Langit
agak mendung, saat Fiara berjalan menaiki tangga sekolah.Ia melangkahkan
kakinya perlahan, mungkin karena efek penilaian lari kemarin. Kelasnya berada
di lantai atas, dan masih jauh dari tangga. Gadis berusia 12 tahun itu tampak keberatan
dengan beban tas ransel yang berada di punggungnya.
Sesampai di depan kelas, Fiara mengetuk pintu dan mengucapkan
salam. “Assalamualaikum..”ucapnya.
“Waalaikumsalam..”balas teman-teman Fiara serentak.
Untungnya,
saat itu guru bahasa daerah belum datang. Padahal, Fiara merasa terlambat, dan
takut karena bahasa daerah menjadi jam pelajaran pertama.
“Pagi Fiara! Tugas bahasa daerah
sudah kamu selesaikan?”sapa Safira, sahabat Fiara yang duduk sebangku
dengannya.
Gadis
itu hanya mengangguk, ia tampak sibuk meletakkan tas di kursi.
“Boleh aku pinjam bukumu? Hanya untuk mencocokkan jawaban saja.”tanya
Fiara.
“Silahkan.”
Tak sengaja, Fiara melihat jam tangan yang melingkar di tangan
Safira. Warnanya merah muda, jarum penunjuk angkanya berwarna ungu, menarik
sekali! Ia ingin memiliki jam tangan seperti milik Safira.
“Jam tangan baru, Saf? Kamu beli dimana?”
“Ini pemberian pamanku. Kemarin baru pulang dari Jakarta.”
“Bagus. Aku suka melihatnya!”
“Terima kasih.”
Percakapan singkat itu terhenti tepat ketika Bu Nina, guru bahasa
daerah memasuki kelas. Pelajaran pun dimulai.
Tak terasa, jam pelajaran bahasa daerah habis. Bel istirahat pun
berbunyi. Fiara dan Safira berjalan menuju kantin. Safira tampak heran, sejak
tadi Fiara terus memandangi jam tangan miliknya.
“Ra, kamu ingin punya jam tangan ya?”tanya Safira membuka
pembicaraan.
Fiara hanya diam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Di dalam hati, ia
memang benar-benar menginginkannya. Safira tak melanjutkan pertanyaannya. Dia
tidak ingin sahabatnya mengira dirinya memamerkan jam tangannya.
Raut muka Fiara tampak lesu sepulang sekolah.Langkah
kakinya pelan sekali, bahkan hentakan sepatunya hampir tak bersuara. Selain
kakinya sakit, ia juga malas untuk pulang ke rumah terlalu cepat. Ia
membayangkan betapa beruntungnya Safira, bisa memiliki jam tangan sebagus itu.
Sebenarnya sudah lama, Fiara ingin memiliki jam tangan.Namun, selalu saja, ia
berpikir keinginannya itu tak akan terwujud. Tak lama, ia sudah sampai di
rumahnya, meskipun dengan kecepatan langkah kaki yang sangat rendah. Mungkin
itu karena rumah Fiara yang tak jauh dari sekolah.
“Assalamualaikum!”serunya
sambil mengetuk pintu.
“Waalaikumsalam.”jawab
seorang wanita setengah baya dari dalam rumah. Ya, itu ibu Fiara.
“Ibu
lihat, sepertinya anak ibu satu-satunya ini tampak lesu. Ada masalah di sekolah
ya nak?”tanya ibu seraya memperhatikan raut muka anaknya.
Fiara
diam, tak menjawab pertanyaan ibunya.
“Ceritalah
kepada ibu, barangkali ibu bisa membantu. Atau, kamu menginginkan suatu
barang?”ucap ibu.
“Mengapa
ibu bisa tahu kalau Fiara menginginkan sesuatu?”tanya Fiara balik.
“Bagaimana
ibu tidak tahu, kan Fiara anak ibu.”jawab ibu.
“Fiara
ingin punya jam tangan, bu.”ucap Fiara memelas kepada ibu.
Ibu
terdiam sejenak, dan menjawab, “Fiara, bukannya ibu tak mau menuruti, tapi kamu
tahu sendiri, ibu ini hanya seorang penjual sayur dan buah. Ibu tak mampu membelikanmu
jam tangan.”.
Ibu
mengusap rambut Fiara. Fiara mengangguk sedih. Padahal, ia sangat ingin
memiliki jam tangan seperti teman-teman di sekolahnya, apalagi seperti milik
Safira.
“Lho,
anak ibu kok sedih? Begini saja, ibu berjanji kalau ibu punya rezeki lebih, ibu
pasti akan belikan kamu jam tangan.”kata ibu menenangkan Fiara.
Fiara
mengusap air matanya. Ia tahu, meskipun ada rezeki lebih, tapi uang itu
digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting. Tiba-tiba ia terpikir untuk
menyisihkan uang sakunya per hari.
“Bu,
mulai sekarang Fiara akan menabung, agar bisa membeli jam tangan!”seru Fiara.
“Boleh.
Sisihkan sebagian uang saku dan uang jajanmu, mungkin kira-kira satu bulan,
kamu bisa membelinya.”ucap ibu.
Setiap
hari, Fiara menyisihkan sebagian uang sakunya. Uang saku Rp 3.000,- disisihkan
Rp 2.000,-. Biasanya, seluruh uang sakunya dibelikan bakso semangkok. Mulai
sekarang, ia hanya bisa membeli pentol di depan sekolahnya. Rasa lapar
ditahannya hingga pulang sekolah.
Tak
terasa, satu bulan berlalu.Setelah dihitung, rupanya jumlah tabungan Fiara
sudah mencukupi untuk membeli barang yang diidamkannya selama ini.Ia dan ibunya
berniat untuk pergi ke toko jam tangan siang itu.
Fiara
mengunci pintu rumahnya. Lalu, kunci itu dimasukkan ke dalam tas kecil miliknya.
Namun pada saat keluar pagar, tiba-tiba Bu Mimi, tetangga Fiara datang
menghampiri mereka.Sepertinya ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
“Bu,
saya minta tolong, anak saya sakit tipus, kami tidak memiliki uang untuk
membelikan Aira obat.Boleh saya pinjam uang dulu bu, jika ada uang untuk
mengembalikan pasti akan saya ganti.”
“Maaf
bu, bukannya saya tidak mau membantu, tapi...”belum sempat ibu selesai bicara,
Fiara berkata, “Ini bu, ada sedikit uang untuk membeli obat. Semoga Aira cepat
sembuh ya bu.”.
Fiara
menyerahkan seluruh uang tabungannya kepada Bu Mimi.Bu Mimi menerimanya.
“Terima
kasih ya nak Fiara.Semoga Tuhan membalas kebaikanmu.”ucap Bu Mimi.
Fiara
mengangguk.Ibu heran melihat Fiara.Bukannya uang itu jerih payahnya selama ini
demi membeli barang yang diinginkannya sejak lama?
Setelah
Bu Mimi berlalu, Fiara dan ibu kembali masuk ke rumah.Mereka membuka kembali
pintu rumah yang telah terkunci itu.
“Nak,
kenapa kau berikan uang tabunganmu itu? Bukankah kamu sangat menginginkan jam
tangan?”tanya ibu.
“Tak
apa bu. Kalau ada tetangga kesusahan, mengapa tidak kita bantu? Kan kebutuhan
Bu Mimi lebih penting daripada kebutuhan Fiara.Untuk masalah jam tangan, Fiara
bisa kok menabung lagi.”jawab Fiara.
“Ibu
bangga kepadamu nak. Semoga bulan depan kita bisa membelinya ya!”ucap ibu
sambil memeluk Fiara.
Fiara
masuk ke kamar.Ia melihat celengan ayamnya yang kini telah kosong. Dia tahu, Bu
Mimi tak akan mengembalikan uangnya dalam waktu dekat. Karena keadaan ekonomi
keluarga Bu Mimi tak beda jauh dengan keluarganya. Salah satu cara untuk bisa
membeli jam tangan hanyalah dengan menabung lagi. Padahal, ia sudah tak sabar
untuk mencicipi bakso langganannya setelah satu bulan tidak membelinya.
Keeseokannya,
Fiara berangkat sekolah. Seperti biasa, ia berjalan kaki.Sesampai di sekolah, Safira
menepuk bahunya.
“Fiara,
aku ingin menunjukkan sesuatu.”ucap Safira.
Awalnya,
Fiara menolak, karena dia ingin melihat mading di lantai bawah.Namun, tanpa
banyak bicara, Safira menggandeng tangan Fiara untuk duduk di sebelah
bangkunya.Kebetulan, kelas tak begitu ramai saat itu.
“Ada
apa, Saf?”tanya Fiara lugu.
“Ini
untukmu.”ucapnya sambil menunjukkan sebuah kotak yang berisi jam tangan merah
muda di dalamnya.
“Untukku?
Ini kan sama persis seperti jam tangan yang kau pakai sekarang?”tanya Fiara tak
percaya.
“Iya.Kemarin
pamanku ke rumahku. Beliau memberi jam tangan ini, maksudnya jika jam tanganku
rusak, nanti ada gantinya. Namun, sepertinya jam tanganku tak apa-apa.Aku rasa
masih bagus.Ya sudah, daripada tidak aku pakai, lebih baik aku berikan ke kamu
saja. Kamu suka kan?”ucap Safira
“Umm,,
suka ! Suka sekali … Terima kasih ya, Saf! Tapi, jam tangan ini terlalu bagus
untuk dipakai anak berkulit sawo matang sepertiku.”
“Tidak.
Kau pantas mengenakannya..”bantah Safira.
“Sekali
lagi, terima kasih ya, Saf!Kamu memang sahabat yang baik.”kata Fiara.
Safira
mengangguk.Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan bagi Fiara. Bahkan,
ia mencatat tanggalnya di buku harian, ‘Sabtu, 20 Februari 2016’…
0 comments:
Post a Comment