~~~ Welcome to my blog! And don't forget to visit again ^^ Arigato! ありがとう ~~~
Welcome to Chovanila Zone Blog! Please leave a chat or comment :)
RSS

Friday 2 May 2014

Cerpen : Jam Tangan Fiara

Langit agak mendung, saat Fiara berjalan menaiki tangga sekolah.Ia melangkahkan kakinya perlahan, mungkin karena efek penilaian lari kemarin. Kelasnya berada di lantai atas, dan masih jauh dari tangga. Gadis berusia 12 tahun itu tampak keberatan dengan beban tas ransel yang berada di punggungnya.
Sesampai di depan kelas, Fiara mengetuk pintu dan mengucapkan salam. “Assalamualaikum..”ucapnya.
“Waalaikumsalam..”balas teman-teman Fiara serentak.
Untungnya, saat itu guru bahasa daerah belum datang. Padahal, Fiara merasa terlambat, dan takut karena bahasa daerah menjadi jam pelajaran pertama.
            “Pagi Fiara! Tugas bahasa daerah sudah kamu selesaikan?”sapa Safira, sahabat Fiara yang duduk sebangku dengannya.
Gadis itu hanya mengangguk, ia tampak sibuk meletakkan tas di kursi.
“Boleh aku pinjam bukumu? Hanya untuk mencocokkan jawaban saja.”tanya Fiara.
“Silahkan.”
Tak sengaja, Fiara melihat jam tangan yang melingkar di tangan Safira. Warnanya merah muda, jarum penunjuk angkanya berwarna ungu, menarik sekali! Ia ingin memiliki jam tangan seperti milik Safira.
“Jam tangan baru, Saf? Kamu beli dimana?”
“Ini pemberian pamanku. Kemarin baru pulang dari Jakarta.”
“Bagus. Aku suka melihatnya!”
“Terima kasih.”
Percakapan singkat itu terhenti tepat ketika Bu Nina, guru bahasa daerah memasuki kelas. Pelajaran pun dimulai.
Tak terasa, jam pelajaran bahasa daerah habis. Bel istirahat pun berbunyi. Fiara dan Safira berjalan menuju kantin. Safira tampak heran, sejak tadi Fiara terus memandangi jam tangan miliknya.
“Ra, kamu ingin punya jam tangan ya?”tanya Safira membuka pembicaraan.
Fiara hanya diam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Di dalam hati, ia memang benar-benar menginginkannya. Safira tak melanjutkan pertanyaannya. Dia tidak ingin sahabatnya mengira dirinya memamerkan jam tangannya.
Raut muka Fiara tampak lesu sepulang sekolah.Langkah kakinya pelan sekali, bahkan hentakan sepatunya hampir tak bersuara. Selain kakinya sakit, ia juga malas untuk pulang ke rumah terlalu cepat. Ia membayangkan betapa beruntungnya Safira, bisa memiliki jam tangan sebagus itu. Sebenarnya sudah lama, Fiara ingin memiliki jam tangan.Namun, selalu saja, ia berpikir keinginannya itu tak akan terwujud. Tak lama, ia sudah sampai di rumahnya, meskipun dengan kecepatan langkah kaki yang sangat rendah. Mungkin itu karena rumah Fiara yang tak jauh dari sekolah.
“Assalamualaikum!”serunya sambil mengetuk pintu.
“Waalaikumsalam.”jawab seorang wanita setengah baya dari dalam rumah. Ya, itu ibu Fiara.
“Ibu lihat, sepertinya anak ibu satu-satunya ini tampak lesu. Ada masalah di sekolah ya nak?”tanya ibu seraya memperhatikan raut muka anaknya.
Fiara diam, tak menjawab pertanyaan ibunya.
“Ceritalah kepada ibu, barangkali ibu bisa membantu. Atau, kamu menginginkan suatu barang?”ucap ibu.
“Mengapa ibu bisa tahu kalau Fiara menginginkan sesuatu?”tanya Fiara balik.
“Bagaimana ibu tidak tahu, kan Fiara anak ibu.”jawab ibu.
“Fiara ingin punya jam tangan, bu.”ucap Fiara memelas kepada ibu.
Ibu terdiam sejenak, dan menjawab, “Fiara, bukannya ibu tak mau menuruti, tapi kamu tahu sendiri, ibu ini hanya seorang penjual sayur dan buah. Ibu tak mampu membelikanmu jam tangan.”.
Ibu mengusap rambut Fiara. Fiara mengangguk sedih. Padahal, ia sangat ingin memiliki jam tangan seperti teman-teman di sekolahnya, apalagi seperti milik Safira.
“Lho, anak ibu kok sedih? Begini saja, ibu berjanji kalau ibu punya rezeki lebih, ibu pasti akan belikan kamu jam tangan.”kata ibu menenangkan Fiara.
Fiara mengusap air matanya. Ia tahu, meskipun ada rezeki lebih, tapi uang itu digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting. Tiba-tiba ia terpikir untuk menyisihkan uang sakunya per hari.
“Bu, mulai sekarang Fiara akan menabung, agar bisa membeli jam tangan!”seru Fiara.
“Boleh. Sisihkan sebagian uang saku dan uang jajanmu, mungkin kira-kira satu bulan, kamu bisa membelinya.”ucap ibu.
Setiap hari, Fiara menyisihkan sebagian uang sakunya. Uang saku Rp 3.000,- disisihkan Rp 2.000,-. Biasanya, seluruh uang sakunya dibelikan bakso semangkok. Mulai sekarang, ia hanya bisa membeli pentol di depan sekolahnya. Rasa lapar ditahannya hingga pulang sekolah.
Tak terasa, satu bulan berlalu.Setelah dihitung, rupanya jumlah tabungan Fiara sudah mencukupi untuk membeli barang yang diidamkannya selama ini.Ia dan ibunya berniat untuk pergi ke toko jam tangan siang itu.
Fiara mengunci pintu rumahnya. Lalu, kunci itu dimasukkan ke dalam tas kecil miliknya. Namun pada saat keluar pagar, tiba-tiba Bu Mimi, tetangga Fiara datang menghampiri mereka.Sepertinya ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
“Bu, saya minta tolong, anak saya sakit tipus, kami tidak memiliki uang untuk membelikan Aira obat.Boleh saya pinjam uang dulu bu, jika ada uang untuk mengembalikan pasti akan saya ganti.”
“Maaf bu, bukannya saya tidak mau membantu, tapi...”belum sempat ibu selesai bicara, Fiara berkata, “Ini bu, ada sedikit uang untuk membeli obat. Semoga Aira cepat sembuh ya bu.”.
Fiara menyerahkan seluruh uang tabungannya kepada Bu Mimi.Bu Mimi menerimanya.
“Terima kasih ya nak Fiara.Semoga Tuhan membalas kebaikanmu.”ucap Bu Mimi.
Fiara mengangguk.Ibu heran melihat Fiara.Bukannya uang itu jerih payahnya selama ini demi membeli barang yang diinginkannya sejak lama?
Setelah Bu Mimi berlalu, Fiara dan ibu kembali masuk ke rumah.Mereka membuka kembali pintu rumah yang telah terkunci itu.
“Nak, kenapa kau berikan uang tabunganmu itu? Bukankah kamu sangat menginginkan jam tangan?”tanya ibu.
“Tak apa bu. Kalau ada tetangga kesusahan, mengapa tidak kita bantu? Kan kebutuhan Bu Mimi lebih penting daripada kebutuhan Fiara.Untuk masalah jam tangan, Fiara bisa kok menabung lagi.”jawab Fiara.
“Ibu bangga kepadamu nak. Semoga bulan depan kita bisa membelinya ya!”ucap ibu sambil memeluk Fiara.
Fiara masuk ke kamar.Ia melihat celengan ayamnya yang kini telah kosong. Dia tahu, Bu Mimi tak akan mengembalikan uangnya dalam waktu dekat. Karena keadaan ekonomi keluarga Bu Mimi tak beda jauh dengan keluarganya. Salah satu cara untuk bisa membeli jam tangan hanyalah dengan menabung lagi. Padahal, ia sudah tak sabar untuk mencicipi bakso langganannya setelah satu bulan tidak membelinya.
Keeseokannya, Fiara berangkat sekolah. Seperti biasa, ia berjalan kaki.Sesampai di sekolah, Safira menepuk bahunya.
“Fiara, aku ingin menunjukkan sesuatu.”ucap Safira.
Awalnya, Fiara menolak, karena dia ingin melihat mading di lantai bawah.Namun, tanpa banyak bicara, Safira menggandeng tangan Fiara untuk duduk di sebelah bangkunya.Kebetulan, kelas tak begitu ramai saat itu.
“Ada apa, Saf?”tanya Fiara lugu.
“Ini untukmu.”ucapnya sambil menunjukkan sebuah kotak yang berisi jam tangan merah muda di dalamnya.
“Untukku? Ini kan sama persis seperti jam tangan yang kau pakai sekarang?”tanya Fiara tak percaya.
“Iya.Kemarin pamanku ke rumahku. Beliau memberi jam tangan ini, maksudnya jika jam tanganku rusak, nanti ada gantinya. Namun, sepertinya jam tanganku tak apa-apa.Aku rasa masih bagus.Ya sudah, daripada tidak aku pakai, lebih baik aku berikan ke kamu saja. Kamu suka kan?”ucap Safira
“Umm,, suka ! Suka sekali … Terima kasih ya, Saf! Tapi, jam tangan ini terlalu bagus untuk dipakai anak berkulit sawo matang sepertiku.”
“Tidak. Kau pantas mengenakannya..”bantah Safira.
“Sekali lagi, terima kasih ya, Saf!Kamu memang sahabat yang baik.”kata Fiara.

Safira mengangguk.Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan bagi Fiara. Bahkan, ia mencatat tanggalnya di buku harian, ‘Sabtu, 20 Februari 2016’…

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment