Terik matahari
menyengat di tubuhku. Angin sepoi-sepoi seolah mengiringiku berjalan. Penuh
sapaan ramah yang harus kubalas dengan senyuman. Langkah kakiku terasa sangat
berat, karena harus melawan hembusan angin dari arah berlawanan. Keringat pun
bercucuran dari sekujur tubuhku. Namun, inilah yang harus kujalani setiap hari.
Melangkahkan kaki demi menuntut ilmu, meskipun lelah kurasakan.
Akhirnya, rumah kesayanganku telah terlihat di depan
mata. Kulihat ibu sedang merebus kerang bersama ibu-ibu yang lain. Aku mengetuk
pintu rumah. Tampak seorang anak membukakan pintu. Itu Arin, adikku yang masih
duduk di bangku kelas 5 SD. Ia menyambut kedatanganku dengan gembira. “Kak Fifi
pasti lapar ya? Arin sudah buatkan sup ayam kesukaan kakak. Oh ya, nanti tolong
beritahu ibu ya kak, kalau masakannya sudah matang.”ucap Arin. Aku mengangguk.
“Terima kasih ya dek.”jawabku. Walaupun masih berumur 11 tahun, tetapi Arin
sangat pandai dalam hal memasak. Ia selalu mempraktekkan resep yang dipinjamnya
di perpus sekolahnya.
Kuletakkan tas sekolahku di kursi kamar. Setelah berganti
pakaian dan makan siang, aku menghampiri ibu yang sedari tadi merebus kerang di
depan rumah. “Assalamualaikum...”ucapku ramah. “Waalaikumsalam..”balas mereka.
“Bu, lebih baik sekarang ibu istirahat saja ya di rumah, biar Fifi yang merebus
kerang-kerang ini. Ibu pasti lelah, bekerja sejak pagi tadi. Oh ya, masakannya
sudah matang.”kataku. Ibu menjawab, “Wis, ibu wae nduk. Kowe ya kesel tho,
mulih saka sekolah. Lek ana tugas sekolah, ndang digarap kana! Ya wis, kowe
karo Arin mangan wae dhisik, ibu mengko wae.”(Sudah, ibu saja. Kamu juga
lelah kan, pulang dari sekolah. Jika ada tugas sekolah, segera dikerjakan sana!
Ya sudah, kamu dan Arin makan saja dulu, ibu nanti saja). Itulah ibuku. Beliau
adalah wanita yang pekerja keras. “Ya sudah, jika ibu menolak. Fifi masuk rumah
dulu ya. Fifi mau belajar untuk ulangan besok. Ibu-ibu, pareng rumiyin.”ucapku
berpamitan kepada tetangga-tetangga yang lain.
Aku kagum melihat kekompakan para warga kampung nelayan.
Mereka bekerja sama demi keluarganya. Hasil yang mereka dapat pun dibagi
bersama. Beginilah ceritanya…
Para lelaki di kampung nelayan akan bekerja mencari
kerang di malam hari. Mereka menaiki perahu yang ada di sungai depan rumah.
Setiap pagi hari, para ibu-ibu merebus kerang, dan ada juga yang bertugas
memisahkan kulit kerang dari kerangnya. Lalu, kerang-kerang itu dijual
bersama-sama ke pasar. Hasil yang mereka dapatkan hari itu, dibagi
bersama-sama. Begitulah kegiatan mereka sehari-hari.
Malam itu, hujan sangat deras. Kulihat sungai depan
rumah. Permukaan air sungai semakin tinggi. Aku takut, jika setiap hari hujan
seperti ini, kemungkinan besar banjir akan melanda. Namun, ini sudah waktunya
musim hujan tiba. Aku memikirkan nasib para nelayan yang mencari kerang. Jika
cuaca buruk, mereka tak bisa berlayar. Pendapatan mereka pun akan berkurang.
Keesokan harinya, seperti biasa, aku dan Arin berangkat
ke sekolah. Setelah berpamitan, kami berjalan menuju jalan raya. Jarak antara
rumahku dengan jalan raya cukup jauh. Karena itulah, kami berangkat pukul 05.45
dari rumah. Setelah sampai di jalan raya, aku mencari angkot menuju sekolah,
sedangkan Arin hanya berjalan sedikit sudah sampai sekolahnya. Deru mesin
kendaraan yang amat bising terdengar di telingaku. Tak lama, angkot yang aku
tunggu pun telah tiba.
Sepulang sekolah, aku berjalan menuju jalan raya depan
sekolah untuk mencari angkot. Tiba-tiba, aku melihat sebuah dompet yang
tergeletak di tanah. Kuambil dompet itu. Isi uang di dalamnya banyak sekali.
Kira-kira lima belas lembar uang nominal seratus ribuan. Ternyata, disitu terdapat
nama pemiliknya. Tono Hardianto, itulah nama yang kulihat. Alamat rumahnya
yaitu di Jalan Diponegoro nomer 8. Dengan segera aku memberhentikan angkot yang
lewat di depanku. “Pak, tolong antarkan ke Jalan Diponegoro ya!”ucapku kepada
sopir angkot. Lelaki itu mengangguk.
Setelah sampai, aku segera mencari alamat yang ada di KTP
itu. Akhirnya, aku menemukan rumah yang kucari. Aku mengetuk pintu segera, dan
mengucap salam. Tampak dari dalam rumah, seorang lelaki setengah baya
membukakan pintu.
“Permisi pak. Apakah benar ini rumah Pak Tono
Hardianto?”tanyaku yang masih mengenakan seragam sekolah. “Iya, saya Pak Tono.
Memangnya ada apa ya mbak, datang kemari?”tanya lelaki itu yang ternyata
dialah orang yang kucari. “Oh ini pak, saya mau mengembalikan dompet bapak.
Tadi saya menemukannya di depan sekolah saya.”jawabku seraya menyerahkan dompet
yang kupegang. “Iya, benar mbak ini dompet saya. Terima kasih ya, mbak
jujur sekali. Sebagai rasa terima kasih saya, ini ada sedikit uang untuk mbak.
Mohon diterima.”kata Pak Tono sambil menyerahkan lima lembar uang seratus
ribuan yang tadi ada di dalam dompetnya. Aku menolaknya, karena aku ikhlas
mengembalikan dompet itu. “Terima kasih pak. Tapi saya ikhlas kok mengembalikan
dompet ini, karena saya tahu, pemiliknya pasti sekarang sedang bingung
mencarinya.”. Pak Tono berkata, “Mbak sungguh berhati mulia. Semoga
Allah membalas perbuatan baik mbak ini ya. Amin…”. Aku mengangguk dan
berpamitan. Sebenarnya, Jalan Diponegoro tidak sejalur dengan arah rumahku.
Namun, jika kita menemukan barang yang bukan milik kita, pasti harus
dikembalikan ke pemiliknya.
Aku melihat saku bajuku. Tidak ada uang untuk naik angkot
menuju rumah. Bagaimana ini? Uang untuk naik angkot sudah terpakai tadi, saat
mengembalikan dompet ke rumah Pak Tono. Ya sudahlah, akhirnya aku memilih untuk
berjalan kaki menuju rumah. Padahal, dari Jalan Diponegoro menuju rumahku yang
berada di desa Bluru Kidul itu jaraknya sangat jauh.
Sesampai di rumah, aku terlihat lelah sekali. Sore itu,
yang kurasakan hanya lelah dan mengantuk, meskipun sebenarnya aku belum makan
siang. Arin masuk ke kamarku. “Kak Fifi belum makan ya? Arin ambilkan saja ya
Kak! Kalau kakak nggak makan, nanti bisa sakit.”ucapnya penuh perhatian
kepadaku. “Tidak perlu, Rin. Biar Kak Fifi ambil sendiri saja. Sekarang kamu
istirahat, nanti malam mengerjakan tugas sekolah.”jawabku. Arin mengangguk,
lalu ia berlalu meninggalkanku.
Setelah makan siang, aku mencoba untuk tidur. Namun
tiba-tiba, Arin masuk ke kamarku dengan keadaan panik. “Kak, Kak Fifi, Kak
Fifi!”ucap Arin dengan nada agak keras. Ia menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku
membuka mataku. “Kenapa dek, kok panik gitu?”tanyaku ikut panik. “Ibu Kak! Ibu!
Ibu mengeluh, katanya perutnya sakit. Ayo kak, lebih baik kakak lihat sendiri
saja di kamar ibu!”jawab Arin sambil menggandeng tanganku.
Kami berdua masuk kamar ibu. “Astaghfirullah!”ucap kami
bersamaan saat melihat ibu pingsan dalam keadaan pucat sekali. “Ya sudah Rin,
kamu tenang ya! Kak Fifi panggil Pak Bandi dan Bu Susi dulu! Kita bawa ibu ke
rumah sakit sekarang!”kataku. Aku segera keluar rumah dan menghampiri Pak
Bandi, tetangga sebelah rumah. “Assalamualaikum..”ucapku panik.
“Waalaikumsalam…”jawab Pak Bandi dari dalam rumahnya. “Ada apa nak Fifi, kok
terlihat panik seperti itu?”tanya beliau. “Pak, saya minta tolong. Ibu sakit.
Sekarang beliau tak sadarkan diri. Tolong antarkan ibu ke rumah sakit
pak.”jawabku. “Astaghfirullah.. Ya sudah, tunggu sebentar ya nak.”ucap Pak
Bandi. Alhamdulillah, batinku dalam hati. Aku meminta tolong Pak Bandi, karena
hanya beliau di kampung ini yang memiliki kendaraan untuk mengantar ibu. Pak
Bandi memiliki becak yang biasa digunakan untuk mengangkut hasil kerang sehari-harinya.
Sedangkan warga kampung ini, mereka rata-rata memiliki sepeda pancal.
Aku memopoh ibu keluar dari kamar. Pak Bandi menunggu di
depan rumah dengan becaknya. Arin tampak panik dan khawatir terhadap ibunya.
“Rin, kamu jaga rumah ya! Kak Fifi dan Pak Bandi akan mengantar ibu ke rumah
sakit. Percayalah dan berdoalah, semoga ibu tidak apa-apa.”ucapku. “Iya kak.
Hati-hati ya Kak!”balasnya.
Letak rumah sakit cukup jauh dari rumahku. Aku jadi ingat
kejadian satu minggu yang lalu. Waktu itu, ibu mengeluh hal yang sama. Aku
ingin memeriksakan ibu ke rumah sakit. Namun ibu menolak. Beliau mengatakan,
jika dirinya tidak apa-apa, hanya kelelahan. Ibu malah tersenyum, mungkin agar
aku tenang. Saat itu sebenarnya aku mulai curiga, namun semua itu kulupakan.
Dan siang ini, ibu mengeluh lagi. Sakit apa sesungguhnya ibuku ini ya Allah?
Setelah sampai, aku dan Pak Bandi memopoh ibu untuk
masuk. Saat itu juga, ibu ditangani di ruang UGD (Unit Gawat Darurat). Pak
Bandi meminta izin kepadaku untuk kembali ke rumah, dan mengantarkan Arin ke
sini. Aku tak tega melihat Arin sendirian di rumah. Pasti ia juga cemas
terhadap keadaan ibunya.
Sekitar 40 menit lamanya, Pak Bandi dan Arin sampai di
rumah sakit. Mereka menghampiriku yang sejak tadi duduk di depan ruang UGD.
“Kak, bagaimana kondisi ibu sekarang?”tanyanya. Aku menggeleng tak tahu. “Belum
ada kabar dek. Kita tunggu saja ya!”jawabku pasrah.
Tak lama, tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruangan.
Aku dan Arin segera menghampirinya. Kami ingin bertanya tentang keadaan ibu
sekarang. “Pak dokter, bagaimana kondisi ibu saya dok?”tanya Arin. “Pasien
kritis dan harus ditangani.”jawab dokter itu. Astaghfirullah, batinku.
“Memangnya, ibu saya sakit apa dok?”tanyaku. “Lho, kalian belum tahu? Bukankah
Bu Siti sudah pernah periksa kesini sebelumnya?”tanya dokter lagi. Berarti ibu
menyembunyikan penyakitnya. Beliau tidak ingin aku dan Arin tahu. Arin
menggeleng tak tahu. “Ibu kalian menderita sakit gagal ginjal. Salah satu
ginjalnya sudah tidak berfungsi. Untungnya, kami sudah mendapatkan pendonor
ginjal. Jadi, harus segera dilakukan operasi.”ucap Pak Dokter. Aku dan Arin
kaget mendengar jawaban Pak Dokter. Kok bisa sih, ibu menyembunyikan
penyakitnya seperti ini, batinku dalam hati. Kami berdua tak kuat menahan
tangis.
Seorang suster menghampiriku. “Mbak, mari ikut
saya menuju ruang administrasi.”ucap suster itu. Aku mengangguk. Arin
mengikutiku dari belakang. Pak Bandi tetap menunggu di kursi.
“Silahkan duduk.”ucap suster setelah kami memasuki ruang
yang dimaksud. Aku dan Arin duduk. “Begini mbak. Ibu anda harus segera
dioperasi. Silahkan diselesaikan dulu pembayarannya. Biaya operasi tiga puluh
juta. Untuk rawat inap, bisa dipilih mau kelas apa. Ada kelas satu, kelas dua,
kelas tiga, VIP, Super VIP, dan ada yang kelas bangsal.”kata suster. Aku kaget,
mahal sekali biaya operasinya. “Apa tidak boleh dicicil sus, insyaallah saya
akan menyelesaikan pembayarannya sekitar satu minggu kedepan.”ucapku memelas.
Aku tak memiliki uang sebanyak itu. Tabunganku, mungkin jika dipecah jumlahnya
hanya sekitar lima puluh ribu. Begitu pula dengan tabungan milik Arin. Ibu juga
tak memiliki cadangan uang lebih. “Maaf, untuk pembayaran ini tidak dapat
dicicil. Harus diselesaikan hari ini juga. Jika tidak, ibu anda terpaksa harus
keluar dari rumah sakit ini, dan operasi pun dibatalkan.”jawab suster itu
tegas. “Baiklah sus. Insyaallah saya akan berusaha mengumpulkan uang hari ini
juga!”balasku. Arin menatapku sambil menangis. Ia tahu, tak mungkin kakaknya
bisa mendapat uang sebanyak itu dalam beberapa jam saja.
Aku dan Arin keluar dari ruangan. “Kakak yakin bisa
melunasi biaya operasi ibu?”tanyanya ragu. Aku menggeleng. “Kak Fifi juga
bingung dek.”jawabku. Tiba-tiba, Pak Tono, orang yang tadi kehilangan
dompetnya, menghampiri kami berdua. “Pak Tono!”ucapku. Beliau mengangguk dan
tersenyum. Arin bingung melihatku. “Kak Fifi kenal orang ini?”tanyanya. Aku
menjawab, “Iya Rin. Tadi, kakak menemukan dompet Pak Tono di depan sekolah
kakak, lalu Kak Fifi mengembalikan dompet beliau. Oh ya, Pak Tono, perkenalkan,
ini adik saya, namanya Arin.”. Pak Tono tersenyum kepada Arin. “Mbak, tadi
bapak tak sengaja ikut mendengar percakapan di dalam. Kalau mau, bolehkah saya
membantu untuk membayar operasi ibu mbak? Saya ikhlas kok membantunya.”ucap Pak
Tono kepadaku. Arin menjawab, “Alhamdulillah Kak, ada yang membantu kita!”.
“Iya dek. Terima kasih ya Pak, Alhamdulillah!”ucapku. “Sama-sama. Oh ya nak
Arin, bapak sangat kagum melihat kejujuran kakak kamu. Jika dompet itu
ditemukan orang lain, bapak tak yakin, bisa kembali ke tangan bapak.”kata Pak
Tono. Aku dan Arin tersenyum gembira.
Akhirnya, masalah biaya sudah terselesaikan. Ibu menjalani
operasi. Sambil menunggu hasilnya, kami berbincang-bincang bersama Pak Tono.
Ternyata, anak Pak Tono sakit tipus, dan sekarang diopname. Karena itulah, kami
bisa bertemu di tempat yang sama.
Sekitar satu jam berlalu. Belum ada tanda-tanda operasi
selesai. Yang bisa kami lakukan sekarang hanyalah berdoa, berharap agar
operasinya berhasil. Tiba-tiba lampu operasi mati. Itu tandanya operasi sudah
selesai. Seorang dokter keluar dari ruangan, dan menghampiri kami yang tampak
cemas sedari tadi.
“Bagaimana Pak Dokter, operasinya berhasil kan? Ibu kami
selamat kan Pak?”tanya Arin tak sabar. “Maaf, kami sudah berusaha semaksimal
mungkin, dan…”ucapan Pak Dokter berhenti. Arin memelukku. Ia menangis di
pelukanku. Aku tak kuat menahan air mata. “Tunggu! Saya belum selesai bicara.
Dan.. Ibu kalian selamat. Kondisinya semakin membaik.”kata Pak Dokter sambil
tersenyum. Aku menatap Arin yang tampak bahagia mendengarnya. “Rin, ibu
selamat! Alhamdulillah!”ucapku menangis terharu. Terima kasih ya Allah, Engkau
mendengarkan doa kami, ucapku dalam hati.
Ibu dipindah ke ruang rawat inap VIP. Aku sudah tak sabar
melihat ibu siuman. Terdengar suara adzan isya’ berkumandang. Aku dan Arin
segera menuju mushola untuk sholat. Kebetulan, musholanya tak jauh dari ruang
tempat ibu dirawat.
Di mushola, kami bertemu Pak Tono. Seusai sholaat, kami
pun menghampirinya. “Pak, bapak mau kan ikut kami ke ruangan ibu? Arin yakin,
pasti ibu ingin bertemu dengan orang yang telah menolongnya.”ucap Arin memulai
pembicaraan. Pak Tono mengangguk. Aku tersenyum senang melihatnya.
Kami bertiga berjalan ke ruangan ibu. Kulihat ibu yang
masih belum siuman sampai sekarang. Aku mencium tangan beliau. Tiba-tiba,
tangannya bergerak perlahan. Aku tak menyangka, ibu siuman. Ibu membuka
matanya. Aku dan Arin berseru, “Ibu!”. Kami memeluk ibu. Beliau tersenyum dan
membalas pelukan kami. “Oh ya bu, perkenalkan, ini Pak Tono. Beliau lah yang
menolong ibu. Berkat Pak Tono, ibu bisa dioperasi secepatnya, karena biayanya
telah dilunasi.”ucapku. “Terima kasih ya Pak. Saya tak tahu harus membalas
kebaikan bapak dengan apa.”kata ibu kepada Pak Tono. Pak Tono menjawab, “Saya
juga berterima kasih kepada nak Fifi. Anak ibu jujur sekali. Dialah yang
mengembalikan dompet saya yang terjatuh. Ibu sangat pandai mendidik anak. Saya
kagum kepada ibu.”. Ibu tersenyum dan mengangguk. Beliau bertanya kepadaku, “Oh
iyo nduk, sapa sing nggawa ibu mrene?” (Oh iya nak, siapa yang membawa ibu
kesini?). “Pak Bandi bu. Tadi beliau sudah pulang karena mau mengantarkan
anaknya ke posyandu.”jawabku.
Lima hari kemudian… Dokter mengatakan, bahwa ibu sudah
boleh pulang ke rumah. Tentunya, kami sangat senang sekali. Namun pesan dari
dokter, untuk beberapa hari ini ibu tidak boleh bekerja terlalu berat, ibu
harus istirahat. Aku berjanji, akan menggantikan pekerjaan ibu sepulang
sekolah.
Pak Tono mengantarkan kami pulang. Anak beliau yang sakit
tipus, kata dokter insyaallah baru besok pulang. Kami juga mendoakan anak Pak
tono, agar cepat sembuh. Sekitar 20 menit, kami sampai di rumah. Pak Tono
akhirnya mengetahui rumah kami. Rumah sederhana yang terletak di pinggir
sungai.
Warga kampung nelayan menyambut kedatangan ibu dengan
gembira. Ibu-ibu tetangga memberi ucapan selamat kepada ibu. Aku dan Arin
tersenyum. Tiba-tiba, Bu Susi, istri Pak Bandi, berkata, “Bapak-bapak, ibu-ibu,
bagaimana kalau kita rayakan kedatangan Bu Siti bersamaan dengan acara nyadran
tahun ini?”. Semua warga mengangguk setuju. Aku baru ingat, kalau sekarang
sudah memasuki bulan mulud. Di kalender Jawa, terdapat bulan mulud, atau biasa
disebut maulid. Setiap memasuki bulan mulud, kampung kami mengadakan acara
Nyadran. Nyadran adalah upacara tasyakuran laut yang sudah berlangsung secara
turun-menurun di kampung nelayan. Bagi para warga, acara itu berfungsi untuk
memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, juga sebagai rasa syukur atas hasil laut
selama setahun terakhir.
Keesokannya, acara Nyadran diselenggarakan. Ritual para
nelayan kerang diawali dengan prosesi menaiki perahu dari Bluru Kidul ke Makam
Dewi Sekardadu di Pantai Kepetingan, Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, kira-kira
sekitar 10 kilometer dari Kota Sidoarjo. Bagaimana keadaan Makam Dewi Sekardadu
dan siapa Dewi Sekardadu itu? Dewi Sekardadu adalah ibunda Sunan Giri, salah
satu wali penyebar Islam di Pulau Jawa (walisongo). Makamnya selalu menjadi
rujukan para nelayan di Kabupaten Sidoarjo. Sebagian besar nelayan turun di
dermaga, kemudian jalan kaki sekitar 500 meter. Di belakang makam ini terdapat
sungai kecil. Kampung ini penuh tambak dan banyak terdapat hutan bakau. Seperti
apa ritualnya? Para nelayan menaruh sesajen yang sudah dilarung di belokan
sungai. Lalu, mereka berdoa bersama, dipimpin oleh pemimpin doa atau kiai
kampung. Doa secara Islam ini memohon kepada Allah agar warga Bluru Kidul
terlindungi dan diberi rezeki. Juga agar arak-arakan saat itu berlangsung
lancar dan aman. Selain menaruh sesajen, masing-masing keluarga nelayan membawa
tumpeng untuk didoakan di pesarean Dewi Sekardadu. Dan puncak acara Nyadran
yaitu pengajian bersama di kompleks Makam Dewi Sekardadu. Mereka nyekar
(menaruh bunga) secara bergantian dan menyentuh makamnya.
Dan inilah acara yang ditunggu anak-anak. Setelah ritual
dilaksanakan, para nelayan kerang kembali ke desa Bluru Kidul. Saatnya hiburan
bagi warga. Biasanya, diadakan lomba dayung perahu, orkes dangdut, dan
pengajian umum. Oh ya, Bupati Sidoarjo, Bapak Saiful Illah, juga turut
meramaikan acara ini. Nyadran bisa berlangsung sekitar 2 sampai 3 hari, bahkan
terkadang lebih. Jika seperti ini, kekompakan para nelayan kerang semakin
terlihat. Aku bangga terhadap kampungku, desaku, dan kotaku, tempat aku
dilahirkan dan dibesarkan. Semoga, ciri khas kampung ini tidak akan punah pada
generasi selanjutnya…