~~~ Welcome to my blog! And don't forget to visit again ^^ Arigato! ありがとう ~~~
Welcome to Chovanila Zone Blog! Please leave a chat or comment :)
RSS

Friday 1 August 2014

Amnesia - Kado Terindah

             Esok. Aku tak tahu harus senang atau sedih. Waktu terus berjalan, dan aku tak mampu menghentikannya. Kumasukkan beberapa pakaian ke dalam tas ransel. Perjalanan dari Tulungmegung ke Sidopono sekitar 15 jam kata Kakek Alif. Dan harus menyeberang sebuah selat, karena kedua kota itu berbeda pulau letaknya.
            “Farah.”panggil Safira seraya menghampiriku yang berada di kamar. Ia terkadang masih memanggilku Farah, namun kadang juga memanggilku Friska. “Iya, Saf. Ada apa?”tanyaku. “Kakek memintaku, agar aku dan Kakek bisa ikut mengantarmu dan Nino ke pelabuhan. Boleh kan?”pintanya. Aku mengangguk, dan melanjutkan berkemas-kemasku.
-o-
            Perpisahanku dengan mereka semakin dekat. Kalimat itu selalu terbayang di pikiranku. Hari ini, 23 Januari 2015. Hari yang menyaksikan perpisahanku dengan mereka, dan menjadi tanggal yang akan kucatat di memoriku.
            Aku berdiri di depan kaca almari kamar. Terlihat sederhana sekali. Dengan bawahan celana panjang hitam dan atasan baju lengan panjang putih polkadot merah muda. Seperti biasa, rambut panjang sepinggang itu tetap kuurai. Entahlah, aku enggan menguncirnya. Aku hanya menjepit rambutku dengan jepit berwarna merah yang kubeli di sekolah itu. Tiba-tiba, Safira ikut berdiri di sebelahku. Rambutnya terurai juga, namun panjangnya masih kalah dengan rambutku. Memakai atasan yang sama persis dengan yang kupakai. Namun bawahannya berbeda. Ia memakai celana panjang putih.
            Aku merasa muka kami berdua ada kemiripan. “Saf, aku merasa kita mirip.”ucapku memulai pembicaraan. “Aku pun begitu. Meskipun tak terlalu mirip, namun setidaknya ada kemiripan. Mungkin bentuk muka dan mata kita terlihat agak mirip.”balasnya. Kuamati lagi lekat-lekat. Mirip! Benar kata Safira, bentuk muka dan mata yang seolah-olah membuat kami mirip.  Meskipun selisih umur kami 3 tahun, namun tak terlalu kelihatan perbedaan diantara kami. Tinggi badan kami hampir sama. Begitu pun dengan postur tubuh.
            Tiba-tiba Kakek Alif memanggil kami. “Farah, Safira, ada nak Nino! Cepatlah keluar dari kamar.”. Kami menghentikan pembicaraan, dan menyusul Kakek Alif di ruang tamu. “Pagi Friska, Safira!”sapa Nino ramah. “Pagi juga, No.”balasku tersenyum. “Pagi juga Nino.”tambah Safira. “Nino, Safira dan Kakek Alif ikut mengantar kita ke pelabuhan. Boleh kan?”tanyaku kepada Nino. “Tentu. Baiklah, ayo kita berangkat! Kapal penyeberangan tak selalu ada setiap waktu.”balasnya.
            Seketika aku ingat Bu April. Dan aku ingin berpamitan kepada beliau. Beliau orang yang baik dan penyayang. Aku pun segera berlari menuju rumahnya.
            “Assalamualaikum...”ucapku sambil mengetuk pintu. “Waalaikumsalam…”jawab Bu April dari dalam rumah sambil membukakan pintu. “Eh nak Farah, silahkan masuk. Cantik sekali, mau kemana?”tambah Bu April. “Terima kasih, Bu. Tapi, saya tidak punya banyak waktu.  Saya hanya ingin berpamitan kepada Bu April, karena saya harus pulang ke Sidopono. Saya ingin mengucapkan terima kasih, selama ini Bu April selalu bersikap baik kepada saya.”ucapku yang masih menggendong tas ransel di punggung. “Sama-sama, nak. Ibu juga meminta maaf kalau ada perbuatan atau perkataan ibu selama ini yang tidak berkenan di hati nak Farah. Bu April senang sekali, bisa berkenalan dengan gadis yang ramah dan cantik sepertimu. Jika ada waktu, jangan lupa untuk berkunjung kesini ya. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untuk nak Farah.”balas Bu April seraya memelukku. Setelah itu, aku segera kembali ke rumah, karena yang lain sudah menunggu.
            Kami berempat menuju pelabuhan naik angkot hijau. Letak pelabuhan agak jauh memang. Setelah sampai, kami pun turun dan berjalan menuju loket pembelian tiket kapal. Ternyata cukup banyak calon penumpang yang tujuannya ke Pulau Nile. Perlu diketahui, kota Sidopono terletak di Pulau Nile, sedangkan kota Tulungmegung terletak di Pulau Klora.
            “Friska, aku saja yang mengantri untuk membeli tiket. Aku tak mau kau berdiri lama.”ucap Nino. Aku tersenyum, dia sungguh perhatian. Aku mencari tempat duduk yang tak jauh dari situ. Alhasil, aku duduk di sebelah Safira dan Kakek Alif.
            Tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku, “Friska!”. Aku menoleh, mencari sumber suara. Suara itu sepertinya tak asing bagiku. Suara lelaki, dan yang pasti itu bukan suara Nino. “Friska!”. Terdengar lagi, dan kali ini semakin dekat. Ternyata suara… Kak Nugi! Lama tidak bertemu dengannya.
            “Kak Nugi!”seruku. “Apa kabar, kak? Kenapa waktu itu pindah dari SMPN 1 Tulungmegung?”tambahku. “Kabar kakak baik kok. Kakak pindah waktu itu karena ada urusan penting di luar kota, yaitu kota Sidopono.”jawabnya. “Berarti, kakak dari kota Sidopono?”tanyaku kaget. Ia mengangguk. “Kau Nino kan, sahabat Friska waktu kecil?”tanya Kak Nugi sambil melihat ke arah Nino. “Iya, kak. Sudah lebih dari delapan tahun ya kita nggak ketemu, kak!”balas Nino. Karena Kak Nugi dulu itu tetanggaku, jadi jelas kenal lah dengan Nino, teman bermainku sejak kecil.
            “Fris, ada yang ingin kakak sampaikan.”ucap Kak Nugi. “Silahkan. Ada apa?”tanyaku. “Kakak mohon, kamu, Nino, Safira, dan kakek pergi ke taman kota sekarang juga. Ini lebih penting daripada kalian berangkat ke Sidopono. Kakak yakin, kalian akan menemukan seseorang disana. Percayalah, kalian tidak akan menyesal jika melakukannya.”jawab Kak Nugi. Aku menatapnya, kali ini sepertinya Kak Nugi serius. Seseorang? Apakah dia orang yang penting, sampai kami harus mengorbankan ini semua?
            “Apa kau akan melakukannya, Friska?”bisik Nino kepadaku. Aku mengangguk. “Baiklah, aku percaya dengan Kak Nugi. Aku akan melakukannya.”jawabku yakin. Setelah berbicara seperti itu, Kak Nugi pun berlalu meninggalkan kami. Safira ingin mengejarnya, dan bertanya lebih jelasnya. Namun aku mencegah, sepertinya Kak Nugi tak menginginkan kami bertanya terlalu banyak.
            Alhasil, kami berempat pergi menuju taman kota. Letak taman kota atau biasa disebut alun-alun itu tak jauh dari sekolahku malah. Jika dari pelabuhan, tentunya sangat jauh. Aku penasaran, tentang ucapan Kak Nugi itu. Ingin rasanya, aku segera menemui ‘seseorang’ yang dimaksud.
            Kami turun dari angkot. Masih dengan tas ransel yang cukup berat menumpang di bahuku. Aku dan Safira berjalan di depan, sedangkan Nino menemani Kakek Alif berjalan di belakang. Aku menaiki tangga, dan berusaha untuk berjalan ke tengah taman agar lebih mudah mencarinya.
            Samar-samar, aku melihat seorang lelaki dan seorang wanita sedang duduk di kursi, depan monumen alun-alun yang berada di tengah taman. Ada juga seorang anak perempuan. Kami berjalan mendekatinya. Dan kurasa… Aku mengenal mereka!
            “Bunda!”teriakku memanggil dan berlari ke wanita itu. Beliau menoleh. Aku langsung memeluknya. Tak salah lagi, ini bunda. “Bunda, Friska rindu bunda.”ucapku seraya menangis dalam pelukannya. “Selama satu tahun bunda khawatir terhadapmu, Friska. Kamu menghilang tanpa kabar sejak kecelakaan bis waktu itu.”balas Bunda ikut menangis. “Nak Dewi? Kau anakku.”ucap Kakek Alif tiba-tiba. “Bapak? Alhamdulillah, Pak. Kita dipertemukan lagi! Maafkan Dewi, tak bisa menjaga bapak selama puluhan tahun ini.”jawab Bunda sambil memeluk Kakek Alif. Seketika aku bingung. Jadi Kakek Alif itu, kakekku?
            “Ayah, bunda!”seru Safira sambil memeluk ayah. “Kenapa ayah meninggalkan aku, saat aku masih berumur tiga tahun?”tanyanya sambil menatap ayah. “Musibah itulah yang memisahkan kita, nak. Maafkan ayah, masa kecilmu berlalu tanpa sosok orang tua. Kau hanya tinggal bersama kakekmu. Ayah merasa bersalah kepadamu, nak.”jawab ayah. Aku semakin bingung. Apa maksudnya ini?
            “Friska, Diana, kalian pasti belum tahu siapa sebenarnya Safira dan Kakek Alif ini? Mari ayah ceritakan yang sebenarnya dari awal.”kata ayah sambil berjalan menuju pendopo alun-alun. Aku menggandeng tangan Diana, adikku.
            Kami pun duduk. Ayah mulai bercerita. “Kakek Alif ini kakek dari kalian bertiga anakku, Safira, Friska, dan Diana. Dan Safira ialah kakak kalian berdua, Friska dan Diana. Mungkin Safira masih ingat semua kejadiannya. Jadi, waktu Safira masih berumur tiga tahun, dan Friska masih bayi, terjadi gempa bumi di kota Sidopono. Waktu itu, kami sekeluarga pergi ke luar kota untuk menghadiri acara, kecuali Safira dan kakek Alif yang tidak ikut dan menjaga rumah. Itu karena, Safira sakit cacar, dan kakek Alif yang menjaganya. Saat terjadi gempa bumi, ayah dan bunda sangat khawatir terhadap kalian. Karena kalianlah yang berada di rumah saat itu. Ternyata saat kami bertiga pulang, rumah sudah hancur. Kami tak tahu, keberadaan Safira dan kakek Alif sejak itu. Tapi kami yakin, kalau kalian berdua masih hidup. Akhirnya, kami tinggal bertiga di rumah yang baru. Dan, baru lahir Diana tiga tahun kemudian setelah kejadian itu. Jadi, mungkin Friska dan Diana tak mengira kalau kalian mempunyai seorang kakak perempuan. Maafkan ayah, tak pernah menceritakan hal ini sebelumnya ke kalian, terutama ke kamu, Friska.”. Aku mengangguk, dan berkata, “Tak apa, yah. Friska senang, akhirnya keluarga kita utuh kembali. Friska juga beruntung, diselamatkan oleh Safira dan Kakek Alif, yang ternyata mereka adalah keluargaku.”.
            “Kalian mau pulang ke Sidopono ya, Friska dan Nino?”tanya bunda tiba-tiba. Kami berdua mengangguk. “Baiklah. Besok kita kembali bersama ke kota Sidopono. Tentunya, bersama Safira dan kakek Alif juga.”tambah bunda. Aku tersenyum kepada Safira dan Nino. Dan mulai sekarang, aku harus memanggil Safira dengan tambahan ‘Kak’, ‘Kak Safira’!
            Tiba-tiba ada seseorang bertepuk tangan menghampiri kami. Dan itu… Kak Nugi! Sejak kapan ia ada disini? Muncul darimana coba? “Nak Nugi inilah, yang memberitahu bunda kalau Friska tinggal di Tulungmegung. Oleh karena itu, bunda jadi tahu keberadaanmu.”ucap bunda. “Terima kasih, Kak. Mungkin kalau waktu itu tidak bertemu kakak, aku tak bisa bertemu bunda hari ini.”kataku seraya tersenyum ke Kak Nugi. “Sama-sama. Kakak senang sekali, akhirnya kalian bisa bertemu orang tua kalian, Friska, Safira!”balas Kak Nugi.
            “Ada satu hal yang kau lupakan, Friska. Aku ingin mengucapkan sesuatu.”ucap Nino seraya menatapku. Aku hanya diam. “Selamat ulang tahun yang ke-13, Friska!”serunya. Aku masih bengong. 23 Januari? Ya ampun, aku baru ingat kalau ini hari ulang tahunku! “Umm,, terima kasih, Nino. Sungguh, aku tidak ingat kalau ini hari ulang tahunku! Mungkin aku terlalu sibuk memikirkan pulang hari ini.”balasku. Ia tersenyum, dan berkata, “Maaf, tak bisa memberimu apa-apa tahun ini.”tambahnya. Aku mengangguk, seolah tak mempermasalahkannya. “Kami sengaja datang ke sini hari ini, tepat di hari ulang tahun Kak Friska, agar kakak bisa merasakan kado terindah dari kami selama hidup kakak.”ucap Diana. “Terima kasih, ayah, bunda, dan Diana. Kado terindah ini, akan selalu kuingat selamanya, dimana aku dipertemukan dengan keluargaku, untuk yang pertama kalinya setelah aku mengalami amnesia.”balasku sambil menangis haru.
            Hari ini, aku banyak mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang kusayangi. Terima kasih ayah dan bunda, atas pengorbanannya bertemu denganku. Terima kasih Kak Safira, telah menjadi penyelamat dan teman disaat aku membutuhkan. Terima kasih Diana, atas kasih sayangmu selama ini kepada kakakmu. Terima kasih kakek Alif, telah menganggapku sebagai cucu saat aku amnesia, dan cucu untuk selamanya. Terima kasih Kak Nugi, telah menjadi penghubung antara aku dan keluargaku. Dan satu lagi, terima kasih Nino, telah menjadi sahabat terbaikku sejak kecil, selalu ada untukku, dan selalu melindungiku seperti kakakku sendiri.

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment