelas 6 SD lho…
            Sepulang sekolah, aku dan Safira tak langsung pulang ke rumah. Aku meminta Safira untuk mengantarkanku ke lokasi kejadian kecelakaan beberapa hari yang lalu. Berharap akan menemukan barang sebagai petunjuk.
            Setelah sampai, kupandangi bangkai bis yang telah rusak. Aku melihat sekeliling. Safira mengikuti langkah kakiku dari belakang. Setelah sekian lama melihat-lihat, tiba-tiba aku menghentikan langkah kakiku. Mataku terpanah pada suatu barang yang tergeletak di tanah. Hmm,, sebuah dompet yang hangus. Aku yakin, pasti ini milik salah satu temanku yang juga menjadi korban kecelakaan. Tanpa pikir panjang, aku membuka dompet itu. Safira ikut melihat. Isinya hanyalah selembar uang sepuluh ribu yang sobek, dan sebuah kartu pelajar SMP. Kartu itu bertuliskan:
KARTU PELAJAR SMPN 1 SIDOPONO
Nama : Revanditya Nino Alvian
            Tempat Tanggal Lahir : Sidopono, 9 Februari 2000
            Jenis Kelamin : Laki-laki
            Asal Sekolah : SMPN 1 Sidopono
            No. Induk : 1234567890
            Tinggi badan : 160 cm
Berarti, kemungkinan besar aku berasal dari kota Sidopono. Sayang sekali, foto yang ada di kartu itu hangus dan tak jelas. Dompet itu kumasukkan ke dalam tas sekolahku. Aku ingin menanyakan kejadian terakhir kepada warga sekitar. Barangkali, ada informasi yang akan kudapatkan.
            “Permisi bu, apakah ibu tahu tentang tragedi kecelakaan bis dua minggu yang lalu ini?”tanyaku kepada salah satu ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya. “Ibu sedikit tahu, jika ada yang ingin ditanyakan, silahkan bertanya. Mungkin ibu bisa membantu.”jawab ibu itu. “Penyebab kecelakaan ini apa ya bu?”selidikku layaknya seorang detektif. “Menurut kepolisian, penyebab kecelakaan ini karena sopir bis yang mengantuk. Jadi, ada serombongan anak SMP sedang pergi wisata. Tapi, sepertinya mereka berasal dari luar kota.”jawabnya. “Lantas, bagaimana dengan korbannya?”tanya Safira. Oke, kali ini Safira yang berbicara. “Sebagian dilarikan ke rumah sakit oleh penduduk sekitar, tapi ada juga yang melarikan diri sebelum bis meledak. Bahkan, ada yang dinyatakan hilang.”tanggapnya. Aku terdiam sejenak. Sebenarnya, aku lebih beruntung daripada teman-temanku. Sampai sekarang, aku masih selamat. Sedangkan mereka, belum tentu selamat. Ada yang dinyatakan hilang pula. Kasihan mereka. Aku ingin mencari teman-temanku, tapi aku tidak ingat muka masing-masing. Namanya pun aku tidak tahu.
            “Baiklah bu. Terima kasih atas informasinya! Ibu sangat membantu kami.”ucapku. “Sama-sama nak.”balasnya. Aku dan Safira kembali ke tempat berhentinya sepeda. Kami bergegas untuk pulang.

            Sepertinya aku ingin mengumpulkan informasi lebih banyak lagi. Berarti, mungkin saja dugaanku benar. Kalau aku adalah murid kelas satu SMP yang sedang pergi wisata bersama teman-temanku, dan mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju tempat wisata. Jadi, penyebab aku amnesia seperti ini adalah karena kecelakaan itu. Hmm, akan kupikirkan nanti.

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS