Pagi yang cerah, terik
matahari tak terlalu menyengat. Angin lembut yang berhembus, terasa sejuk
sekali, diiringi oleh tarian rumput dan dedaunan. Kicauan burung yang amat
merdu, kudengarkan perlahan. Kupercepat kegiatanku, karena waktu telah
menunjukkan pukul 06.20. Aku tak ingin terlambat ke sekolah untuk kesekian
kalinya.
“Rita, lebih baik kamu sekarang berangkat sekolah saja,
biar ibu yang melanjutkan menggoreng krupuknya. Nanti terlambat lho!”ucap ibu
seraya menghampiriku. Aku menoleh. “Tak apa, bu. Lagipula krupuknya masih sisa
sedikit, lebih baik diselesaikan saja.”jawabku. Kulihat krupuk-krupuk itu, yang
semuanya berharap ingin segera digoreng. Inilah kegiatan rutinku setiap pagi.
Setelah sholat Subuh, aku menggoreng krupuk udang untuk dijual ke pasar dan
warung kecil. Penghasilan keluarga kami satu-satunya adalah dari penjualan
krupuk.
Kembali ke permasalahan pagi ini. Setelah selesai
menggoreng, aku berpamitan kepada ibu. Aku menggandeng Fiara, adikku yang masih
kelas 4 SD. Kami berjalan kaki menuju sekolah. Langkah kaki kami agak cepat,
karena takut terlambat. Sekolah Fiara lebih dekat dibandingkan sekolahku,
setelah aku mengantarnya, aku berlarian tak kenal lelah menuju sekolah.
Benar saja, dengan nafas terengah-engah, kulihat pintu
gerbang sekolah telah ditutup. Apa boleh buat, aku meminta Pak Satpam untuk
membukakan pagarnya. “Pak, tolong ijinkan saya masuk. Saya berjanji, tidak akan
terlambat ke sekolah lagi. Tapi saya mohon pak, kali ini saja, bukakan pintu
gerbangnya.”ucapku memelas kepada Pak Koko, Satpam di sekolahku. “Kamu lagi,
kamu lagi! Sudah berapa kali kamu terlambat ke sekolah! Setiap terlambat, kamu
selalu memelas seperti ini. Ikut bapak ke ruang kepala sekolah! Agar kamu dihukum
karena perbuatanmu.”gertak Pak Koko. Aku menunduk. Ingin rasanya aku menangis
saat itu juga. Langkah kakiku terasa berat menuju ruang kepsek.
“Assalamualaikum..”ucap kami berdua saat memasuki
ruangan. “Waalaikumsalam.. Pak Koko, ada apa ini?”balas Pak Yadi, kepala
sekolahku. Pak Koko menjelaskan, “Dia Pak, Rita, lagi-lagi datang terlambat ke
sekolah. Ini sudah kesekian kalinya. Buku pelanggaran siswa penuh dengan
namanya.”. Beliau memberikan buku pelanggaran itu kepada Pak Yadi. Halaman demi
halaman dilihatnya satu persatu. Benar, nama yang mendominasi adalah ‘Flarita
Dian Asista’, yaitu namaku. Aku menatap Pak Yadi dengan penuh rasa malu.
“Baiklah Pak Koko. Terima kasih.”ucap Pak Yadi. Pak Koko
keluar dari ruangan itu dan meninggalkanku. Kini, hanya aku dan Pak Yadi yang
berada di situ. Pak Yadi mempersilahkan aku untuk duduk. “Flarita, tolong
jelaskan ke Pak Yadi, mengapa kamu sering terlambat seperti ini. Ini bukan yang
pertama kalinya kamu terlambat.”kata Pak Yadi. “Setiap pagi sebelum berangkat
sekolah, saya membantu ibu saya menggoreng krupuk udang, Pak.”jawabku. Seketika
suaraku pelan sekali, jauh berbeda dengan suaraku yang biasanya. Padahal, di
kelas aku jago berteriak. Pak Yadi melanjutkan, “Lho, memangnya tidak ada
pembantu yang membantu ibumu bekerja? Lalu, ayah kamu?”. Aku menunduk. Setiap
ditanya soal ayah, aku selalu tak kuat menahan tangis. “Kami tak bisa menggaji
pembantu, Pak. Ayah sudah meninggal sejak saya masih kelas satu SD. Saya hanya
tinggal bertiga dengan ibu dan Fiara, adik saya yang berumur sepuluh
tahun.”jawabku.
Pak Yadi tampak prihatin mendengar jawabanku. “Saya turut
prihatin dengan keadaan keluargamu. Begini, saya akan carikan pembantu untuk
ibumu. Urusan gaji, biar saya yang menanggung. Jadi, kamu bisa datang tepat
waktu ke sekolah, karena ibumu sudah ada yang membantu. Bagaimana? Apakah kamu
mau?”ucap Pak Yadi. Aku terkaget mendengar ucapan Pak Yadi barusan. Senang
bercampur haru kurasakan dalam hati. Tentunya, aku sangat senang karena ibu ada
yang membantu. “Saya mau, Pak. Terima kasih ya Pak!”balasku riang. Air mataku
menetes tiba-tiba, sebuah tangisan haru. Pak Yadi mengangguk. “Sekarang, kamu
kembali ke kelas. Pelajaran sudah dimulai sejak tadi.”perintah beliau. Aku
menyetujuinya, dan berjalan meninggalkan ruangan itu.
Sejak saat itu, aku tak pernah datang terlambat lagi.
Kini, buku pelanggaran siswa tidak memuat namaku. Tetapi, namaku termuat di
buku prestasi siswa. Aku sering memenangkan lomba karawitan bersama teman-teman
lain di luar sekolah. Kedudukanku di ekskul itu ialah sebagai penyanyi, atau
pesinden. Aku memang suka menyanyi sejak umur 6 tahun. Sebenarnya, aku ingin
sekali mengembangkan bakatku, dengan mengikuti les vokal. Namun apa daya, tak
ada biaya untuk itu. Aku lebih cocok jika menyanyikan tembang Jawa. Pernah,
saat ada tes ekskul paduan suara, aku mengikutinya. Tetapi, cukup sampai
disitu, aku tidak lulus tes karena suaraku dirasa aneh untuk mengikuti ekskul
padus. Justru, aku disarankan untuk ikut ekskul karawitan. Alhasil, prestasi
pun bisa kuraih. Setidaknya, bisa kugunakan untuk bekal mendaftar SMA tahun
depan.
Suatu hari, ada tugas kelompok dari sekolah. Aku satu
kelompok dengan Amanda, Zahra, dan Alifa. Setelah pulang sekolah, kami berniat
untuk mengerjakannya di rumah Zahra. Aku ingin sekali-kali tugas kelompok
dikerjakan di rumahku. Namun, kurasa tak mungkin karena tempatnya yang sempit,
kecil, dan bau udang. Maklum, setiap hari kan produksi krupuk udang.
Beberapa jam lamanya, kami serius merundingkan tugas. Dan
akhirnya, selesai juga. Zahra mengajak kami untuk ke kamarnya, melihat televisi
bersama. Keripik kentang dan jus jeruk menjadi santapan kami saat itu. Mungkin
bagi mereka, makanan seperti itu sudah biasa. Tetapi bagiku, makanan seperti
itu sangat istimewa. Makan tempe dan minum air putih saja sudah bagus buatku.
Setelah memilih-milih stasiun televisi, akhirnya kami
tertarik pada liputan acara musik yang sedang berlangsung di Jakarta.
Penyanyi-penyanyi solo maupun grup girlband boyband menampilkan lagunya
masing-masing. Ada juga yang berduet dengan menyanyikan sebuah lagu. Banyak
fans yang mengulurkan tangannya agar bisa menyalami idolanya. Sepertinya seru
ya jadi orang yang terkenal. Punya banyak fans, tampil di televisi, diidolakan
banyak orang. Aku ingin bisa seperti itu. Jika kita punya impian, mengapa tidak
diwujudkan? Segala masalah dapat terselesaikan jika niat kita kuat. Menjadi
penyanyi terkenal adalah cita-citaku sejak kecil.
“Rit, kamu kenapa? Kok melamun?”tanya Amanda sambil
menepuk bahuku. Aku kaget, dan tak menyadari jika sedari tadi aku melamun. “Oh,
umm,, tidak kok, Man! Aku tidak melamun, hanya membayangkan saja.”jawabku
mencari alasan. “Aku kan sahabatmu, jadi aku tahu lah apa yang kamu pikirkan
sekarang! Kamu pengen jadi penyanyi terkenal kan?”ucapnya begitu yakin.
Aku mengangguk. Dalam hati, kapan ya aku bisa ke Jakarta buat jadi penyanyi?
Sedangkan, aku hanya seorang anak yatim yang tinggal di kota kecil.
Rupanya, Alifa mendengar obrolan kami. “Flar, tanpa kamu
sadari, kamu sudah terkenal lho!”ucapnya tiba-tiba. Aku heran dengan ucapannya.
“Kok bisa?”. “Setiap upacara, kamu sering kan dipanggil namanya sebagai penyaji
terbaik karawitan? Adik kelas maupun kakak kelas, banyak yang mengenali kamu!
Setidaknya, kamu sudah menjadi penyanyi di sekolah kan? Tak apa, itu awal baik
buatmu!”jawabnya. Kini, aku mengerti ucapannya. “Tapi Fa, aku ingin jadi
penyanyi solo, yang menyanyikan lagu ber-genre pop! Bukan tembang Jawa…”ucapku
lesu. “Justru itu keunikan kamu! Banyak orang lain yang bisa menyanyi lagu pop,
sedangkan pesinden? Jumlahnya sedikit sekali! Dan kamulah penerusnya, agar
kebudayaan Jawa tidak punah!”balasnya menasehatiku. Seharusnya, aku bangga
dengan suaraku. Kata orang, suaraku langka. Aku baru sadar, selama ini aku
tidak pernah mensyukuri apa yang telah diberikan Allah kepadaku. Allah memberi
jenis suara yang berbeda-beda setiap orang.
“Kamu ingat waktu pentas seni kemarin? Saat ekskul
karawitan tampil, semua terpukau dengan suaramu! Tepuk tangan dari mereka lebih
ramai dibandingkan saat ekskul vocal grup atau paduan suara tampil!”tambah
Zahra yang muncul tiba-tiba dari pintu kamar. Aku mengingatnya. Memang benar
apa kata Zahra. Mereka semua memelukku, dan berjanji akan mendukungku.
Sesampai di rumah, kubuka diaryku. Sebenarnya bukan buku
diary, tetapi hanya sebuah buku tulis biasa yang kumanfaatkan sebagai buku
harianku. Aku terpikir, untuk menulis impianku di buku itu. Ini dia isinya:
Harapan Tersembunyi :
Tidak boleh ada seorang pun yang tahu sebelum aku berhasil menggapai semuanya…
- Ekskul karawitan bisa
berprestasi hingga tingkat nasional
- Memperkenalkan budaya Jawa Timur
lebih jauh kepada para pelajar
- Berlatih vocal dan tari
- Menjadi terkenal karena….
(belum direncanakan)
- Lulus
SMP dan diterima di SMA favorit
Flarita
Dian Asista
Kusimpan buku itu di
lemari, karena kurasa aman. Kunci lemari selalu kubawa, tak mungkin ada seorang
pun yang bisa membukanya.
Sore pun kini berganti malam. Aku melihat Fiara yang
tampak sibuk mengerjakan PR nya. Lalu aku menghampiri ibu yang sedang memasak
di dapur. Aku berharap, ibu sedang memasak ayam goreng untuk makan malam ini.
Namun ternyata, hanya sayur asem dengan lauk tahu goreng!
Setelah makan malam, aku memilih masuk kamar, dan
menyiapkan segala keperluan untuk sekolah besok. Entah mengapa, mataku terasa
berat sekali. Aku mengantuk. Mungkin karena aku kelelahan mengerjakan tugas
kelompok tadi. Aku tertidur malam itu.
Keesokannya, seperti biasa, aku berangkat sekolah bersama
Fiara. Hari ini hari Jum’at, sepulang sekolah nanti ada latihan ekskul
karawitan. Mungkin aku akan pulang lebih siang dari biasanya. Tak lupa, aku
meminta ijin kepada ibu terlebih dahulu.
Siang itu, terik matahari menyorot kelasku, kelas yang
menghadap barat. Kulihat jam dinding yang ada di kelas, waktu menunjukkan pukul
14.00. Pelajaran telah usai. Teman-temanku keluar kelas dan menuju pintu
gerbang sekolah, kecuali aku. Aku menuruni tangga sekolah dan bergegas menuju
ruang karawitan.
“Flarita, ada kabar gembira untuk ekskul karawitan
kita!”ucap Bu Tatik, pembina ekskul, setelah mengetahui kedatanganku. “Kabar
gembira apa bu?”tanyaku penasaran. “Lomba Karawitan tingkat Provinsi kemarin,
kita mendapat peringkat pertama penyaji terbaik. Tiga minggu lagi, kita akan
pergi ke Jakarta untuk mengikuti Final Lomba Karawitan tingkat Nasional
mewakili Jawa Timur. Oleh karena itu, kita harus berlatih sebaik mungkin!”jawab
Bu Tatik dengan raut muka senang. Aku mengangguk mengerti dan tersenyum.
Kegiatan ekskul pun dimulai. Kali ini tak seperti biasanya, kami berunding
memilih tembang untuk lomba. Dan akhirnya, kita berencana untuk menggabungkan
tembang Maskumambang dengan Campursari.
Aku menceritakan kembali ucapan Bu Tatik kepada ibu dan
Fiara. Nampaknya, mereka senang mendengar berita itu. Pergi ke Jakarta adalah
impianku sejak kecil. Aku ingin melihat ramainya ibukota negara. Seandainya
saja, aku bisa melihat Monas secara langsung, karena biasanya hanya bisa
kulihat melalui layar televisi kuno di rumah.
Banyak artis-artis nasional yang tinggal di Jakarta, dan
tak satupun dari mereka yang tinggal di Sidoarjo. Kata orang, kalau mau jadi
artis terkenal, harus pergi dulu ke Jakarta. Memangnya, seperti apa sih Jakarta
itu?
Tiga minggu kemudian… Hari ini tanggal 18 September 2013.
Aku berangkat ke sekolah membawa tas yang penuh dengan pakaian dan beberapa
obat-obatan. Untungnya, aku tak telat sampai di sekolah. Bu Tatik menyuruh
anak-anak ekskul karawitan untuk berkumpul di halaman sekolah, karena bis akan
segera berangkat. Kami izin tidak masuk sekolah kira-kira selama satu atau dua
minggu kedepan.
Bis melaju cepat menuju Surabaya, ibukota Provinsi Jawa
Timur. Karena kami akan menginap semalam di Surabaya terlebih dahulu. Bertemu
dengan Bapak Gubernur, terasa menyenangkan sekali. Beliau memberi kami semangat
dan sedikit oleh-oleh kecil. Kata beliau, itu sebagai hadiah karena kami
berhasil mewakili Jawa Timur ke tingkat Nasional.
Keesokan harinya, kami meninggalkan penginapan dan
bergegas menuju bandara. Hmm,, ini pertama kalinya aku pergi ke bandara dan
menaiki pesawat terbang! Kota Jakarta yang letaknya jauh dari Surabaya, bisa
ditempuh oleh pesawat hanya dalam waktu beberapa jam saja. Ini merupakan
kebanggaan tersendiri bagi kami.
Lomba dilaksanakan sehari setelah kami sampai di Jakarta.
Ternyata, Jakarta tak beda jauh dengan Sidoarjo. Malah, menurutku aku lebih
nyaman di Sidoarjo, karena kotanya tenang dan tak banyak kendaraan
membisingkan. Jakarta juga banjir, apa bedanya dengan Sidoarjo? Memang kuakui,
Jakarta itu ibukota negara dan wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan
Sidoarjo. Jakarta juga banyak tempat-tempat wisata buatan yang bagus dan
monumen bersejarah, tidak seperti Sidoarjo. Mmm,, mungkin itu kelebihannya!
Akhirnya, lomba berlangsung meriah di Lapangan Dinas
Pariwasata dan Kebudayaan Kota Jakarta. Para finalis dari setiap provinsi
menyajikan sebuah tembang pilihannya. Kami mendapat nomor urut tampilan ke-14.
Kami berusaha semaksimal mungkin. Tepuk tangan meriah pun berhasil kami
dapatkan. Aku melantunkannya tanpa ada rasa ragu. Aku harus bisa meraih
prestasi kali ini, untuk memenuhi poin pertama dalam ‘Lima Harapan
Tersembunyi’.
Pengumuman pemenang. Juara Harapan Tiga jatuh pada
provinsi Kalimantan Selatan. Juara Harapan Dua diraih oleh provinsi Sumatera
Utara. Juara Harapan Satu jatuh pada provinsi Jawa Tengah. Juara tiga diraih
oleh provinsi Bali. Juara dua diraih oleh provinsi Nusa Tenggara Timur.
Baiklah, harapannya juara satu atau tidak menjadi pemenang. Dan ternyata..
Juara satu jatuh pada provinsi Jawa Timur! Aku sebagai pesinden mewakili
teman-temanku untuk maju ke atas panggung dan menerima penghargaan. Keberhasilan
ini tak lepas dari kerja keras kami selama ini. Akhirnya, poin pertama dalam
buku harian berhasil aku centang dengan rasa bangga.
Berusaha mencapai poin kedua.. Itulah misiku saat ini.
Aku mengambil salah satu majalah remaja yang berjajar rapi di perpustakaan
sekolah. Sudah pasti, itu majalah edisi terbaru. Halaman demi halaman kubuka.
Jika ada artikel yang menarik, barulah aku membacanya. Aku tertarik pada salah
satu halaman majalah. Disitu tertulis ‘SYARAT PENULISAN TEKNIS MENGIRIM ARTIKEL’.
Tanpa basa-basi, aku mengambil majalah itu dan kupinjam untuk satu minggu.
Sepertinya media cetak juga berpengaruh besar, karena
pembacanya adalah para pelajar seumuran aku. Syukurlah, majalah itu tak
menuntut penulisnya untuk mengetik tulisannya dengan komputer, karena..
meskipun aku sudah kelas 3 SMP, aku belum memiliki komputer ataupun laptop.
Mungkin dibandingkan pelajar lain, aku ini gaptek (gagap teknologi),
atau ketinggalan jaman. Kulihat teman-temanku, mereka tak hanya memiliki laptop
atau komputer, bahkan tablet, Ipad, I-phone, atau apalah itu namanya. Sedangkan
aku? Telepon genggam saja tidak punya…
Aku menulis kata demi kata pada selembar kertas folio.
Artikel yang kubuat cukup pendek, tapi isinya penuh makna. Artikel itu berjudul
‘PESONA PELANGI JAWA TIMUR’. Isinya yaitu memperkenalkan budaya Jawa Timur
kepada para pelajar. Agar mereka tahu, kalau sebenarnya daerah kita itu kaya
akan ragam budaya. Contohnya Reog Ponorogo, Tari Gandrung Banyuwangi,
Pertunjukan Ludruk, dan lain-lain. Lagu-lagu daerah yang berasal dari Jawa
Timur pun tak sedikit jumlahnya. Kita sebagai penerus, mengapa tidak
dilestarikan? Lagu-lagu daerah kini jarang sekali dinyanyikan. Para pelajar
lebih memilih untuk mendengarkan lagu Korea, lagu Barat, lagu tentang
percintaan dibandingkan lagu daerah. Tarian pula! Banyak pelajar yang berlatih dance,
sedangkan sanggar tari tradisional kini semakin sepi peminatnya. Aku berusaha
mengajak para pelajar lain untuk mengenal dan mencintai budayanya. Agar budaya
Jawa tidak semakin luntur.
Setelah dimasukkan amplop, aku mengirimnya lewat pos. Dua
minggu berlalu. Setiap hari Kamis, kusempatkan sedikit waktu untuk
melihat-lihat majalah mingguan tersebut. Dan.. Alhamdulillah! Artikelku dimuat
karena isinya menarik. Keesokannya, aku mendapat surat pemberitahuan dari pihak
majalah atas pemuatan artikelku. Baru pertama kali ini aku mendapat honor dari
pemuatan tulisanku sendiri.
Aku memecah celengan ayamku. Kuhitung jumlah uang yang
ada di dalamnya. Uang itu kudapatkan dari hadiah Lomba Karawitan kemarin,
tabungan uang saku sehari-hari, dan honor atas pemuatan artikel. Ternyata
jumlahnya cukup untuk mendaftar les vokal dan sanggar tari. Aku ingin berlatih
menyanyi dan menari sejak kecil. Dan baru terwujud di tahun 2013 ini.
Syukurlah! Tak kusadari, poin ketiga terlewati. Kini melaju ke poin nomer 4.
Kurasa itu sedikit susah. Namun, aku yakin pasti bisa melewatinya.
Mengejar poin keempat… Aku melakukan aktivitas rutinku
seperti biasanya. Sekolah, membantu ibu, bermain bersama Fiara, memasak untuk
keluarga, Sholat 5 waktu, dan lain-lain. Sampai akhirnya… satu bulan pun terlewati. Belum ada tanda-tanda poin
keempat akan berhasil. Sedangkan, tiga bulan lagi aku sudah lulus SMP. Itu
tandanya poin keempat tidak terlaksana dan meloncat ke poin lima. Aku harus
konsentrasi untuk menghadapi Ujian Nasional SMP yang sudah dekat.
Suatu hari di sekolah… Aku melihat sekolah tampak ramai
sekali. Kurasa mereka akan mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolahku.
Maklumlah, ini kan mendekati tahun ajaran baru. Namun, mengapa mereka
mengenakan baju yang sama? Seperti, seragam berwarna hitam yang sering kulihat
di televisi. Biasanya, mereka yang mengenakan adalah kru stasiun televisi.
Aku berjalan menuju kelasku yang berada di lantai dua.
Teman-teman menyambutku gembira. “Rita, selamat ya! Kamu sekarang sudah menjadi
artis. Banyak orang yang membicarakanmu. Mereka kagum terhadapmu, selain menjadi
pesinden, rupanya kamu juga seorang penulis artikel. Bu Tatik bangga sekali
sama murid ibu ini!”ucap Bu Tatik. Lho, ternyata Bu Tatik juga ada di kelasku?
Tetapi sepertinya aku tidak melihatnya tadi. “Terima kasih bu! Lalu, mengapa
mereka ada di depan kelas kita?”tanyaku seraya menunjuk para kru televisi.
“Katanya, mereka ingin mewawancarai kamu, Flar!”jawab Alifa. Hmm,, pengalaman
pertamaku diwawancarai seperti ini.
Ternyata wawancara hari ini masuk televisi! Aku tak
mengira, semua stasiun televisi membicarakan diriku. Aku terkenal? Ini bagaikan
mimpi! Banyak tawaran untuk menyinden, menyanyi, membintangi iklan produk,
bahkan tawaran main film. Tentunya aku harus pandai membagi waktu antara
sekolah dan pekerjaan. Aku tak lupa terhadap ketiga sahabatku, keluargaku,
guruku, yang selalu mendukung aku untuk semangat. Aku sadar, karena kebudayaan
Jawa lah aku bisa terkenal. Tak perlu aku mengharapkan untuk menjadi seorang
penyanyi Pop. Menjadi pesinden ternyata juga bisa terkenal, bahkan keliling
dunia!
Inilah puncaknya! Setelah keempat poin berhasil aku
capai, kini hanya tersisa satu poin terakhir. Sampai sekarang, kurasa rahasia
itu masih aman, belum ada seorangpun yang tahu tentang buku harianku.
Aku menghadapi Ujian Nasional SMP, yang berlangsung selama
4 hari. Pelajaran yang diujikan ialah Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, dan
Bahasa Inggris. Aku bersyukur karena pelajaran IPS tidak diujikan. Maklumlah,
aku kurang menguasai pelajaran IPS dan aku sedikit tidak menyukainya.
Setelah menyelesaikan ujian, kini tinggal menunggu
pengumuman hasilnya. Tiga minggu kemudian, daftar nilai hasil UN terpampang di
mading sekolah. Semua anak berebut tempat agar dapat melihatnya dengan jelas.
Aku malah santai dan sabar menunggu hingga sepi. Toh, lihat sekarang sama lihat
nanti sama saja nilainya, tidak akan bertambah atau berkurang!
Sedikit demi sedikit anak-anak bubar dan kembali ke
kelasnya. Sekarang aku bisa leluasa mencari namaku di tabel. Aku tak melihat
namaku di halaman kedua maupun halaman ketiga. Mungkinkah namaku berada di
halaman pertama? Berarti, nilaiku cukup tinggi.
Aku melihat dari bawah ke atas. Ternyata, namaku berada
di nomor urut satu, dengan nilai UN tertinggi di sekolah. Total nilai 39,70.
Matematika 10,00. Bahasa Indonesia 10,00. IPA 10,00. Dan Bahasa Inggris 9,70.
Aku tak menyangka bisa meraih nilai setinggi itu. Mendekati sempurna malah!
Semua guru memberi selamat atas prestasiku. Anak yang sering datang terlambat,
ternyata juga bisa berprestasi!
Bu Tatik mendekatiku. “Flarita, ada sekolah berbeasiswa
yang meminta kamu untuk sekolah disana. Letaknya di Jakarta. Sekolah bertaraf
Internasional tepatnya. Biaya sekolahmu akan ditanggung sepenuhnya oleh
sekolah. Bagaimana? Itu sekolah bagus lho! Sayang jika dilewatkan begitu saja
tawaran ini. Kamu mau kan?”tanya Bu Tatik. Sekolah favorit dan berbeasiswa!
“Iya bu, saya mau! Jadi, tidak memberatkan orang tua kan bu?”balasku riang. Bu
Tatik menjawab, “Tidak. Kamu nanti akan tinggal di asrama sekolah. Kalau kamu
mau, ibu dan adikmu juga bisa diajak kesana! Untuk tempat tinggal, mereka bisa
mencari kontrakan atau kos-kosan rumah.”. Aku menyetujuinya.
Poin kelima terpenuhi. Akhirnya, harapan tersembunyi itu
bisa terlaksana semuanya. Memang, jika kita punya mimpi, maka kita harus
berusaha mencapai mimpi itu. Awalnya aku mengira, menjadi seseorang yang
terkenal itu harus bisa menyanyi dan akting. Ternyata tidak semuanya begitu.
Apapun bakat yang kita miliki, kita harus pandai mengasahnya. Tak perlu kita
beralih ke bakat lain yang belum tentu kita punya. Jadilah dirimu sendiri! Be
your self!
0 comments:
Post a Comment