~~~ Welcome to my blog! And don't forget to visit again ^^ Arigato! ありがとう ~~~
Welcome to Chovanila Zone Blog! Please leave a chat or comment :)
RSS

Friday 2 May 2014

Cerpen : Lima Harapan Tersembunyi

            Pagi yang cerah, terik matahari tak terlalu menyengat. Angin lembut yang berhembus, terasa sejuk sekali, diiringi oleh tarian rumput dan dedaunan. Kicauan burung yang amat merdu, kudengarkan perlahan. Kupercepat kegiatanku, karena waktu telah menunjukkan pukul 06.20. Aku tak ingin terlambat ke sekolah untuk kesekian kalinya.
            “Rita, lebih baik kamu sekarang berangkat sekolah saja, biar ibu yang melanjutkan menggoreng krupuknya. Nanti terlambat lho!”ucap ibu seraya menghampiriku. Aku menoleh. “Tak apa, bu. Lagipula krupuknya masih sisa sedikit, lebih baik diselesaikan saja.”jawabku. Kulihat krupuk-krupuk itu, yang semuanya berharap ingin segera digoreng. Inilah kegiatan rutinku setiap pagi. Setelah sholat Subuh, aku menggoreng krupuk udang untuk dijual ke pasar dan warung kecil. Penghasilan keluarga kami satu-satunya adalah dari penjualan krupuk.
            Kembali ke permasalahan pagi ini. Setelah selesai menggoreng, aku berpamitan kepada ibu. Aku menggandeng Fiara, adikku yang masih kelas 4 SD. Kami berjalan kaki menuju sekolah. Langkah kaki kami agak cepat, karena takut terlambat. Sekolah Fiara lebih dekat dibandingkan sekolahku, setelah aku mengantarnya, aku berlarian tak kenal lelah menuju sekolah.
            Benar saja, dengan nafas terengah-engah, kulihat pintu gerbang sekolah telah ditutup. Apa boleh buat, aku meminta Pak Satpam untuk membukakan pagarnya. “Pak, tolong ijinkan saya masuk. Saya berjanji, tidak akan terlambat ke sekolah lagi. Tapi saya mohon pak, kali ini saja, bukakan pintu gerbangnya.”ucapku memelas kepada Pak Koko, Satpam di sekolahku. “Kamu lagi, kamu lagi! Sudah berapa kali kamu terlambat ke sekolah! Setiap terlambat, kamu selalu memelas seperti ini. Ikut bapak ke ruang kepala sekolah! Agar kamu dihukum karena perbuatanmu.”gertak Pak Koko. Aku menunduk. Ingin rasanya aku menangis saat itu juga. Langkah kakiku terasa berat menuju ruang kepsek.
            “Assalamualaikum..”ucap kami berdua saat memasuki ruangan. “Waalaikumsalam.. Pak Koko, ada apa ini?”balas Pak Yadi, kepala sekolahku. Pak Koko menjelaskan, “Dia Pak, Rita, lagi-lagi datang terlambat ke sekolah. Ini sudah kesekian kalinya. Buku pelanggaran siswa penuh dengan namanya.”. Beliau memberikan buku pelanggaran itu kepada Pak Yadi. Halaman demi halaman dilihatnya satu persatu. Benar, nama yang mendominasi adalah ‘Flarita Dian Asista’, yaitu namaku. Aku menatap Pak Yadi dengan penuh rasa malu.
            “Baiklah Pak Koko. Terima kasih.”ucap Pak Yadi. Pak Koko keluar dari ruangan itu dan meninggalkanku. Kini, hanya aku dan Pak Yadi yang berada di situ. Pak Yadi mempersilahkan aku untuk duduk. “Flarita, tolong jelaskan ke Pak Yadi, mengapa kamu sering terlambat seperti ini. Ini bukan yang pertama kalinya kamu terlambat.”kata Pak Yadi. “Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, saya membantu ibu saya menggoreng krupuk udang, Pak.”jawabku. Seketika suaraku pelan sekali, jauh berbeda dengan suaraku yang biasanya. Padahal, di kelas aku jago berteriak. Pak Yadi melanjutkan, “Lho, memangnya tidak ada pembantu yang membantu ibumu bekerja? Lalu, ayah kamu?”. Aku menunduk. Setiap ditanya soal ayah, aku selalu tak kuat menahan tangis. “Kami tak bisa menggaji pembantu, Pak. Ayah sudah meninggal sejak saya masih kelas satu SD. Saya hanya tinggal bertiga dengan ibu dan Fiara, adik saya yang berumur sepuluh tahun.”jawabku.
            Pak Yadi tampak prihatin mendengar jawabanku. “Saya turut prihatin dengan keadaan keluargamu. Begini, saya akan carikan pembantu untuk ibumu. Urusan gaji, biar saya yang menanggung. Jadi, kamu bisa datang tepat waktu ke sekolah, karena ibumu sudah ada yang membantu. Bagaimana? Apakah kamu mau?”ucap Pak Yadi. Aku terkaget mendengar ucapan Pak Yadi barusan. Senang bercampur haru kurasakan dalam hati. Tentunya, aku sangat senang karena ibu ada yang membantu. “Saya mau, Pak. Terima kasih ya Pak!”balasku riang. Air mataku menetes tiba-tiba, sebuah tangisan haru. Pak Yadi mengangguk. “Sekarang, kamu kembali ke kelas. Pelajaran sudah dimulai sejak tadi.”perintah beliau. Aku menyetujuinya, dan berjalan meninggalkan ruangan itu.
            Sejak saat itu, aku tak pernah datang terlambat lagi. Kini, buku pelanggaran siswa tidak memuat namaku. Tetapi, namaku termuat di buku prestasi siswa. Aku sering memenangkan lomba karawitan bersama teman-teman lain di luar sekolah. Kedudukanku di ekskul itu ialah sebagai penyanyi, atau pesinden. Aku memang suka menyanyi sejak umur 6 tahun. Sebenarnya, aku ingin sekali mengembangkan bakatku, dengan mengikuti les vokal. Namun apa daya, tak ada biaya untuk itu. Aku lebih cocok jika menyanyikan tembang Jawa. Pernah, saat ada tes ekskul paduan suara, aku mengikutinya. Tetapi, cukup sampai disitu, aku tidak lulus tes karena suaraku dirasa aneh untuk mengikuti ekskul padus. Justru, aku disarankan untuk ikut ekskul karawitan. Alhasil, prestasi pun bisa kuraih. Setidaknya, bisa kugunakan untuk bekal mendaftar SMA tahun depan.
            Suatu hari, ada tugas kelompok dari sekolah. Aku satu kelompok dengan Amanda, Zahra, dan Alifa. Setelah pulang sekolah, kami berniat untuk mengerjakannya di rumah Zahra. Aku ingin sekali-kali tugas kelompok dikerjakan di rumahku. Namun, kurasa tak mungkin karena tempatnya yang sempit, kecil, dan bau udang. Maklum, setiap hari kan produksi krupuk udang.
            Beberapa jam lamanya, kami serius merundingkan tugas. Dan akhirnya, selesai juga. Zahra mengajak kami untuk ke kamarnya, melihat televisi bersama. Keripik kentang dan jus jeruk menjadi santapan kami saat itu. Mungkin bagi mereka, makanan seperti itu sudah biasa. Tetapi bagiku, makanan seperti itu sangat istimewa. Makan tempe dan minum air putih saja sudah bagus buatku.
            Setelah memilih-milih stasiun televisi, akhirnya kami tertarik pada liputan acara musik yang sedang berlangsung di Jakarta. Penyanyi-penyanyi solo maupun grup girlband boyband menampilkan lagunya masing-masing. Ada juga yang berduet dengan menyanyikan sebuah lagu. Banyak fans yang mengulurkan tangannya agar bisa menyalami idolanya. Sepertinya seru ya jadi orang yang terkenal. Punya banyak fans, tampil di televisi, diidolakan banyak orang. Aku ingin bisa seperti itu. Jika kita punya impian, mengapa tidak diwujudkan? Segala masalah dapat terselesaikan jika niat kita kuat. Menjadi penyanyi terkenal adalah cita-citaku sejak kecil.
            “Rit, kamu kenapa? Kok melamun?”tanya Amanda sambil menepuk bahuku. Aku kaget, dan tak menyadari jika sedari tadi aku melamun. “Oh, umm,, tidak kok, Man! Aku tidak melamun, hanya membayangkan saja.”jawabku mencari alasan. “Aku kan sahabatmu, jadi aku tahu lah apa yang kamu pikirkan sekarang! Kamu pengen jadi penyanyi terkenal kan?”ucapnya begitu yakin. Aku mengangguk. Dalam hati, kapan ya aku bisa ke Jakarta buat jadi penyanyi? Sedangkan, aku hanya seorang anak yatim yang tinggal di kota kecil.
            Rupanya, Alifa mendengar obrolan kami. “Flar, tanpa kamu sadari, kamu sudah terkenal lho!”ucapnya tiba-tiba. Aku heran dengan ucapannya. “Kok bisa?”. “Setiap upacara, kamu sering kan dipanggil namanya sebagai penyaji terbaik karawitan? Adik kelas maupun kakak kelas, banyak yang mengenali kamu! Setidaknya, kamu sudah menjadi penyanyi di sekolah kan? Tak apa, itu awal baik buatmu!”jawabnya. Kini, aku mengerti ucapannya. “Tapi Fa, aku ingin jadi penyanyi solo, yang menyanyikan lagu ber-genre pop! Bukan tembang Jawa…”ucapku lesu. “Justru itu keunikan kamu! Banyak orang lain yang bisa menyanyi lagu pop, sedangkan pesinden? Jumlahnya sedikit sekali! Dan kamulah penerusnya, agar kebudayaan Jawa tidak punah!”balasnya menasehatiku. Seharusnya, aku bangga dengan suaraku. Kata orang, suaraku langka. Aku baru sadar, selama ini aku tidak pernah mensyukuri apa yang telah diberikan Allah kepadaku. Allah memberi jenis suara yang berbeda-beda setiap orang.
            “Kamu ingat waktu pentas seni kemarin? Saat ekskul karawitan tampil, semua terpukau dengan suaramu! Tepuk tangan dari mereka lebih ramai dibandingkan saat ekskul vocal grup atau paduan suara tampil!”tambah Zahra yang muncul tiba-tiba dari pintu kamar. Aku mengingatnya. Memang benar apa kata Zahra. Mereka semua memelukku, dan berjanji akan mendukungku.
            Sesampai di rumah, kubuka diaryku. Sebenarnya bukan buku diary, tetapi hanya sebuah buku tulis biasa yang kumanfaatkan sebagai buku harianku. Aku terpikir, untuk menulis impianku di buku itu. Ini dia isinya:
Harapan Tersembunyi : Tidak boleh ada seorang pun yang tahu sebelum aku berhasil menggapai semuanya…
  1. Ekskul karawitan bisa berprestasi hingga tingkat nasional
  2. Memperkenalkan budaya Jawa Timur lebih jauh kepada para pelajar
  3. Berlatih vocal dan tari
  4. Menjadi terkenal karena…. (belum direncanakan)
  5. Lulus SMP dan diterima di SMA favorit

Flarita Dian Asista
Kusimpan buku itu di lemari, karena kurasa aman. Kunci lemari selalu kubawa, tak mungkin ada seorang pun yang bisa membukanya.
            Sore pun kini berganti malam. Aku melihat Fiara yang tampak sibuk mengerjakan PR nya. Lalu aku menghampiri ibu yang sedang memasak di dapur. Aku berharap, ibu sedang memasak ayam goreng untuk makan malam ini. Namun ternyata, hanya sayur asem dengan lauk tahu goreng!
            Setelah makan malam, aku memilih masuk kamar, dan menyiapkan segala keperluan untuk sekolah besok. Entah mengapa, mataku terasa berat sekali. Aku mengantuk. Mungkin karena aku kelelahan mengerjakan tugas kelompok tadi. Aku tertidur malam itu.
            Keesokannya, seperti biasa, aku berangkat sekolah bersama Fiara. Hari ini hari Jum’at, sepulang sekolah nanti ada latihan ekskul karawitan. Mungkin aku akan pulang lebih siang dari biasanya. Tak lupa, aku meminta ijin kepada ibu terlebih dahulu.
            Siang itu, terik matahari menyorot kelasku, kelas yang menghadap barat. Kulihat jam dinding yang ada di kelas, waktu menunjukkan pukul 14.00. Pelajaran telah usai. Teman-temanku keluar kelas dan menuju pintu gerbang sekolah, kecuali aku. Aku menuruni tangga sekolah dan bergegas menuju ruang karawitan.
            “Flarita, ada kabar gembira untuk ekskul karawitan kita!”ucap Bu Tatik, pembina ekskul, setelah mengetahui kedatanganku. “Kabar gembira apa bu?”tanyaku penasaran. “Lomba Karawitan tingkat Provinsi kemarin, kita mendapat peringkat pertama penyaji terbaik. Tiga minggu lagi, kita akan pergi ke Jakarta untuk mengikuti Final Lomba Karawitan tingkat Nasional mewakili Jawa Timur. Oleh karena itu, kita harus berlatih sebaik mungkin!”jawab Bu Tatik dengan raut muka senang. Aku mengangguk mengerti dan tersenyum. Kegiatan ekskul pun dimulai. Kali ini tak seperti biasanya, kami berunding memilih tembang untuk lomba. Dan akhirnya, kita berencana untuk menggabungkan tembang Maskumambang dengan Campursari.
            Aku menceritakan kembali ucapan Bu Tatik kepada ibu dan Fiara. Nampaknya, mereka senang mendengar berita itu. Pergi ke Jakarta adalah impianku sejak kecil. Aku ingin melihat ramainya ibukota negara. Seandainya saja, aku bisa melihat Monas secara langsung, karena biasanya hanya bisa kulihat melalui layar televisi kuno di rumah.
            Banyak artis-artis nasional yang tinggal di Jakarta, dan tak satupun dari mereka yang tinggal di Sidoarjo. Kata orang, kalau mau jadi artis terkenal, harus pergi dulu ke Jakarta. Memangnya, seperti apa sih Jakarta itu?
            Tiga minggu kemudian… Hari ini tanggal 18 September 2013. Aku berangkat ke sekolah membawa tas yang penuh dengan pakaian dan beberapa obat-obatan. Untungnya, aku tak telat sampai di sekolah. Bu Tatik menyuruh anak-anak ekskul karawitan untuk berkumpul di halaman sekolah, karena bis akan segera berangkat. Kami izin tidak masuk sekolah kira-kira selama satu atau dua minggu kedepan.
            Bis melaju cepat menuju Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur. Karena kami akan menginap semalam di Surabaya terlebih dahulu. Bertemu dengan Bapak Gubernur, terasa menyenangkan sekali. Beliau memberi kami semangat dan sedikit oleh-oleh kecil. Kata beliau, itu sebagai hadiah karena kami berhasil mewakili Jawa Timur ke tingkat Nasional.
            Keesokan harinya, kami meninggalkan penginapan dan bergegas menuju bandara. Hmm,, ini pertama kalinya aku pergi ke bandara dan menaiki pesawat terbang! Kota Jakarta yang letaknya jauh dari Surabaya, bisa ditempuh oleh pesawat hanya dalam waktu beberapa jam saja. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi kami.
            Lomba dilaksanakan sehari setelah kami sampai di Jakarta. Ternyata, Jakarta tak beda jauh dengan Sidoarjo. Malah, menurutku aku lebih nyaman di Sidoarjo, karena kotanya tenang dan tak banyak kendaraan membisingkan. Jakarta juga banjir, apa bedanya dengan Sidoarjo? Memang kuakui, Jakarta itu ibukota negara dan wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan Sidoarjo. Jakarta juga banyak tempat-tempat wisata buatan yang bagus dan monumen bersejarah, tidak seperti Sidoarjo. Mmm,, mungkin itu kelebihannya!
            Akhirnya, lomba berlangsung meriah di Lapangan Dinas Pariwasata dan Kebudayaan Kota Jakarta. Para finalis dari setiap provinsi menyajikan sebuah tembang pilihannya. Kami mendapat nomor urut tampilan ke-14. Kami berusaha semaksimal mungkin. Tepuk tangan meriah pun berhasil kami dapatkan. Aku melantunkannya tanpa ada rasa ragu. Aku harus bisa meraih prestasi kali ini, untuk memenuhi poin pertama dalam ‘Lima Harapan Tersembunyi’.
            Pengumuman pemenang. Juara Harapan Tiga jatuh pada provinsi Kalimantan Selatan. Juara Harapan Dua diraih oleh provinsi Sumatera Utara. Juara Harapan Satu jatuh pada provinsi Jawa Tengah. Juara tiga diraih oleh provinsi Bali. Juara dua diraih oleh provinsi Nusa Tenggara Timur. Baiklah, harapannya juara satu atau tidak menjadi pemenang. Dan ternyata.. Juara satu jatuh pada provinsi Jawa Timur! Aku sebagai pesinden mewakili teman-temanku untuk maju ke atas panggung dan menerima penghargaan. Keberhasilan ini tak lepas dari kerja keras kami selama ini. Akhirnya, poin pertama dalam buku harian berhasil aku centang dengan rasa bangga.
            Berusaha mencapai poin kedua.. Itulah misiku saat ini. Aku mengambil salah satu majalah remaja yang berjajar rapi di perpustakaan sekolah. Sudah pasti, itu majalah edisi terbaru. Halaman demi halaman kubuka. Jika ada artikel yang menarik, barulah aku membacanya. Aku tertarik pada salah satu halaman majalah. Disitu tertulis ‘SYARAT PENULISAN TEKNIS MENGIRIM ARTIKEL’. Tanpa basa-basi, aku mengambil majalah itu dan kupinjam untuk satu minggu.
            Sepertinya media cetak juga berpengaruh besar, karena pembacanya adalah para pelajar seumuran aku. Syukurlah, majalah itu tak menuntut penulisnya untuk mengetik tulisannya dengan komputer, karena.. meskipun aku sudah kelas 3 SMP, aku belum memiliki komputer ataupun laptop. Mungkin dibandingkan pelajar lain, aku ini gaptek (gagap teknologi), atau ketinggalan jaman. Kulihat teman-temanku, mereka tak hanya memiliki laptop atau komputer, bahkan tablet, Ipad, I-phone, atau apalah itu namanya. Sedangkan aku? Telepon genggam saja tidak punya…
            Aku menulis kata demi kata pada selembar kertas folio. Artikel yang kubuat cukup pendek, tapi isinya penuh makna. Artikel itu berjudul ‘PESONA PELANGI JAWA TIMUR’. Isinya yaitu memperkenalkan budaya Jawa Timur kepada para pelajar. Agar mereka tahu, kalau sebenarnya daerah kita itu kaya akan ragam budaya. Contohnya Reog Ponorogo, Tari Gandrung Banyuwangi, Pertunjukan Ludruk, dan lain-lain. Lagu-lagu daerah yang berasal dari Jawa Timur pun tak sedikit jumlahnya. Kita sebagai penerus, mengapa tidak dilestarikan? Lagu-lagu daerah kini jarang sekali dinyanyikan. Para pelajar lebih memilih untuk mendengarkan lagu Korea, lagu Barat, lagu tentang percintaan dibandingkan lagu daerah. Tarian pula! Banyak pelajar yang berlatih dance, sedangkan sanggar tari tradisional kini semakin sepi peminatnya. Aku berusaha mengajak para pelajar lain untuk mengenal dan mencintai budayanya. Agar budaya Jawa tidak semakin luntur.
            Setelah dimasukkan amplop, aku mengirimnya lewat pos. Dua minggu berlalu. Setiap hari Kamis, kusempatkan sedikit waktu untuk melihat-lihat majalah mingguan tersebut. Dan.. Alhamdulillah! Artikelku dimuat karena isinya menarik. Keesokannya, aku mendapat surat pemberitahuan dari pihak majalah atas pemuatan artikelku. Baru pertama kali ini aku mendapat honor dari pemuatan tulisanku sendiri.
            Aku memecah celengan ayamku. Kuhitung jumlah uang yang ada di dalamnya. Uang itu kudapatkan dari hadiah Lomba Karawitan kemarin, tabungan uang saku sehari-hari, dan honor atas pemuatan artikel. Ternyata jumlahnya cukup untuk mendaftar les vokal dan sanggar tari. Aku ingin berlatih menyanyi dan menari sejak kecil. Dan baru terwujud di tahun 2013 ini. Syukurlah! Tak kusadari, poin ketiga terlewati. Kini melaju ke poin nomer 4. Kurasa itu sedikit susah. Namun, aku yakin pasti bisa melewatinya.
            Mengejar poin keempat… Aku melakukan aktivitas rutinku seperti biasanya. Sekolah, membantu ibu, bermain bersama Fiara, memasak untuk keluarga, Sholat 5 waktu, dan lain-lain. Sampai akhirnya… satu bulan  pun terlewati. Belum ada tanda-tanda poin keempat akan berhasil. Sedangkan, tiga bulan lagi aku sudah lulus SMP. Itu tandanya poin keempat tidak terlaksana dan meloncat ke poin lima. Aku harus konsentrasi untuk menghadapi Ujian Nasional SMP yang sudah dekat.
            Suatu hari di sekolah… Aku melihat sekolah tampak ramai sekali. Kurasa mereka akan mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolahku. Maklumlah, ini kan mendekati tahun ajaran baru. Namun, mengapa mereka mengenakan baju yang sama? Seperti, seragam berwarna hitam yang sering kulihat di televisi. Biasanya, mereka yang mengenakan adalah kru stasiun televisi.
            Aku berjalan menuju kelasku yang berada di lantai dua. Teman-teman menyambutku gembira. “Rita, selamat ya! Kamu sekarang sudah menjadi artis. Banyak orang yang membicarakanmu. Mereka kagum terhadapmu, selain menjadi pesinden, rupanya kamu juga seorang penulis artikel. Bu Tatik bangga sekali sama murid ibu ini!”ucap Bu Tatik. Lho, ternyata Bu Tatik juga ada di kelasku? Tetapi sepertinya aku tidak melihatnya tadi. “Terima kasih bu! Lalu, mengapa mereka ada di depan kelas kita?”tanyaku seraya menunjuk para kru televisi. “Katanya, mereka ingin mewawancarai kamu, Flar!”jawab Alifa. Hmm,, pengalaman pertamaku diwawancarai seperti ini.
            Ternyata wawancara hari ini masuk televisi! Aku tak mengira, semua stasiun televisi membicarakan diriku. Aku terkenal? Ini bagaikan mimpi! Banyak tawaran untuk menyinden, menyanyi, membintangi iklan produk, bahkan tawaran main film. Tentunya aku harus pandai membagi waktu antara sekolah dan pekerjaan. Aku tak lupa terhadap ketiga sahabatku, keluargaku, guruku, yang selalu mendukung aku untuk semangat. Aku sadar, karena kebudayaan Jawa lah aku bisa terkenal. Tak perlu aku mengharapkan untuk menjadi seorang penyanyi Pop. Menjadi pesinden ternyata juga bisa terkenal, bahkan keliling dunia!
            Inilah puncaknya! Setelah keempat poin berhasil aku capai, kini hanya tersisa satu poin terakhir. Sampai sekarang, kurasa rahasia itu masih aman, belum ada seorangpun yang tahu tentang buku harianku.
            Aku menghadapi Ujian Nasional SMP, yang berlangsung selama 4 hari. Pelajaran yang diujikan ialah Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, dan Bahasa Inggris. Aku bersyukur karena pelajaran IPS tidak diujikan. Maklumlah, aku kurang menguasai pelajaran IPS dan aku sedikit tidak menyukainya.
            Setelah menyelesaikan ujian, kini tinggal menunggu pengumuman hasilnya. Tiga minggu kemudian, daftar nilai hasil UN terpampang di mading sekolah. Semua anak berebut tempat agar dapat melihatnya dengan jelas. Aku malah santai dan sabar menunggu hingga sepi. Toh, lihat sekarang sama lihat nanti sama saja nilainya, tidak akan bertambah atau berkurang!
            Sedikit demi sedikit anak-anak bubar dan kembali ke kelasnya. Sekarang aku bisa leluasa mencari namaku di tabel. Aku tak melihat namaku di halaman kedua maupun halaman ketiga. Mungkinkah namaku berada di halaman pertama? Berarti, nilaiku cukup tinggi.
            Aku melihat dari bawah ke atas. Ternyata, namaku berada di nomor urut satu, dengan nilai UN tertinggi di sekolah. Total nilai 39,70. Matematika 10,00. Bahasa Indonesia 10,00. IPA 10,00. Dan Bahasa Inggris 9,70. Aku tak menyangka bisa meraih nilai setinggi itu. Mendekati sempurna malah! Semua guru memberi selamat atas prestasiku. Anak yang sering datang terlambat, ternyata juga bisa berprestasi!
            Bu Tatik mendekatiku. “Flarita, ada sekolah berbeasiswa yang meminta kamu untuk sekolah disana. Letaknya di Jakarta. Sekolah bertaraf Internasional tepatnya. Biaya sekolahmu akan ditanggung sepenuhnya oleh sekolah. Bagaimana? Itu sekolah bagus lho! Sayang jika dilewatkan begitu saja tawaran ini. Kamu mau kan?”tanya Bu Tatik. Sekolah favorit dan berbeasiswa! “Iya bu, saya mau! Jadi, tidak memberatkan orang tua kan bu?”balasku riang. Bu Tatik menjawab, “Tidak. Kamu nanti akan tinggal di asrama sekolah. Kalau kamu mau, ibu dan adikmu juga bisa diajak kesana! Untuk tempat tinggal, mereka bisa mencari kontrakan atau kos-kosan rumah.”. Aku menyetujuinya.

            Poin kelima terpenuhi. Akhirnya, harapan tersembunyi itu bisa terlaksana semuanya. Memang, jika kita punya mimpi, maka kita harus berusaha mencapai mimpi itu. Awalnya aku mengira, menjadi seseorang yang terkenal itu harus bisa menyanyi dan akting. Ternyata tidak semuanya begitu. Apapun bakat yang kita miliki, kita harus pandai mengasahnya. Tak perlu kita beralih ke bakat lain yang belum tentu kita punya. Jadilah dirimu sendiri! Be your self!

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment