~~~ Welcome to my blog! And don't forget to visit again ^^ Arigato! ありがとう ~~~
Welcome to Chovanila Zone Blog! Please leave a chat or comment :)
RSS

Friday 2 May 2014

Cerpen : Dibalik Senyuman Ibu Sang Nelayan Kerang

             Terik matahari menyengat di tubuhku. Angin sepoi-sepoi seolah mengiringiku berjalan. Penuh sapaan ramah yang harus kubalas dengan senyuman. Langkah kakiku terasa sangat berat, karena harus melawan hembusan angin dari arah berlawanan. Keringat pun bercucuran dari sekujur tubuhku. Namun, inilah yang harus kujalani setiap hari. Melangkahkan kaki demi menuntut ilmu, meskipun lelah kurasakan.
            Akhirnya, rumah kesayanganku telah terlihat di depan mata. Kulihat ibu sedang merebus kerang bersama ibu-ibu yang lain. Aku mengetuk pintu rumah. Tampak seorang anak membukakan pintu. Itu Arin, adikku yang masih duduk di bangku kelas 5 SD. Ia menyambut kedatanganku dengan gembira. “Kak Fifi pasti lapar ya? Arin sudah buatkan sup ayam kesukaan kakak. Oh ya, nanti tolong beritahu ibu ya kak, kalau masakannya sudah matang.”ucap Arin. Aku mengangguk. “Terima kasih ya dek.”jawabku. Walaupun masih berumur 11 tahun, tetapi Arin sangat pandai dalam hal memasak. Ia selalu mempraktekkan resep yang dipinjamnya di perpus sekolahnya.
            Kuletakkan tas sekolahku di kursi kamar. Setelah berganti pakaian dan makan siang, aku menghampiri ibu yang sedari tadi merebus kerang di depan rumah. “Assalamualaikum...”ucapku ramah. “Waalaikumsalam..”balas mereka. “Bu, lebih baik sekarang ibu istirahat saja ya di rumah, biar Fifi yang merebus kerang-kerang ini. Ibu pasti lelah, bekerja sejak pagi tadi. Oh ya, masakannya sudah matang.”kataku. Ibu menjawab, “Wis, ibu wae nduk. Kowe ya kesel tho, mulih saka sekolah. Lek ana tugas sekolah, ndang digarap kana! Ya wis, kowe karo Arin mangan wae dhisik, ibu mengko wae.”(Sudah, ibu saja. Kamu juga lelah kan, pulang dari sekolah. Jika ada tugas sekolah, segera dikerjakan sana! Ya sudah, kamu dan Arin makan saja dulu, ibu nanti saja). Itulah ibuku. Beliau adalah wanita yang pekerja keras. “Ya sudah, jika ibu menolak. Fifi masuk rumah dulu ya. Fifi mau belajar untuk ulangan besok. Ibu-ibu, pareng rumiyin.”ucapku berpamitan kepada tetangga-tetangga yang lain.
            Aku kagum melihat kekompakan para warga kampung nelayan. Mereka bekerja sama demi keluarganya. Hasil yang mereka dapat pun dibagi bersama. Beginilah ceritanya…
            Para lelaki di kampung nelayan akan bekerja mencari kerang di malam hari. Mereka menaiki perahu yang ada di sungai depan rumah. Setiap pagi hari, para ibu-ibu merebus kerang, dan ada juga yang bertugas memisahkan kulit kerang dari kerangnya. Lalu, kerang-kerang itu dijual bersama-sama ke pasar. Hasil yang mereka dapatkan hari itu, dibagi bersama-sama. Begitulah kegiatan mereka sehari-hari.
            Malam itu, hujan sangat deras. Kulihat sungai depan rumah. Permukaan air sungai semakin tinggi. Aku takut, jika setiap hari hujan seperti ini, kemungkinan besar banjir akan melanda. Namun, ini sudah waktunya musim hujan tiba. Aku memikirkan nasib para nelayan yang mencari kerang. Jika cuaca buruk, mereka tak bisa berlayar. Pendapatan mereka pun akan berkurang.
            Keesokan harinya, seperti biasa, aku dan Arin berangkat ke sekolah. Setelah berpamitan, kami berjalan menuju jalan raya. Jarak antara rumahku dengan jalan raya cukup jauh. Karena itulah, kami berangkat pukul 05.45 dari rumah. Setelah sampai di jalan raya, aku mencari angkot menuju sekolah, sedangkan Arin hanya berjalan sedikit sudah sampai sekolahnya. Deru mesin kendaraan yang amat bising terdengar di telingaku. Tak lama, angkot yang aku tunggu pun telah tiba.
            Sepulang sekolah, aku berjalan menuju jalan raya depan sekolah untuk mencari angkot. Tiba-tiba, aku melihat sebuah dompet yang tergeletak di tanah. Kuambil dompet itu. Isi uang di dalamnya banyak sekali. Kira-kira lima belas lembar uang nominal seratus ribuan. Ternyata, disitu terdapat nama pemiliknya. Tono Hardianto, itulah nama yang kulihat. Alamat rumahnya yaitu di Jalan Diponegoro nomer 8. Dengan segera aku memberhentikan angkot yang lewat di depanku. “Pak, tolong antarkan ke Jalan Diponegoro ya!”ucapku kepada sopir angkot. Lelaki itu mengangguk.
            Setelah sampai, aku segera mencari alamat yang ada di KTP itu. Akhirnya, aku menemukan rumah yang kucari. Aku mengetuk pintu segera, dan mengucap salam. Tampak dari dalam rumah, seorang lelaki setengah baya membukakan pintu.
            “Permisi pak. Apakah benar ini rumah Pak Tono Hardianto?”tanyaku yang masih mengenakan seragam sekolah. “Iya, saya Pak Tono. Memangnya ada apa ya mbak, datang kemari?”tanya lelaki itu yang ternyata dialah orang yang kucari. “Oh ini pak, saya mau mengembalikan dompet bapak. Tadi saya menemukannya di depan sekolah saya.”jawabku seraya menyerahkan dompet yang kupegang. “Iya, benar mbak ini dompet saya. Terima kasih ya, mbak jujur sekali. Sebagai rasa terima kasih saya, ini ada sedikit uang untuk mbak. Mohon diterima.”kata Pak Tono sambil menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan yang tadi ada di dalam dompetnya. Aku menolaknya, karena aku ikhlas mengembalikan dompet itu. “Terima kasih pak. Tapi saya ikhlas kok mengembalikan dompet ini, karena saya tahu, pemiliknya pasti sekarang sedang bingung mencarinya.”. Pak Tono berkata, “Mbak sungguh berhati mulia. Semoga Allah membalas perbuatan baik mbak ini ya. Amin…”. Aku mengangguk dan berpamitan. Sebenarnya, Jalan Diponegoro tidak sejalur dengan arah rumahku. Namun, jika kita menemukan barang yang bukan milik kita, pasti harus dikembalikan ke pemiliknya.
            Aku melihat saku bajuku. Tidak ada uang untuk naik angkot menuju rumah. Bagaimana ini? Uang untuk naik angkot sudah terpakai tadi, saat mengembalikan dompet ke rumah Pak Tono. Ya sudahlah, akhirnya aku memilih untuk berjalan kaki menuju rumah. Padahal, dari Jalan Diponegoro menuju rumahku yang berada di desa Bluru Kidul itu jaraknya sangat jauh.
            Sesampai di rumah, aku terlihat lelah sekali. Sore itu, yang kurasakan hanya lelah dan mengantuk, meskipun sebenarnya aku belum makan siang. Arin masuk ke kamarku. “Kak Fifi belum makan ya? Arin ambilkan saja ya Kak! Kalau kakak nggak makan, nanti bisa sakit.”ucapnya penuh perhatian kepadaku. “Tidak perlu, Rin. Biar Kak Fifi ambil sendiri saja. Sekarang kamu istirahat, nanti malam mengerjakan tugas sekolah.”jawabku. Arin mengangguk, lalu ia berlalu meninggalkanku.
            Setelah makan siang, aku mencoba untuk tidur. Namun tiba-tiba, Arin masuk ke kamarku dengan keadaan panik. “Kak, Kak Fifi, Kak Fifi!”ucap Arin dengan nada agak keras. Ia menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku membuka mataku. “Kenapa dek, kok panik gitu?”tanyaku ikut panik. “Ibu Kak! Ibu! Ibu mengeluh, katanya perutnya sakit. Ayo kak, lebih baik kakak lihat sendiri saja di kamar ibu!”jawab Arin sambil menggandeng tanganku.
            Kami berdua masuk kamar ibu. “Astaghfirullah!”ucap kami bersamaan saat melihat ibu pingsan dalam keadaan pucat sekali. “Ya sudah Rin, kamu tenang ya! Kak Fifi panggil Pak Bandi dan Bu Susi dulu! Kita bawa ibu ke rumah sakit sekarang!”kataku. Aku segera keluar rumah dan menghampiri Pak Bandi, tetangga sebelah rumah. “Assalamualaikum..”ucapku panik. “Waalaikumsalam…”jawab Pak Bandi dari dalam rumahnya. “Ada apa nak Fifi, kok terlihat panik seperti itu?”tanya beliau. “Pak, saya minta tolong. Ibu sakit. Sekarang beliau tak sadarkan diri. Tolong antarkan ibu ke rumah sakit pak.”jawabku. “Astaghfirullah.. Ya sudah, tunggu sebentar ya nak.”ucap Pak Bandi. Alhamdulillah, batinku dalam hati. Aku meminta tolong Pak Bandi, karena hanya beliau di kampung ini yang memiliki kendaraan untuk mengantar ibu. Pak Bandi memiliki becak yang biasa digunakan untuk mengangkut hasil kerang sehari-harinya. Sedangkan warga kampung ini, mereka rata-rata memiliki sepeda pancal.
            Aku memopoh ibu keluar dari kamar. Pak Bandi menunggu di depan rumah dengan becaknya. Arin tampak panik dan khawatir terhadap ibunya. “Rin, kamu jaga rumah ya! Kak Fifi dan Pak Bandi akan mengantar ibu ke rumah sakit. Percayalah dan berdoalah, semoga ibu tidak apa-apa.”ucapku. “Iya kak. Hati-hati ya Kak!”balasnya.
            Letak rumah sakit cukup jauh dari rumahku. Aku jadi ingat kejadian satu minggu yang lalu. Waktu itu, ibu mengeluh hal yang sama. Aku ingin memeriksakan ibu ke rumah sakit. Namun ibu menolak. Beliau mengatakan, jika dirinya tidak apa-apa, hanya kelelahan. Ibu malah tersenyum, mungkin agar aku tenang. Saat itu sebenarnya aku mulai curiga, namun semua itu kulupakan. Dan siang ini, ibu mengeluh lagi. Sakit apa sesungguhnya ibuku ini ya Allah?
            Setelah sampai, aku dan Pak Bandi memopoh ibu untuk masuk. Saat itu juga, ibu ditangani di ruang UGD (Unit Gawat Darurat). Pak Bandi meminta izin kepadaku untuk kembali ke rumah, dan mengantarkan Arin ke sini. Aku tak tega melihat Arin sendirian di rumah. Pasti ia juga cemas terhadap keadaan ibunya.
            Sekitar 40 menit lamanya, Pak Bandi dan Arin sampai di rumah sakit. Mereka menghampiriku yang sejak tadi duduk di depan ruang UGD. “Kak, bagaimana kondisi ibu sekarang?”tanyanya. Aku menggeleng tak tahu. “Belum ada kabar dek. Kita tunggu saja ya!”jawabku pasrah.
            Tak lama, tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruangan. Aku dan Arin segera menghampirinya. Kami ingin bertanya tentang keadaan ibu sekarang. “Pak dokter, bagaimana kondisi ibu saya dok?”tanya Arin. “Pasien kritis dan harus ditangani.”jawab dokter itu. Astaghfirullah, batinku. “Memangnya, ibu saya sakit apa dok?”tanyaku. “Lho, kalian belum tahu? Bukankah Bu Siti sudah pernah periksa kesini sebelumnya?”tanya dokter lagi. Berarti ibu menyembunyikan penyakitnya. Beliau tidak ingin aku dan Arin tahu. Arin menggeleng tak tahu. “Ibu kalian menderita sakit gagal ginjal. Salah satu ginjalnya sudah tidak berfungsi. Untungnya, kami sudah mendapatkan pendonor ginjal. Jadi, harus segera dilakukan operasi.”ucap Pak Dokter. Aku dan Arin kaget mendengar jawaban Pak Dokter. Kok bisa sih, ibu menyembunyikan penyakitnya seperti ini, batinku dalam hati. Kami berdua tak kuat menahan tangis.
            Seorang suster menghampiriku. “Mbak, mari ikut saya menuju ruang administrasi.”ucap suster itu. Aku mengangguk. Arin mengikutiku dari belakang. Pak Bandi tetap menunggu di kursi.
            “Silahkan duduk.”ucap suster setelah kami memasuki ruang yang dimaksud. Aku dan Arin duduk. “Begini mbak. Ibu anda harus segera dioperasi. Silahkan diselesaikan dulu pembayarannya. Biaya operasi tiga puluh juta. Untuk rawat inap, bisa dipilih mau kelas apa. Ada kelas satu, kelas dua, kelas tiga, VIP, Super VIP, dan ada yang kelas bangsal.”kata suster. Aku kaget, mahal sekali biaya operasinya. “Apa tidak boleh dicicil sus, insyaallah saya akan menyelesaikan pembayarannya sekitar satu minggu kedepan.”ucapku memelas. Aku tak memiliki uang sebanyak itu. Tabunganku, mungkin jika dipecah jumlahnya hanya sekitar lima puluh ribu. Begitu pula dengan tabungan milik Arin. Ibu juga tak memiliki cadangan uang lebih. “Maaf, untuk pembayaran ini tidak dapat dicicil. Harus diselesaikan hari ini juga. Jika tidak, ibu anda terpaksa harus keluar dari rumah sakit ini, dan operasi pun dibatalkan.”jawab suster itu tegas. “Baiklah sus. Insyaallah saya akan berusaha mengumpulkan uang hari ini juga!”balasku. Arin menatapku sambil menangis. Ia tahu, tak mungkin kakaknya bisa mendapat uang sebanyak itu dalam beberapa jam saja.
            Aku dan Arin keluar dari ruangan. “Kakak yakin bisa melunasi biaya operasi ibu?”tanyanya ragu. Aku menggeleng. “Kak Fifi juga bingung dek.”jawabku. Tiba-tiba, Pak Tono, orang yang tadi kehilangan dompetnya, menghampiri kami berdua. “Pak Tono!”ucapku. Beliau mengangguk dan tersenyum. Arin bingung melihatku. “Kak Fifi kenal orang ini?”tanyanya. Aku menjawab, “Iya Rin. Tadi, kakak menemukan dompet Pak Tono di depan sekolah kakak, lalu Kak Fifi mengembalikan dompet beliau. Oh ya, Pak Tono, perkenalkan, ini adik saya, namanya Arin.”. Pak Tono tersenyum kepada Arin. “Mbak, tadi bapak tak sengaja ikut mendengar percakapan di dalam. Kalau mau, bolehkah saya membantu untuk membayar operasi ibu mbak? Saya ikhlas kok membantunya.”ucap Pak Tono kepadaku. Arin menjawab, “Alhamdulillah Kak, ada yang membantu kita!”. “Iya dek. Terima kasih ya Pak, Alhamdulillah!”ucapku. “Sama-sama. Oh ya nak Arin, bapak sangat kagum melihat kejujuran kakak kamu. Jika dompet itu ditemukan orang lain, bapak tak yakin, bisa kembali ke tangan bapak.”kata Pak Tono. Aku dan Arin tersenyum gembira.
            Akhirnya, masalah biaya sudah terselesaikan. Ibu menjalani operasi. Sambil menunggu hasilnya, kami berbincang-bincang bersama Pak Tono. Ternyata, anak Pak Tono sakit tipus, dan sekarang diopname. Karena itulah, kami bisa bertemu di tempat yang sama.
            Sekitar satu jam berlalu. Belum ada tanda-tanda operasi selesai. Yang bisa kami lakukan sekarang hanyalah berdoa, berharap agar operasinya berhasil. Tiba-tiba lampu operasi mati. Itu tandanya operasi sudah selesai. Seorang dokter keluar dari ruangan, dan menghampiri kami yang tampak cemas sedari tadi.
            “Bagaimana Pak Dokter, operasinya berhasil kan? Ibu kami selamat kan Pak?”tanya Arin tak sabar. “Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, dan…”ucapan Pak Dokter berhenti. Arin memelukku. Ia menangis di pelukanku. Aku tak kuat menahan air mata. “Tunggu! Saya belum selesai bicara. Dan.. Ibu kalian selamat. Kondisinya semakin membaik.”kata Pak Dokter sambil tersenyum. Aku menatap Arin yang tampak bahagia mendengarnya. “Rin, ibu selamat! Alhamdulillah!”ucapku menangis terharu. Terima kasih ya Allah, Engkau mendengarkan doa kami, ucapku dalam hati.
            Ibu dipindah ke ruang rawat inap VIP. Aku sudah tak sabar melihat ibu siuman. Terdengar suara adzan isya’ berkumandang. Aku dan Arin segera menuju mushola untuk sholat. Kebetulan, musholanya tak jauh dari ruang tempat ibu dirawat.
            Di mushola, kami bertemu Pak Tono. Seusai sholaat, kami pun menghampirinya. “Pak, bapak mau kan ikut kami ke ruangan ibu? Arin yakin, pasti ibu ingin bertemu dengan orang yang telah menolongnya.”ucap Arin memulai pembicaraan. Pak Tono mengangguk. Aku tersenyum senang melihatnya.
            Kami bertiga berjalan ke ruangan ibu. Kulihat ibu yang masih belum siuman sampai sekarang. Aku mencium tangan beliau. Tiba-tiba, tangannya bergerak perlahan. Aku tak menyangka, ibu siuman. Ibu membuka matanya. Aku dan Arin berseru, “Ibu!”. Kami memeluk ibu. Beliau tersenyum dan membalas pelukan kami. “Oh ya bu, perkenalkan, ini Pak Tono. Beliau lah yang menolong ibu. Berkat Pak Tono, ibu bisa dioperasi secepatnya, karena biayanya telah dilunasi.”ucapku. “Terima kasih ya Pak. Saya tak tahu harus membalas kebaikan bapak dengan apa.”kata ibu kepada Pak Tono. Pak Tono menjawab, “Saya juga berterima kasih kepada nak Fifi. Anak ibu jujur sekali. Dialah yang mengembalikan dompet saya yang terjatuh. Ibu sangat pandai mendidik anak. Saya kagum kepada ibu.”. Ibu tersenyum dan mengangguk. Beliau bertanya kepadaku, “Oh iyo nduk, sapa sing nggawa ibu mrene?” (Oh iya nak, siapa yang membawa ibu kesini?). “Pak Bandi bu. Tadi beliau sudah pulang karena mau mengantarkan anaknya ke posyandu.”jawabku.
            Lima hari kemudian… Dokter mengatakan, bahwa ibu sudah boleh pulang ke rumah. Tentunya, kami sangat senang sekali. Namun pesan dari dokter, untuk beberapa hari ini ibu tidak boleh bekerja terlalu berat, ibu harus istirahat. Aku berjanji, akan menggantikan pekerjaan ibu sepulang sekolah.
            Pak Tono mengantarkan kami pulang. Anak beliau yang sakit tipus, kata dokter insyaallah baru besok pulang. Kami juga mendoakan anak Pak tono, agar cepat sembuh. Sekitar 20 menit, kami sampai di rumah. Pak Tono akhirnya mengetahui rumah kami. Rumah sederhana yang terletak di pinggir sungai.
            Warga kampung nelayan menyambut kedatangan ibu dengan gembira. Ibu-ibu tetangga memberi ucapan selamat kepada ibu. Aku dan Arin tersenyum. Tiba-tiba, Bu Susi, istri Pak Bandi, berkata, “Bapak-bapak, ibu-ibu, bagaimana kalau kita rayakan kedatangan Bu Siti bersamaan dengan acara nyadran tahun ini?”. Semua warga mengangguk setuju. Aku baru ingat, kalau sekarang sudah memasuki bulan mulud. Di kalender Jawa, terdapat bulan mulud, atau biasa disebut maulid. Setiap memasuki bulan mulud, kampung kami mengadakan acara Nyadran. Nyadran adalah upacara tasyakuran laut yang sudah berlangsung secara turun-menurun di kampung nelayan. Bagi para warga, acara itu berfungsi untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, juga sebagai rasa syukur atas hasil laut selama setahun terakhir.
            Keesokannya, acara Nyadran diselenggarakan. Ritual para nelayan kerang diawali dengan prosesi menaiki perahu dari Bluru Kidul ke Makam Dewi Sekardadu di Pantai Kepetingan, Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, kira-kira sekitar 10 kilometer dari Kota Sidoarjo. Bagaimana keadaan Makam Dewi Sekardadu dan siapa Dewi Sekardadu itu? Dewi Sekardadu adalah ibunda Sunan Giri, salah satu wali penyebar Islam di Pulau Jawa (walisongo). Makamnya selalu menjadi rujukan para nelayan di Kabupaten Sidoarjo. Sebagian besar nelayan turun di dermaga, kemudian jalan kaki sekitar 500 meter. Di belakang makam ini terdapat sungai kecil. Kampung ini penuh tambak dan banyak terdapat hutan bakau. Seperti apa ritualnya? Para nelayan menaruh sesajen yang sudah dilarung di belokan sungai. Lalu, mereka berdoa bersama, dipimpin oleh pemimpin doa atau kiai kampung. Doa secara Islam ini memohon kepada Allah agar warga Bluru Kidul terlindungi dan diberi rezeki. Juga agar arak-arakan saat itu berlangsung lancar dan aman. Selain menaruh sesajen, masing-masing keluarga nelayan membawa tumpeng untuk didoakan di pesarean Dewi Sekardadu. Dan puncak acara Nyadran yaitu pengajian bersama di kompleks Makam Dewi Sekardadu. Mereka nyekar (menaruh bunga) secara bergantian dan menyentuh makamnya.

            Dan inilah acara yang ditunggu anak-anak. Setelah ritual dilaksanakan, para nelayan kerang kembali ke desa Bluru Kidul. Saatnya hiburan bagi warga. Biasanya, diadakan lomba dayung perahu, orkes dangdut, dan pengajian umum. Oh ya, Bupati Sidoarjo, Bapak Saiful Illah, juga turut meramaikan acara ini. Nyadran bisa berlangsung sekitar 2 sampai 3 hari, bahkan terkadang lebih. Jika seperti ini, kekompakan para nelayan kerang semakin terlihat. Aku bangga terhadap kampungku, desaku, dan kotaku, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Semoga, ciri khas kampung ini tidak akan punah pada generasi selanjutnya…

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen : Lima Harapan Tersembunyi

            Pagi yang cerah, terik matahari tak terlalu menyengat. Angin lembut yang berhembus, terasa sejuk sekali, diiringi oleh tarian rumput dan dedaunan. Kicauan burung yang amat merdu, kudengarkan perlahan. Kupercepat kegiatanku, karena waktu telah menunjukkan pukul 06.20. Aku tak ingin terlambat ke sekolah untuk kesekian kalinya.
            “Rita, lebih baik kamu sekarang berangkat sekolah saja, biar ibu yang melanjutkan menggoreng krupuknya. Nanti terlambat lho!”ucap ibu seraya menghampiriku. Aku menoleh. “Tak apa, bu. Lagipula krupuknya masih sisa sedikit, lebih baik diselesaikan saja.”jawabku. Kulihat krupuk-krupuk itu, yang semuanya berharap ingin segera digoreng. Inilah kegiatan rutinku setiap pagi. Setelah sholat Subuh, aku menggoreng krupuk udang untuk dijual ke pasar dan warung kecil. Penghasilan keluarga kami satu-satunya adalah dari penjualan krupuk.
            Kembali ke permasalahan pagi ini. Setelah selesai menggoreng, aku berpamitan kepada ibu. Aku menggandeng Fiara, adikku yang masih kelas 4 SD. Kami berjalan kaki menuju sekolah. Langkah kaki kami agak cepat, karena takut terlambat. Sekolah Fiara lebih dekat dibandingkan sekolahku, setelah aku mengantarnya, aku berlarian tak kenal lelah menuju sekolah.
            Benar saja, dengan nafas terengah-engah, kulihat pintu gerbang sekolah telah ditutup. Apa boleh buat, aku meminta Pak Satpam untuk membukakan pagarnya. “Pak, tolong ijinkan saya masuk. Saya berjanji, tidak akan terlambat ke sekolah lagi. Tapi saya mohon pak, kali ini saja, bukakan pintu gerbangnya.”ucapku memelas kepada Pak Koko, Satpam di sekolahku. “Kamu lagi, kamu lagi! Sudah berapa kali kamu terlambat ke sekolah! Setiap terlambat, kamu selalu memelas seperti ini. Ikut bapak ke ruang kepala sekolah! Agar kamu dihukum karena perbuatanmu.”gertak Pak Koko. Aku menunduk. Ingin rasanya aku menangis saat itu juga. Langkah kakiku terasa berat menuju ruang kepsek.
            “Assalamualaikum..”ucap kami berdua saat memasuki ruangan. “Waalaikumsalam.. Pak Koko, ada apa ini?”balas Pak Yadi, kepala sekolahku. Pak Koko menjelaskan, “Dia Pak, Rita, lagi-lagi datang terlambat ke sekolah. Ini sudah kesekian kalinya. Buku pelanggaran siswa penuh dengan namanya.”. Beliau memberikan buku pelanggaran itu kepada Pak Yadi. Halaman demi halaman dilihatnya satu persatu. Benar, nama yang mendominasi adalah ‘Flarita Dian Asista’, yaitu namaku. Aku menatap Pak Yadi dengan penuh rasa malu.
            “Baiklah Pak Koko. Terima kasih.”ucap Pak Yadi. Pak Koko keluar dari ruangan itu dan meninggalkanku. Kini, hanya aku dan Pak Yadi yang berada di situ. Pak Yadi mempersilahkan aku untuk duduk. “Flarita, tolong jelaskan ke Pak Yadi, mengapa kamu sering terlambat seperti ini. Ini bukan yang pertama kalinya kamu terlambat.”kata Pak Yadi. “Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, saya membantu ibu saya menggoreng krupuk udang, Pak.”jawabku. Seketika suaraku pelan sekali, jauh berbeda dengan suaraku yang biasanya. Padahal, di kelas aku jago berteriak. Pak Yadi melanjutkan, “Lho, memangnya tidak ada pembantu yang membantu ibumu bekerja? Lalu, ayah kamu?”. Aku menunduk. Setiap ditanya soal ayah, aku selalu tak kuat menahan tangis. “Kami tak bisa menggaji pembantu, Pak. Ayah sudah meninggal sejak saya masih kelas satu SD. Saya hanya tinggal bertiga dengan ibu dan Fiara, adik saya yang berumur sepuluh tahun.”jawabku.
            Pak Yadi tampak prihatin mendengar jawabanku. “Saya turut prihatin dengan keadaan keluargamu. Begini, saya akan carikan pembantu untuk ibumu. Urusan gaji, biar saya yang menanggung. Jadi, kamu bisa datang tepat waktu ke sekolah, karena ibumu sudah ada yang membantu. Bagaimana? Apakah kamu mau?”ucap Pak Yadi. Aku terkaget mendengar ucapan Pak Yadi barusan. Senang bercampur haru kurasakan dalam hati. Tentunya, aku sangat senang karena ibu ada yang membantu. “Saya mau, Pak. Terima kasih ya Pak!”balasku riang. Air mataku menetes tiba-tiba, sebuah tangisan haru. Pak Yadi mengangguk. “Sekarang, kamu kembali ke kelas. Pelajaran sudah dimulai sejak tadi.”perintah beliau. Aku menyetujuinya, dan berjalan meninggalkan ruangan itu.
            Sejak saat itu, aku tak pernah datang terlambat lagi. Kini, buku pelanggaran siswa tidak memuat namaku. Tetapi, namaku termuat di buku prestasi siswa. Aku sering memenangkan lomba karawitan bersama teman-teman lain di luar sekolah. Kedudukanku di ekskul itu ialah sebagai penyanyi, atau pesinden. Aku memang suka menyanyi sejak umur 6 tahun. Sebenarnya, aku ingin sekali mengembangkan bakatku, dengan mengikuti les vokal. Namun apa daya, tak ada biaya untuk itu. Aku lebih cocok jika menyanyikan tembang Jawa. Pernah, saat ada tes ekskul paduan suara, aku mengikutinya. Tetapi, cukup sampai disitu, aku tidak lulus tes karena suaraku dirasa aneh untuk mengikuti ekskul padus. Justru, aku disarankan untuk ikut ekskul karawitan. Alhasil, prestasi pun bisa kuraih. Setidaknya, bisa kugunakan untuk bekal mendaftar SMA tahun depan.
            Suatu hari, ada tugas kelompok dari sekolah. Aku satu kelompok dengan Amanda, Zahra, dan Alifa. Setelah pulang sekolah, kami berniat untuk mengerjakannya di rumah Zahra. Aku ingin sekali-kali tugas kelompok dikerjakan di rumahku. Namun, kurasa tak mungkin karena tempatnya yang sempit, kecil, dan bau udang. Maklum, setiap hari kan produksi krupuk udang.
            Beberapa jam lamanya, kami serius merundingkan tugas. Dan akhirnya, selesai juga. Zahra mengajak kami untuk ke kamarnya, melihat televisi bersama. Keripik kentang dan jus jeruk menjadi santapan kami saat itu. Mungkin bagi mereka, makanan seperti itu sudah biasa. Tetapi bagiku, makanan seperti itu sangat istimewa. Makan tempe dan minum air putih saja sudah bagus buatku.
            Setelah memilih-milih stasiun televisi, akhirnya kami tertarik pada liputan acara musik yang sedang berlangsung di Jakarta. Penyanyi-penyanyi solo maupun grup girlband boyband menampilkan lagunya masing-masing. Ada juga yang berduet dengan menyanyikan sebuah lagu. Banyak fans yang mengulurkan tangannya agar bisa menyalami idolanya. Sepertinya seru ya jadi orang yang terkenal. Punya banyak fans, tampil di televisi, diidolakan banyak orang. Aku ingin bisa seperti itu. Jika kita punya impian, mengapa tidak diwujudkan? Segala masalah dapat terselesaikan jika niat kita kuat. Menjadi penyanyi terkenal adalah cita-citaku sejak kecil.
            “Rit, kamu kenapa? Kok melamun?”tanya Amanda sambil menepuk bahuku. Aku kaget, dan tak menyadari jika sedari tadi aku melamun. “Oh, umm,, tidak kok, Man! Aku tidak melamun, hanya membayangkan saja.”jawabku mencari alasan. “Aku kan sahabatmu, jadi aku tahu lah apa yang kamu pikirkan sekarang! Kamu pengen jadi penyanyi terkenal kan?”ucapnya begitu yakin. Aku mengangguk. Dalam hati, kapan ya aku bisa ke Jakarta buat jadi penyanyi? Sedangkan, aku hanya seorang anak yatim yang tinggal di kota kecil.
            Rupanya, Alifa mendengar obrolan kami. “Flar, tanpa kamu sadari, kamu sudah terkenal lho!”ucapnya tiba-tiba. Aku heran dengan ucapannya. “Kok bisa?”. “Setiap upacara, kamu sering kan dipanggil namanya sebagai penyaji terbaik karawitan? Adik kelas maupun kakak kelas, banyak yang mengenali kamu! Setidaknya, kamu sudah menjadi penyanyi di sekolah kan? Tak apa, itu awal baik buatmu!”jawabnya. Kini, aku mengerti ucapannya. “Tapi Fa, aku ingin jadi penyanyi solo, yang menyanyikan lagu ber-genre pop! Bukan tembang Jawa…”ucapku lesu. “Justru itu keunikan kamu! Banyak orang lain yang bisa menyanyi lagu pop, sedangkan pesinden? Jumlahnya sedikit sekali! Dan kamulah penerusnya, agar kebudayaan Jawa tidak punah!”balasnya menasehatiku. Seharusnya, aku bangga dengan suaraku. Kata orang, suaraku langka. Aku baru sadar, selama ini aku tidak pernah mensyukuri apa yang telah diberikan Allah kepadaku. Allah memberi jenis suara yang berbeda-beda setiap orang.
            “Kamu ingat waktu pentas seni kemarin? Saat ekskul karawitan tampil, semua terpukau dengan suaramu! Tepuk tangan dari mereka lebih ramai dibandingkan saat ekskul vocal grup atau paduan suara tampil!”tambah Zahra yang muncul tiba-tiba dari pintu kamar. Aku mengingatnya. Memang benar apa kata Zahra. Mereka semua memelukku, dan berjanji akan mendukungku.
            Sesampai di rumah, kubuka diaryku. Sebenarnya bukan buku diary, tetapi hanya sebuah buku tulis biasa yang kumanfaatkan sebagai buku harianku. Aku terpikir, untuk menulis impianku di buku itu. Ini dia isinya:
Harapan Tersembunyi : Tidak boleh ada seorang pun yang tahu sebelum aku berhasil menggapai semuanya…
  1. Ekskul karawitan bisa berprestasi hingga tingkat nasional
  2. Memperkenalkan budaya Jawa Timur lebih jauh kepada para pelajar
  3. Berlatih vocal dan tari
  4. Menjadi terkenal karena…. (belum direncanakan)
  5. Lulus SMP dan diterima di SMA favorit

Flarita Dian Asista
Kusimpan buku itu di lemari, karena kurasa aman. Kunci lemari selalu kubawa, tak mungkin ada seorang pun yang bisa membukanya.
            Sore pun kini berganti malam. Aku melihat Fiara yang tampak sibuk mengerjakan PR nya. Lalu aku menghampiri ibu yang sedang memasak di dapur. Aku berharap, ibu sedang memasak ayam goreng untuk makan malam ini. Namun ternyata, hanya sayur asem dengan lauk tahu goreng!
            Setelah makan malam, aku memilih masuk kamar, dan menyiapkan segala keperluan untuk sekolah besok. Entah mengapa, mataku terasa berat sekali. Aku mengantuk. Mungkin karena aku kelelahan mengerjakan tugas kelompok tadi. Aku tertidur malam itu.
            Keesokannya, seperti biasa, aku berangkat sekolah bersama Fiara. Hari ini hari Jum’at, sepulang sekolah nanti ada latihan ekskul karawitan. Mungkin aku akan pulang lebih siang dari biasanya. Tak lupa, aku meminta ijin kepada ibu terlebih dahulu.
            Siang itu, terik matahari menyorot kelasku, kelas yang menghadap barat. Kulihat jam dinding yang ada di kelas, waktu menunjukkan pukul 14.00. Pelajaran telah usai. Teman-temanku keluar kelas dan menuju pintu gerbang sekolah, kecuali aku. Aku menuruni tangga sekolah dan bergegas menuju ruang karawitan.
            “Flarita, ada kabar gembira untuk ekskul karawitan kita!”ucap Bu Tatik, pembina ekskul, setelah mengetahui kedatanganku. “Kabar gembira apa bu?”tanyaku penasaran. “Lomba Karawitan tingkat Provinsi kemarin, kita mendapat peringkat pertama penyaji terbaik. Tiga minggu lagi, kita akan pergi ke Jakarta untuk mengikuti Final Lomba Karawitan tingkat Nasional mewakili Jawa Timur. Oleh karena itu, kita harus berlatih sebaik mungkin!”jawab Bu Tatik dengan raut muka senang. Aku mengangguk mengerti dan tersenyum. Kegiatan ekskul pun dimulai. Kali ini tak seperti biasanya, kami berunding memilih tembang untuk lomba. Dan akhirnya, kita berencana untuk menggabungkan tembang Maskumambang dengan Campursari.
            Aku menceritakan kembali ucapan Bu Tatik kepada ibu dan Fiara. Nampaknya, mereka senang mendengar berita itu. Pergi ke Jakarta adalah impianku sejak kecil. Aku ingin melihat ramainya ibukota negara. Seandainya saja, aku bisa melihat Monas secara langsung, karena biasanya hanya bisa kulihat melalui layar televisi kuno di rumah.
            Banyak artis-artis nasional yang tinggal di Jakarta, dan tak satupun dari mereka yang tinggal di Sidoarjo. Kata orang, kalau mau jadi artis terkenal, harus pergi dulu ke Jakarta. Memangnya, seperti apa sih Jakarta itu?
            Tiga minggu kemudian… Hari ini tanggal 18 September 2013. Aku berangkat ke sekolah membawa tas yang penuh dengan pakaian dan beberapa obat-obatan. Untungnya, aku tak telat sampai di sekolah. Bu Tatik menyuruh anak-anak ekskul karawitan untuk berkumpul di halaman sekolah, karena bis akan segera berangkat. Kami izin tidak masuk sekolah kira-kira selama satu atau dua minggu kedepan.
            Bis melaju cepat menuju Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur. Karena kami akan menginap semalam di Surabaya terlebih dahulu. Bertemu dengan Bapak Gubernur, terasa menyenangkan sekali. Beliau memberi kami semangat dan sedikit oleh-oleh kecil. Kata beliau, itu sebagai hadiah karena kami berhasil mewakili Jawa Timur ke tingkat Nasional.
            Keesokan harinya, kami meninggalkan penginapan dan bergegas menuju bandara. Hmm,, ini pertama kalinya aku pergi ke bandara dan menaiki pesawat terbang! Kota Jakarta yang letaknya jauh dari Surabaya, bisa ditempuh oleh pesawat hanya dalam waktu beberapa jam saja. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi kami.
            Lomba dilaksanakan sehari setelah kami sampai di Jakarta. Ternyata, Jakarta tak beda jauh dengan Sidoarjo. Malah, menurutku aku lebih nyaman di Sidoarjo, karena kotanya tenang dan tak banyak kendaraan membisingkan. Jakarta juga banjir, apa bedanya dengan Sidoarjo? Memang kuakui, Jakarta itu ibukota negara dan wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan Sidoarjo. Jakarta juga banyak tempat-tempat wisata buatan yang bagus dan monumen bersejarah, tidak seperti Sidoarjo. Mmm,, mungkin itu kelebihannya!
            Akhirnya, lomba berlangsung meriah di Lapangan Dinas Pariwasata dan Kebudayaan Kota Jakarta. Para finalis dari setiap provinsi menyajikan sebuah tembang pilihannya. Kami mendapat nomor urut tampilan ke-14. Kami berusaha semaksimal mungkin. Tepuk tangan meriah pun berhasil kami dapatkan. Aku melantunkannya tanpa ada rasa ragu. Aku harus bisa meraih prestasi kali ini, untuk memenuhi poin pertama dalam ‘Lima Harapan Tersembunyi’.
            Pengumuman pemenang. Juara Harapan Tiga jatuh pada provinsi Kalimantan Selatan. Juara Harapan Dua diraih oleh provinsi Sumatera Utara. Juara Harapan Satu jatuh pada provinsi Jawa Tengah. Juara tiga diraih oleh provinsi Bali. Juara dua diraih oleh provinsi Nusa Tenggara Timur. Baiklah, harapannya juara satu atau tidak menjadi pemenang. Dan ternyata.. Juara satu jatuh pada provinsi Jawa Timur! Aku sebagai pesinden mewakili teman-temanku untuk maju ke atas panggung dan menerima penghargaan. Keberhasilan ini tak lepas dari kerja keras kami selama ini. Akhirnya, poin pertama dalam buku harian berhasil aku centang dengan rasa bangga.
            Berusaha mencapai poin kedua.. Itulah misiku saat ini. Aku mengambil salah satu majalah remaja yang berjajar rapi di perpustakaan sekolah. Sudah pasti, itu majalah edisi terbaru. Halaman demi halaman kubuka. Jika ada artikel yang menarik, barulah aku membacanya. Aku tertarik pada salah satu halaman majalah. Disitu tertulis ‘SYARAT PENULISAN TEKNIS MENGIRIM ARTIKEL’. Tanpa basa-basi, aku mengambil majalah itu dan kupinjam untuk satu minggu.
            Sepertinya media cetak juga berpengaruh besar, karena pembacanya adalah para pelajar seumuran aku. Syukurlah, majalah itu tak menuntut penulisnya untuk mengetik tulisannya dengan komputer, karena.. meskipun aku sudah kelas 3 SMP, aku belum memiliki komputer ataupun laptop. Mungkin dibandingkan pelajar lain, aku ini gaptek (gagap teknologi), atau ketinggalan jaman. Kulihat teman-temanku, mereka tak hanya memiliki laptop atau komputer, bahkan tablet, Ipad, I-phone, atau apalah itu namanya. Sedangkan aku? Telepon genggam saja tidak punya…
            Aku menulis kata demi kata pada selembar kertas folio. Artikel yang kubuat cukup pendek, tapi isinya penuh makna. Artikel itu berjudul ‘PESONA PELANGI JAWA TIMUR’. Isinya yaitu memperkenalkan budaya Jawa Timur kepada para pelajar. Agar mereka tahu, kalau sebenarnya daerah kita itu kaya akan ragam budaya. Contohnya Reog Ponorogo, Tari Gandrung Banyuwangi, Pertunjukan Ludruk, dan lain-lain. Lagu-lagu daerah yang berasal dari Jawa Timur pun tak sedikit jumlahnya. Kita sebagai penerus, mengapa tidak dilestarikan? Lagu-lagu daerah kini jarang sekali dinyanyikan. Para pelajar lebih memilih untuk mendengarkan lagu Korea, lagu Barat, lagu tentang percintaan dibandingkan lagu daerah. Tarian pula! Banyak pelajar yang berlatih dance, sedangkan sanggar tari tradisional kini semakin sepi peminatnya. Aku berusaha mengajak para pelajar lain untuk mengenal dan mencintai budayanya. Agar budaya Jawa tidak semakin luntur.
            Setelah dimasukkan amplop, aku mengirimnya lewat pos. Dua minggu berlalu. Setiap hari Kamis, kusempatkan sedikit waktu untuk melihat-lihat majalah mingguan tersebut. Dan.. Alhamdulillah! Artikelku dimuat karena isinya menarik. Keesokannya, aku mendapat surat pemberitahuan dari pihak majalah atas pemuatan artikelku. Baru pertama kali ini aku mendapat honor dari pemuatan tulisanku sendiri.
            Aku memecah celengan ayamku. Kuhitung jumlah uang yang ada di dalamnya. Uang itu kudapatkan dari hadiah Lomba Karawitan kemarin, tabungan uang saku sehari-hari, dan honor atas pemuatan artikel. Ternyata jumlahnya cukup untuk mendaftar les vokal dan sanggar tari. Aku ingin berlatih menyanyi dan menari sejak kecil. Dan baru terwujud di tahun 2013 ini. Syukurlah! Tak kusadari, poin ketiga terlewati. Kini melaju ke poin nomer 4. Kurasa itu sedikit susah. Namun, aku yakin pasti bisa melewatinya.
            Mengejar poin keempat… Aku melakukan aktivitas rutinku seperti biasanya. Sekolah, membantu ibu, bermain bersama Fiara, memasak untuk keluarga, Sholat 5 waktu, dan lain-lain. Sampai akhirnya… satu bulan  pun terlewati. Belum ada tanda-tanda poin keempat akan berhasil. Sedangkan, tiga bulan lagi aku sudah lulus SMP. Itu tandanya poin keempat tidak terlaksana dan meloncat ke poin lima. Aku harus konsentrasi untuk menghadapi Ujian Nasional SMP yang sudah dekat.
            Suatu hari di sekolah… Aku melihat sekolah tampak ramai sekali. Kurasa mereka akan mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolahku. Maklumlah, ini kan mendekati tahun ajaran baru. Namun, mengapa mereka mengenakan baju yang sama? Seperti, seragam berwarna hitam yang sering kulihat di televisi. Biasanya, mereka yang mengenakan adalah kru stasiun televisi.
            Aku berjalan menuju kelasku yang berada di lantai dua. Teman-teman menyambutku gembira. “Rita, selamat ya! Kamu sekarang sudah menjadi artis. Banyak orang yang membicarakanmu. Mereka kagum terhadapmu, selain menjadi pesinden, rupanya kamu juga seorang penulis artikel. Bu Tatik bangga sekali sama murid ibu ini!”ucap Bu Tatik. Lho, ternyata Bu Tatik juga ada di kelasku? Tetapi sepertinya aku tidak melihatnya tadi. “Terima kasih bu! Lalu, mengapa mereka ada di depan kelas kita?”tanyaku seraya menunjuk para kru televisi. “Katanya, mereka ingin mewawancarai kamu, Flar!”jawab Alifa. Hmm,, pengalaman pertamaku diwawancarai seperti ini.
            Ternyata wawancara hari ini masuk televisi! Aku tak mengira, semua stasiun televisi membicarakan diriku. Aku terkenal? Ini bagaikan mimpi! Banyak tawaran untuk menyinden, menyanyi, membintangi iklan produk, bahkan tawaran main film. Tentunya aku harus pandai membagi waktu antara sekolah dan pekerjaan. Aku tak lupa terhadap ketiga sahabatku, keluargaku, guruku, yang selalu mendukung aku untuk semangat. Aku sadar, karena kebudayaan Jawa lah aku bisa terkenal. Tak perlu aku mengharapkan untuk menjadi seorang penyanyi Pop. Menjadi pesinden ternyata juga bisa terkenal, bahkan keliling dunia!
            Inilah puncaknya! Setelah keempat poin berhasil aku capai, kini hanya tersisa satu poin terakhir. Sampai sekarang, kurasa rahasia itu masih aman, belum ada seorangpun yang tahu tentang buku harianku.
            Aku menghadapi Ujian Nasional SMP, yang berlangsung selama 4 hari. Pelajaran yang diujikan ialah Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, dan Bahasa Inggris. Aku bersyukur karena pelajaran IPS tidak diujikan. Maklumlah, aku kurang menguasai pelajaran IPS dan aku sedikit tidak menyukainya.
            Setelah menyelesaikan ujian, kini tinggal menunggu pengumuman hasilnya. Tiga minggu kemudian, daftar nilai hasil UN terpampang di mading sekolah. Semua anak berebut tempat agar dapat melihatnya dengan jelas. Aku malah santai dan sabar menunggu hingga sepi. Toh, lihat sekarang sama lihat nanti sama saja nilainya, tidak akan bertambah atau berkurang!
            Sedikit demi sedikit anak-anak bubar dan kembali ke kelasnya. Sekarang aku bisa leluasa mencari namaku di tabel. Aku tak melihat namaku di halaman kedua maupun halaman ketiga. Mungkinkah namaku berada di halaman pertama? Berarti, nilaiku cukup tinggi.
            Aku melihat dari bawah ke atas. Ternyata, namaku berada di nomor urut satu, dengan nilai UN tertinggi di sekolah. Total nilai 39,70. Matematika 10,00. Bahasa Indonesia 10,00. IPA 10,00. Dan Bahasa Inggris 9,70. Aku tak menyangka bisa meraih nilai setinggi itu. Mendekati sempurna malah! Semua guru memberi selamat atas prestasiku. Anak yang sering datang terlambat, ternyata juga bisa berprestasi!
            Bu Tatik mendekatiku. “Flarita, ada sekolah berbeasiswa yang meminta kamu untuk sekolah disana. Letaknya di Jakarta. Sekolah bertaraf Internasional tepatnya. Biaya sekolahmu akan ditanggung sepenuhnya oleh sekolah. Bagaimana? Itu sekolah bagus lho! Sayang jika dilewatkan begitu saja tawaran ini. Kamu mau kan?”tanya Bu Tatik. Sekolah favorit dan berbeasiswa! “Iya bu, saya mau! Jadi, tidak memberatkan orang tua kan bu?”balasku riang. Bu Tatik menjawab, “Tidak. Kamu nanti akan tinggal di asrama sekolah. Kalau kamu mau, ibu dan adikmu juga bisa diajak kesana! Untuk tempat tinggal, mereka bisa mencari kontrakan atau kos-kosan rumah.”. Aku menyetujuinya.

            Poin kelima terpenuhi. Akhirnya, harapan tersembunyi itu bisa terlaksana semuanya. Memang, jika kita punya mimpi, maka kita harus berusaha mencapai mimpi itu. Awalnya aku mengira, menjadi seseorang yang terkenal itu harus bisa menyanyi dan akting. Ternyata tidak semuanya begitu. Apapun bakat yang kita miliki, kita harus pandai mengasahnya. Tak perlu kita beralih ke bakat lain yang belum tentu kita punya. Jadilah dirimu sendiri! Be your self!

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen : Penggaris Ungu Kika

*sebelumnya, maaf kalau jelek. Ini cerpen pertama yang admin buat soalnyaaa~*

Kika melangkahkan kaki menuju kelasnya. Teman-teman masih bergerombol di depan kelas. Bu guru menyuruh anak-anak masuk kelas. Pelajaran pun dimulai. Ternyata, hari ini pelajaran matematika. Semua anak mengeluarkan alat tulis dan bukunya dari tasnya masing-masing.
            “Anak-anak, hari ini kita akan mempelajari materi bangun datar. Sekarang, kalian gambar di buku tulis kalian, macam-macam bangun datar. Kalian bisa cari di buku matematika masing-masing. Jangan lupa, pakai penggaris ya menggambarnya, agar rapi.”ucap Bu Guru panjang lebar. Anak-anak sibuk menggambar, termasuk Kika.
            Kika mengeluarkan penggaris ungu dari tasnya. Penggaris itu sangat lucu dan menarik. Warnanya ungu, bergambar hello kitty dan pita-pita merah muda. Indah sekali. Bahkan teman sebangku Kika, Fiara, merasa tertarik dengan penggaris Kika.
            “Kika, penggarismu bagus sekali. Aku ingin punya penggaris seperti milikmu.”ucap Fiara sambil memegang penggaris Kika. “Oh ini. Iya, itu oleh-oleh dari Pamanku. Waktu itu pamanku baru datang dari Singapura.”balas Kika. Fiara mengangguk mengerti. Menurut Fiara, penggaris itu sangat istimewa. Maklum, Fiara tak mungkin memiliki penggaris seperti itu. Orang tua Fiara hanyalah pedagang yang berjualan di pasar, mustahil jika pergi ke Singapura hanya untuk membelikan penggaris. Diam-diam, Fiara ingin mengambil penggaris itu. Ah, Kika tak mungkin mencarinya, kalau pun penggaris itu hilang, dia pasti dibelikan lagi, pikirnya.
            Istirahat pun tiba. Kika berjalan menuju kantin bersama teman-teman lain. Sengaja, Fiara tak ikut ke kantin. Dia beralasan, masih kenyang katanya. Sekarang, kelas sepi. Hanya ada Fiara, Pio, dan Yuna. Saat Pio dan Yuna pergi ke kamar mandi, Fiara berkesempatan mengambil penggaris itu di tas Kika. Ia membuka tas Kika, mengambil penggaris milik Kika, dan dimasukkan ke dalam tasnya.
            Tet..tet..tet..Bel masuk berbunyi, tanda istirahat telah usai. Sekarang saatnya pelajaran Bahasa Indonesia. Bu guru masuk ke kelas, dan meletakkan tasnya di meja guru. “Anak-anak, materi Bahasa Indonesia hari ini adalah menentukan watak tokoh dalam cerita. Kalian membuat tabel ya! Tabel itu terdiri dari nama tokoh, sifat atau watak, dan alasan. Jangan lupa, pakailah penggaris agar terlihat rapi tabelnya.”ucap Bu Guru.
            Kika melihat isi dalam tasnya. Ia mencari penggaris ungu miliknya. Namun, penggaris itu tak ada. Kika bingung, dan akhirnya ia berjalan menuju meja guru. “Bu, penggaris saya hilang. Boleh tidak, jika saya tidak memakai penggaris membuat tabelnya?”tanya Kika. “Lebih baik penggarismu dicari bersama-sama saja ya.”jawab Bu Guru.
            “Anak-anak, apakah ada yang tahu letak penggaris Kika?”tanya Bu Guru. Anak-anak menggeleng. “Baiklah. Kalau begitu, Bu Guru akan mengadakan penyelidikan dan penggeledahan tas masing-masing.”ucap Bu Guru. Kika tampak sedih, bagaimanapun penggaris itu sangat berharga baginya. Ia tak melihat berapa harganya, tetapi siapa yang memberinya.
            “Begini saja. Kika, apakah tadi pagi penggarismu masih ada di dalam tasmu?”tanya Bu Guru. Kika mengangguk. “Iya bu. Tadi ada pelajaran matematika, dan saya masih menggunakan penggaris itu.”jawab Kika. “Berarti kemungkinan besar, penggaris itu hilang saat istirahat sekolah. Kika, kamu tahu, siapa yang berada di dalam kelas saat istirahat tadi?”tanya Bu Guru. Kika menjawab, “Saya tahu bu. Saat istirahat, hanya Pio, Fiara dan Yuna bu, yang masih berada di dalam kelas.”. “Yuna, Pio, Fiara, silahkan maju ke depan dan bawa tas kalian!”ucap Bu Guru tegas. Ketiga anak itu maju dengan membawa tasnya. Yuna dan Pio tampak santai, karena mereka memang merasa tak bersalah. Sedangkan Fiara, keringatnya bercucuran dan ia tampak ketakutan.
            Bu Guru membuka tas masing-masing. Pertama, tas milik Pio. Isinya hanya buku, tempat minum, dan kertas-kertas ulangan. Kedua, tas milik Yuna. Isinya sama seperti tas Pio, hanya saja ada penggaris plastik dan beberapa pensil di dalamnya. Tetapi, penggaris plastik itu bukanlah milik Kika. Dan yang terakhir, tas milik Fiara. Tubuh Fiara bergemetar ketakutan. Ia tak sanggup menahan malu di depan teman-teman sekelasnya, terutama kepada Kika.

            Isi tas Fiara sama seperti tas milik Yuna dan Pio. Tetapi, ada… Ya, penggaris ungu milik Kika! Fiara menangis dan mengakui kesalahannya. Ia meminta maaf kepada Kika. “Fiara, perbuatan kamu sangat tidak terpuji. Bu Guru akan membawamu ke ruang kepala sekolah untuk dihukum!”ucap Bu Guru tegas. “Tak perlu bu. Saya sudah memaafkannya. Fiara, aku tahu kamu menginginkan penggarisku. Tetapi, tidak seharusnya kamu mencuri seperti ini. Kalau kamu mau, aku masih punya satu lagi kok untukmu! Ini pemberian dari almarhum pamanku, dan aku disuruh untuk merawatnya. Penggaris ini sangat berarti untukku.”kata Kika. Mereka pun berpelukan. “Terima kasih ya Ka, kamu adalah sahabat yang baik. Aku sungguh menyesal telah berbuat seperti ini kepadamu.”balas Fiara.

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen : Flo dan Baju Cuciannya

            Seusai pulang sekolah, Flo selalu membantu ibu mencuci baju pesanan tetangganya. Ya, ibu Flo membuka usaha cuci baju atau biasa disebut dengan laundry. Flo memang anak yang rajin. Ia tak mengenal lelah jika membantu ibunya.
            Suatu hari, Flo pulang dari sekolahnya, dan melihat tumpukan baju yang siap diantar. “Bu, Flo mengantar baju-baju ini ya!”seru Flo dengan semangat. “Iya nak. Jangan sampai salah mengantar ya! Tumpukan sebelah kiri itu milik Bu Lila, dan tumpukan sebelah kanan itu milik Pak Hula.”jawab ibu. “Siap bu! Flo tidak akan salah mengantar lagi kok!”balas Flo. Ia memasukkan baju-baju yang telah diplastik itu ke dalam kantong kresek, dan diletakkannya di keranjang sepedanya.
            Flo mengayuh sepedanya. Baju milik Pak Hula diantar terlebih dulu, karena memang rumah Pak Hula lebih dekat dibandingkan rumah Bu Lila. Pak Hula menerimanya dengan senang, karena baju itu diantar tepat waktu. Sebenarnya Pak Hula mempersilahkan Flo untuk masuk ke rumahnya, namun Flo menolak, karena belum mengantar baju milik Bu Lila.
            Flo melanjutkan mengayuh sepedanya. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada sebuah motor yang tak sengaja menyerempet sepeda Flo. Flo terjatuh, begitu pun dengan baju Bu Lila. Pengendara motor itu menolong Flo. Untungnya, Flo tidak terluka. Tapi, bagaimana dengan baju Bu Lila? Baju itu kotor. Flo bingung, tak tahu harus berbicara apa kepada ibu nanti.
            Flo pulang ke rumah. Tak mungkin ia tetap mengantar baju itu ke rumah Bu Lila dengan kondisi yang kotor. Ibu melihat Flo yang wajahnya tampak sedih. Flo merasa bersalah. “Ibu, baju Bu Lila kotor. Tadi, Flo ditabrak motor. Maafkan Flo bu! Flo janji, akan mencuci ulang baju ini. Flo juga berjanji, tak akan mengulangi kesalahan ini lagi.”ucap Flo menunduk.

            Ibu tak sedikit pun marah. Malah mengelus rambut putrinya. “Tak apa nak. Itu bukan kesalahan kamu. Ini musibah. Ibu senang kamu berkata jujur. Terus, kamu terluka atau tidak?”tanya ibu penuh perhatian. Flo menggeleng. Memang ada sebagian kakinya yang kotor terkena tanah. “Sekarang, kamu cuci kakimu dulu, setelah itu belajar untuk besok ya!”seru ibu. “Lalu, bagaimana dengan baju Bu Lila bu?”tanya Flo heran. Ibu menjawab, “Sudahlah. Biar ibu saja yang mencucinya. Besok kamu banyak tugas sekolah kan?”. “Iya bu. Terima kasih ya bu.”balas Flo. Ibu mengangguk. 

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen : Jam Tangan Fiara

Langit agak mendung, saat Fiara berjalan menaiki tangga sekolah.Ia melangkahkan kakinya perlahan, mungkin karena efek penilaian lari kemarin. Kelasnya berada di lantai atas, dan masih jauh dari tangga. Gadis berusia 12 tahun itu tampak keberatan dengan beban tas ransel yang berada di punggungnya.
Sesampai di depan kelas, Fiara mengetuk pintu dan mengucapkan salam. “Assalamualaikum..”ucapnya.
“Waalaikumsalam..”balas teman-teman Fiara serentak.
Untungnya, saat itu guru bahasa daerah belum datang. Padahal, Fiara merasa terlambat, dan takut karena bahasa daerah menjadi jam pelajaran pertama.
            “Pagi Fiara! Tugas bahasa daerah sudah kamu selesaikan?”sapa Safira, sahabat Fiara yang duduk sebangku dengannya.
Gadis itu hanya mengangguk, ia tampak sibuk meletakkan tas di kursi.
“Boleh aku pinjam bukumu? Hanya untuk mencocokkan jawaban saja.”tanya Fiara.
“Silahkan.”
Tak sengaja, Fiara melihat jam tangan yang melingkar di tangan Safira. Warnanya merah muda, jarum penunjuk angkanya berwarna ungu, menarik sekali! Ia ingin memiliki jam tangan seperti milik Safira.
“Jam tangan baru, Saf? Kamu beli dimana?”
“Ini pemberian pamanku. Kemarin baru pulang dari Jakarta.”
“Bagus. Aku suka melihatnya!”
“Terima kasih.”
Percakapan singkat itu terhenti tepat ketika Bu Nina, guru bahasa daerah memasuki kelas. Pelajaran pun dimulai.
Tak terasa, jam pelajaran bahasa daerah habis. Bel istirahat pun berbunyi. Fiara dan Safira berjalan menuju kantin. Safira tampak heran, sejak tadi Fiara terus memandangi jam tangan miliknya.
“Ra, kamu ingin punya jam tangan ya?”tanya Safira membuka pembicaraan.
Fiara hanya diam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Di dalam hati, ia memang benar-benar menginginkannya. Safira tak melanjutkan pertanyaannya. Dia tidak ingin sahabatnya mengira dirinya memamerkan jam tangannya.
Raut muka Fiara tampak lesu sepulang sekolah.Langkah kakinya pelan sekali, bahkan hentakan sepatunya hampir tak bersuara. Selain kakinya sakit, ia juga malas untuk pulang ke rumah terlalu cepat. Ia membayangkan betapa beruntungnya Safira, bisa memiliki jam tangan sebagus itu. Sebenarnya sudah lama, Fiara ingin memiliki jam tangan.Namun, selalu saja, ia berpikir keinginannya itu tak akan terwujud. Tak lama, ia sudah sampai di rumahnya, meskipun dengan kecepatan langkah kaki yang sangat rendah. Mungkin itu karena rumah Fiara yang tak jauh dari sekolah.
“Assalamualaikum!”serunya sambil mengetuk pintu.
“Waalaikumsalam.”jawab seorang wanita setengah baya dari dalam rumah. Ya, itu ibu Fiara.
“Ibu lihat, sepertinya anak ibu satu-satunya ini tampak lesu. Ada masalah di sekolah ya nak?”tanya ibu seraya memperhatikan raut muka anaknya.
Fiara diam, tak menjawab pertanyaan ibunya.
“Ceritalah kepada ibu, barangkali ibu bisa membantu. Atau, kamu menginginkan suatu barang?”ucap ibu.
“Mengapa ibu bisa tahu kalau Fiara menginginkan sesuatu?”tanya Fiara balik.
“Bagaimana ibu tidak tahu, kan Fiara anak ibu.”jawab ibu.
“Fiara ingin punya jam tangan, bu.”ucap Fiara memelas kepada ibu.
Ibu terdiam sejenak, dan menjawab, “Fiara, bukannya ibu tak mau menuruti, tapi kamu tahu sendiri, ibu ini hanya seorang penjual sayur dan buah. Ibu tak mampu membelikanmu jam tangan.”.
Ibu mengusap rambut Fiara. Fiara mengangguk sedih. Padahal, ia sangat ingin memiliki jam tangan seperti teman-teman di sekolahnya, apalagi seperti milik Safira.
“Lho, anak ibu kok sedih? Begini saja, ibu berjanji kalau ibu punya rezeki lebih, ibu pasti akan belikan kamu jam tangan.”kata ibu menenangkan Fiara.
Fiara mengusap air matanya. Ia tahu, meskipun ada rezeki lebih, tapi uang itu digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting. Tiba-tiba ia terpikir untuk menyisihkan uang sakunya per hari.
“Bu, mulai sekarang Fiara akan menabung, agar bisa membeli jam tangan!”seru Fiara.
“Boleh. Sisihkan sebagian uang saku dan uang jajanmu, mungkin kira-kira satu bulan, kamu bisa membelinya.”ucap ibu.
Setiap hari, Fiara menyisihkan sebagian uang sakunya. Uang saku Rp 3.000,- disisihkan Rp 2.000,-. Biasanya, seluruh uang sakunya dibelikan bakso semangkok. Mulai sekarang, ia hanya bisa membeli pentol di depan sekolahnya. Rasa lapar ditahannya hingga pulang sekolah.
Tak terasa, satu bulan berlalu.Setelah dihitung, rupanya jumlah tabungan Fiara sudah mencukupi untuk membeli barang yang diidamkannya selama ini.Ia dan ibunya berniat untuk pergi ke toko jam tangan siang itu.
Fiara mengunci pintu rumahnya. Lalu, kunci itu dimasukkan ke dalam tas kecil miliknya. Namun pada saat keluar pagar, tiba-tiba Bu Mimi, tetangga Fiara datang menghampiri mereka.Sepertinya ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
“Bu, saya minta tolong, anak saya sakit tipus, kami tidak memiliki uang untuk membelikan Aira obat.Boleh saya pinjam uang dulu bu, jika ada uang untuk mengembalikan pasti akan saya ganti.”
“Maaf bu, bukannya saya tidak mau membantu, tapi...”belum sempat ibu selesai bicara, Fiara berkata, “Ini bu, ada sedikit uang untuk membeli obat. Semoga Aira cepat sembuh ya bu.”.
Fiara menyerahkan seluruh uang tabungannya kepada Bu Mimi.Bu Mimi menerimanya.
“Terima kasih ya nak Fiara.Semoga Tuhan membalas kebaikanmu.”ucap Bu Mimi.
Fiara mengangguk.Ibu heran melihat Fiara.Bukannya uang itu jerih payahnya selama ini demi membeli barang yang diinginkannya sejak lama?
Setelah Bu Mimi berlalu, Fiara dan ibu kembali masuk ke rumah.Mereka membuka kembali pintu rumah yang telah terkunci itu.
“Nak, kenapa kau berikan uang tabunganmu itu? Bukankah kamu sangat menginginkan jam tangan?”tanya ibu.
“Tak apa bu. Kalau ada tetangga kesusahan, mengapa tidak kita bantu? Kan kebutuhan Bu Mimi lebih penting daripada kebutuhan Fiara.Untuk masalah jam tangan, Fiara bisa kok menabung lagi.”jawab Fiara.
“Ibu bangga kepadamu nak. Semoga bulan depan kita bisa membelinya ya!”ucap ibu sambil memeluk Fiara.
Fiara masuk ke kamar.Ia melihat celengan ayamnya yang kini telah kosong. Dia tahu, Bu Mimi tak akan mengembalikan uangnya dalam waktu dekat. Karena keadaan ekonomi keluarga Bu Mimi tak beda jauh dengan keluarganya. Salah satu cara untuk bisa membeli jam tangan hanyalah dengan menabung lagi. Padahal, ia sudah tak sabar untuk mencicipi bakso langganannya setelah satu bulan tidak membelinya.
Keeseokannya, Fiara berangkat sekolah. Seperti biasa, ia berjalan kaki.Sesampai di sekolah, Safira menepuk bahunya.
“Fiara, aku ingin menunjukkan sesuatu.”ucap Safira.
Awalnya, Fiara menolak, karena dia ingin melihat mading di lantai bawah.Namun, tanpa banyak bicara, Safira menggandeng tangan Fiara untuk duduk di sebelah bangkunya.Kebetulan, kelas tak begitu ramai saat itu.
“Ada apa, Saf?”tanya Fiara lugu.
“Ini untukmu.”ucapnya sambil menunjukkan sebuah kotak yang berisi jam tangan merah muda di dalamnya.
“Untukku? Ini kan sama persis seperti jam tangan yang kau pakai sekarang?”tanya Fiara tak percaya.
“Iya.Kemarin pamanku ke rumahku. Beliau memberi jam tangan ini, maksudnya jika jam tanganku rusak, nanti ada gantinya. Namun, sepertinya jam tanganku tak apa-apa.Aku rasa masih bagus.Ya sudah, daripada tidak aku pakai, lebih baik aku berikan ke kamu saja. Kamu suka kan?”ucap Safira
“Umm,, suka ! Suka sekali … Terima kasih ya, Saf! Tapi, jam tangan ini terlalu bagus untuk dipakai anak berkulit sawo matang sepertiku.”
“Tidak. Kau pantas mengenakannya..”bantah Safira.
“Sekali lagi, terima kasih ya, Saf!Kamu memang sahabat yang baik.”kata Fiara.

Safira mengangguk.Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan bagi Fiara. Bahkan, ia mencatat tanggalnya di buku harian, ‘Sabtu, 20 Februari 2016’…

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bilangan Biner (Binary) - Tugas TIK

Biner adalah sistem nomor yang digunakan oleh perangkat digital seperti komputer, pemutar cd, dll Biner berbasis 2, tidak seperti menghitung sistem desimal yang Basis 10 (desimal).
Dengan kata lain, Biner hanya memiliki 2 angka yang berbeda (0 dan 1) untuk menunjukkan nilai, tidak seperti Desimal yang memiliki 10 angka (0,1,2,3,4,5,6,7,8 dan 9).
Contoh dari bilangan biner: 10011100
Seperti yang anda lihat itu hanya sekelompok nol dan yang, ada 8 angka dan angka-angka tersebut adalah bilangan biner 8 bit. Bit adalah singkatan dari Binary Digit, dan angka masing-masing digolongkan sebagai bit.
Bit di paling kanan, angka 0, dikenal sebagai Least Significant Bit (LSB).

Bit di paling kiri, angka 1, dikenal sebagai bit paling signifikan (Most significant bit = MSB)
Notasi yang digunakan dalam sistem digital:
4 bits = Nibble
8 bits = Byte
16 bits = Word
32 bits = Double word
64 bits = Quad Word (or paragraph)
Saat menulis bilangan biner Anda perlu menandakan bahwa nomor biner (basis 2), misalnya, kita mengambil nilai 101, akan sulit untuk menentukan apakah itu suatu nilai biner atau desimal (desimal). Untuk menyiasati masalah ini adalah secara umum untuk menunjukkan dasar yang dimiliki nomor, dengan menulis nilai dasar dengan nomor, misalnya:
1012 adalah angka biner dan 10110 i adalah nilai decimal (denary.
Setelah kita mengetahui dasar maka mudah untuk bekerja keluar nilai, misalnya:
1012 = 1*22 + 0*21 + 1*20 = 5 (Lima)
101
10 = 1*102 + 0*101 + 1*100 = 101 (seratus satu)
Satu hal lain tentang bilangan biner adalah bahwa adalah umum untuk menandai nilai biner negatif dengan menempatkan 1 (satu) di sisi kiri (bit yang paling signifikan) dari nilai. Hal ini disebut tanda bit, kita akan membahas hal ini secara lebih rinci pada bagian selanjutnya dari tutorial.
Nomor elektronik biner disimpan / diproses menggunakan off atau pulsa elektrik, sistem digital akan menafsirkan Off  dan On di setiap proses sebagai 0 dan 1. Dengan kata lain jika tegangan rendah maka akan mewakili 0 (off), dan jika tegangan yang tinggi akan mewakili 1 (On).
Konversi biner ke desimal Untuk mengkonversi biner ke desimal adalah sangat sederhana dan dapat dilakukan seperti yang ditunjukkan di bawah ini:
Misalkan kita ingin mengkonversi nilai 8 bit 10011101 menjadi nilai desimal, kita dapat menggunakan rumus seperti di bawah ini bahwa:
128
64
32
16
8
4
2
1
1
0
0
1
1
1
0
1
Seperti yang Anda lihat, kita telah menempatkan angka 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128 (pangkat dua) dalam urutan numerik terbalik, dan kemudian ditulis nilai biner di bawah ini.
Untuk mengkonversi, Anda hanya mengambil nilai dari baris atas di mana ada angka 1 di bawah, dan kemudian menambahkan nilai-nilai tersebut bersamaan.
Misalnya, dalam contoh, kta akan menjumlahkan angka pada baris atas yang diwakili oleh angka 1 dibawah maka dijumlahkan seperti ini :
128 + 16 + 8 + 4 + 1 = 157.
Untuk nilai 16 bit Anda akan menggunakan nilai desimal 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, 256, 512, 1024, 2048, 4096, 8192, 16384, 32768 (Pangkat dua) untuk konversi .
Karena kita tahu biner adalah basis 2 maka angka di atas dapat ditulis sebagai berikut :
1*27 + 0*26 + 0*25 + 1*24 + 1*23 + 1*22 + 0*21 + 1*20 = 157.
Konversi desimal ke biner
Untuk mengubah desimal ke biner juga sangat sederhana, Anda hanya membagi nilai desimal dengan 2 dan kemudian menuliskan sisanya, ulangi proses ini sampai Anda tidak bisa membagi dengan 2 lagi, misalnya mari kita mengambil nilai desimal 157:
157 ÷ 2 = 78          dengan sisa 1
78 ÷ 2 = 39            dengan sisa 0
39 ÷ 2 = 19            dengan sisa 1
19 ÷ 2 = 9               dengan sisa 1
9 ÷ 2 = 4                 dengan sisa 1
4 ÷ 2 = 2                 dengan sisa 0
2 ÷ 2 = 1                 dengan sisa 0
1 ÷ 2 = 0                 dengan sisa 1
Sisa hasil perhitungan tersebutlah merupakan penulisan bilangan binary yaitu 10111001

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS