Aku membolak-balik halaman
kalender. Sekarang tanggal 28 November. Itu berarti, dua hari lagi lomba
diselenggarakan. Dan besok, aku berangkat dari sekolah menuju kota Makalung.
Aih, senangnya! Hal yang kutunggu-tunggu sejak tiga minggu yang lalu.
“Farah! Kau terlalu lama memandangi kalender! Ayo cepat,
aku sudah siap. Kau belum memakai sepatu!”ucap Safira dengan nada agak keras.
Aku menutup kalender itu, dan mengambil sepatu kemudian memakainya. Lalu aku
berlari menyusul Safira dan kakek Alif di teras. Setelah berpamitan, kami
berangkat. Langit terlihat cerah, jadi kami tak perlu khawatir kehujanan
seperti waktu itu.
Saat kami menaiki tangga, tiba-tiba Pak Risky
memanggilku. “Farah, Safira! Setelah ini kalian langsung ke ruang dua puluh
satu ya! Akan ada pengarahan untuk pemberangkatan lomba besok!”. Kami
mengangguk.
Setelah meletakkan tas di bangku, kami segera menuju
ruang 21. Kak Aria, Bu Jasmine, Pak Risky, dan Kak Taufan telah menunggu kami
disana. Ya, aku dan Safira lah yang terakhir masuk dan telat bergabung.
“Langsung saja kita mulai. Untuk pemberangkatan lomba
besok, kalian berkumpul di ruang 19 sekitar jam 7 malam. Dari sekolah, kita
akan naik bis. Lama perjalanan sekitar 9 jam. Perlengkapan wajib yang harus
dibawa yaitu alat tulis, papan dada, seragam putih biru, sepatu hitam dan kaos
kaki putih, pakaian secukpnya, buku catatan ekskul, perlengkapan sholat, mandi,
dan obat-obatan. Untuk lomba melukis, peralatan lukis sudah disiapkan panitia,
jadi tak perlu membawa. Kita pulang esok paginya, dan menginap di penginapan
untuk semalam. Semua biaya ditanggung sekolah. Ada yang ditanyakan?”ucap Kak
Aria memberi penjelasan. Apa? Naik bis? Kalau memang harus naik bis, lebih baik
aku tidak ikut! Aku masih trauma karena tragedi kecelakaan bis waktu itu, yang
menghilangkan ingatanku sampai sekarang. Aku tak mau! Sungguh!
“Kak, apa tidak ada kendaraan lain selain bis? Saya
trauma. Jika tidak ada, lebih baik saya tidak ikut.”kataku sambil mengacungkan
tangan. Safira menoleh kearahku dan mengerti maksud ucapanku. “Eh, maaf. Maksud
kakak bukan bis, tapi mobil sekolah. Kau tak keberatan kan, Farah?”tanyanya
balik. Aku menggeleng. Lagipula, hanya untuk 6 peserta dan 4 orang pendamping,
kurasa terlalu berlebihan jika naik bis. Kalau mobil, mungkin aku tidak trauma.
Malamnya, aku dan Safira terlihat sibuk sekali menyiapkan
barang-barang yang harus dibawa besok. Kakek Alif heran melihat tingkah kedua
cucunya. Aku memeriksa kembali barang bawaanku di tas ransel yang biasa kupakai
sekolah itu. Sepertinya sudah lengkap! Aku melihat benda-benda yang ada di meja
kamar. Tanpa sengaja aku melihat sebuah dompet hangus yang kutemukan di lokasi
kecelakaan waktu itu. Masih lengkap berisi kartu pelajar dan uang sepuluh ribu
yang hangus. Entah mengapa, aku tertarik untuk membawa dompet ini. Walaupun
mungkin tak berguna dan hanya memenuhi tasku saja.
“Kau membawanya?”tanya Safira. Aku mengangguk. “Kau
berharap bisa menemukan orang itu disana?”tanyanya lagi. “Aku tak tahu. Jika
memang ditakdirkan untuk bertemu, pasti bertemu kok. Jika tidak, ya sudah. Aku
yakin, pemilik kartu pelajar ini masih hidup. Meskipun tidak ada bukti pasti
untuk itu.”jawabku.
-o-
Tak tahu mengapa, berat rasanya meninggalkan kakek Alif
sendiri, meskipun hanya 2 hari. Kakek berpesan, agar kami bisa menjaga diri
baik-baik disana. Setelah shalat Maghrib, kami segera berpamitan kepada kakek
Alif. Dengan tas ransel di punggung, kami berjalan beberapa meter untuk mencari
angkot menuju sekolah, karena tak mungkin kami bersepeda.
Setelah sampai di sekolah, kami segera menuju ruang 19.
Disana sudah ada 2 anak yang datang, kurang 2 anak lagi. Kak Taufan juga belum
datang nampaknya. Mobil sekolah telah menunggu kami di depan ruangan.
Hingga akhirnya pukul 19:46 (ini terlalu rinci), semua telah
berkumpul lengkap tak kurang satupun. Kami berangkat menaiki mobil sekolah, dan
Kak Taufan lah yang menyetir. Kami bercanda bersama, menebak apa yang akan
dilakukan disana, banyak sekali! Kata Kak Aria, perkiraan sampai di penginapan
pukul 5 pagi besok. Lomba dimulai pukul 8 pagi. Masih ada waktu untuk mandi
bukan? Untungnya, lokasi penginapan tak jauh dari lokasi lomba. Aku tertidur
lelap. Suara yang terakhir kudengar adalah obrolan antara Kak Taufan dan Pak
Risky.
Aku membuka mataku perlahan. Kulihat manusia di
sebelahku. Ternyata dia sudah bangun terlebih dulu dibanding yang lain. “Pagi,
Safira!”sapaku. “Pagi juga, Farah! Kau sudah bangun rupanya!”balasnya. Ia sibuk
merapikan rambut panjangnya yang berantakan karena terhembus angin dari jendela
mobil selama semalam. Sepertinya keadaan rambutku juga seperti itu. Lebih buruk
dari punya Safira malah! Hehehe…
Kak Taufan masih serius menyetir. Teman mengobrolnya, Pak
Risky, yang duduk di sebelah Kak Taufan, tertidur lelap. “Pagi Kak Taufan! Kak,
ini jam berapa? Sudah sampai kota mana?”tanyaku. “Pagi juga Farah! Sekitar jam
empat pagi. Sudah sampai kota Kuban, satu jam lagi sampai. Oh ya, kan sudah
terdengar adzan Subuh, kita mampir mushola dulu ya?”balasnya. Aku mengiyakan.
Setelah kami menemukan mushola, mobil terhenti. Bu
Jasmine, Kak Aria, dan empat anak lain terbangun dari tidurnya. Semua turun
dari mobil dan menunaikan sholat Subuh berjamaah.
Usai sholat, kami kembali ke mobil. Perjalanan
dilanjutkan.
Satu jam kemudian… langit hitam berganti biru. Mobil kami
berhenti di sebuah penginapan yang akan kami tempati nanti malam. Semua turun
dan mengambil tasnya masing-masing di bagasi. Kedatangan kami disambut dengan
gembira. Kami dipersilahkan untuk menaruh tas di kamar, mandi, dan sarapan.
Pemilik penginapan ramah sekali. Tak heran, jika kami akan betah tinggal
disini.
Tepat pukul 7 pagi, kami berangkat dari penginapan menuju
lokasi lomba. Tak henti-hentinya aku berdoa agar dimudahkan oleh Allah. Pelaksanaan
lomba di Gedung Balai Nusa Makalung, yang jaraknya mungkin hanya 100 meter dari
penginapan.
Kami turun dari mobil dan melihat sekeliling. Ramai
sekali! Gedung itu dipenuhi siswa-siswi SMP dari berbagai kota di Indonesia.
Aku tak bisa membayangkan, perjuanganku nanti melawan mereka.
“Selamat datang peserta lomba menulis dan melukis tingkat
nasional tahun dua ribu empat belas! Bagi peserta lomba menulis, silahkan masuk
ke ruang delapan belas. Dan peserta lomba melukis, ditunggu panitia di ruang
delapan segera. Lima belas menit lagi lomba akan dimulai!”terdengar
pemberitahuan dari pengeras suara. Aku dan Safira berpisah. Bu Jasmine dan Kak
Taufan menemani kami mencari ruangan yang dimaksud. Sedangkan peserta lomba
melukis ditemani oleh Kak Aria dan Pak Risky.
Kami menemukannya! Ternyata, ruang 18 itu masih
dibagi-bagi lagi dalam bentuk kelas. Ruang 18A penuh, 18B juga, hingga akhirnya
kami menemukan 3 kursi dan meja kosong di ruang 18K.
Teng… teng… teng… Bel tanda lomba dimulai telah berbunyi.
Seorang lelaki seumuran Kak Taufan, masuk ke ruangan kami. Ia membawa puluhan
kertas folio bergaris yang siap dibagikan kepada kami. Dan tema lomba kali ini
adalah… “Mempadukan Sikap Kepemimpinan dan Kreatif bagi Para Pelajar di
Nusantara”. Aku bingung, apa yang harus kutulis untuk tema sesulit ini. Aku
tidak menemukan ide cerita sama sekali! Oh tidak!
Sepuluh menit aku berpikir, belum mendapat ide juga.
Sedangkan peserta lain sudah asyik menulis di kertas folionya. Belum ada
satupun kata yang kutulis di kertasku. Entah, aku masih bingung. Tiba-tiba aku
terpikir untuk memulai menulis. Meskipun tak tahu yang akan aku tulis. Dan
jadilah, cerita yang sederhana, apa adanya, dan simple. Yang penting logis alias masuk akal.
Waktu lomba habis. Seluruh peserta keluar ruangan. Aku
tak menemukan Bu Jasmine dan Kak Taufan. Aku berniat menyusul Safira dan yang
lain di ruang 8. Namun, saat aku sampai, ruangan itu sudah kosong. Rasanya
ingin menangis, berpisah dari rombongan sekolah di tempat seramai ini. Seperti
anak hilang! Ya, begitulah yang kurasakan saat ini. Mataku mulai berkaca-kaca,
ternyata aku anak yang cengeng.
Tiba-tiba mataku melihat sesuatu. Ada benda terjatuh di
depanku. Sebuah sapu tangan. Benda itu jatuh dari kantong saku celana
pemiliknya. Sepertinya, sang pemilik tidak mengetahui jika sapu tangannya
jatuh.
Aku mengejar anak laki-laki itu. Dia seumuran denganku,
dan sepertinya peserta lomba melukis, bukan menulis. Aku menepuk bahunya.
“Maaf, ini milikmu?”tanyaku. Aku tak ingin dikira sok kenal, niatku kan baik.
“Iya, terima kasih! Kau menemukannya dimana?”tanyanya balik. “Tadi terjatuh di
depan ruang delapan.”jawabku sambil tersenyum. “Oh, sekali lagi terima kasih! Jika
dilihat, kau mirip sahabat SMP ku dulu. Boleh kutahu namamu?”ucapnya. Aku
menjawab, “Namaku Farah Azalia Maura. Panggil saja Farah. Kamu?”. “Namaku Nino,
Nino Alvian. Kau berasal dari kota mana? Aku Tulungmegung.”balasnya. “Sama!
Umm,, maaf, sepertinya aku masih harus mencari rombongan dari sekolahku. Aku
terpisah dari mereka! Senang berkenalan denganmu…”ucapku yang kemudian berlari
meninggalkan Nino. Mungkin dia membalas perkataanku, namun tak terdengar.
Ternyata keberadaan teman-temanku tak jauh dari situ. Aku
senang sekali, telah menemukan mereka. “Farah! Kami tadi bingung
mencarimu.”kata Pak Risky. “Maaf, Pak. Tadi saya juga bingung mau mencari
kemana.”jawabku. Safira berkata pelan kepadaku, “Kulihat tadi kau berbicara
dengan seorang anak laki-laki disana. Kau kenal?”. “Kenal karena tadi
berkenalan. Sebelumnya tidak, tapi entah mengapa aku merasa wajahnya familiar. Tadi saputangan miliknya
jatuh, ya sudah aku kembalikan. Namanya Nino. Dia berasal dari kota
Tulungmegung juga lho!”jawabku. Safira tersentak kaget, “Nino? Kau tak salah?
Jangan-jangan dia pemilik…..”. Aku baru ingat, jika pemilik dompet yang
kutemukan waktu itu namanya Nino, Revanditya Nino Alvian. “Dia pemilik dompet
hangus itu!”ucapku. “Pasti! Tak salah lagi! Dia temanku dulu. Tadi ia sempat
berkata kalau aku mirip sahabat SMP nya dulu! Safira, temani aku untuk
menemuinya!”ujarku yakin. Kami meminta izin ke Bu Jasmine dan Pak Risky untuk
menemui seseorang. Untungnya, kami diijinkan dan diberi waktu sampai sebelum
pengumuman.
Kami kembali ke tempat dimana aku dan Nino mengobrol
tadi. Namun sayang, dia dan rombongan sekolahnya sudah tidak berada di situ. Kami
mengelilingi gedung itu, mencari kemanapun, tapi tetap saja tidak ketemu.
Sampai akhirnya, terdengar pemberitahuan dari pengeras suara bahwa seluruh
peserta lomba menulis dan melukis harus segera berkumpul di ruang 1, karena
pengumuman akan segera dilaksanakan. Aku dan Safira langsung berlari menuju
ruang 1. Tentunya, kami bertemu Pak Risky, Kak Aria, Bu Jasmine, dan yang lain.
Mereka juga ingin menyaksikan pengumuman.
“Pemenang lomba melukis tingkat nasional dua ribu empat
belas… Juara tiga diraih oleh… Arman Hustafa dari SMP Cahaya Abadi Makalung!
Juara dua diraih oleh… Fitria Maulidya dari SMPN 3 Surakoa! Dan juara satu
dimenangkan oleh… Safira Dina Aulia dari SMPN 1 Tulungmegung! Selamat untuk
para pemenang, dan silahkan maju ke atas panggung!”. Suara tepuk tangan meriah
terdengar riuh sekali. Aku tersenyum kepada Safira, dia berhasil meraih juara 1
lomba melukis tingkat nasional! Safira tampak senang sekali, tidak disangka
dialah pemenangnya.
“Pemenang lomba menulis cerita tingkat nasional tahun dua
ribu empat belas… Juara tiga diraih oleh… Kimaru Ottonika dari SMP Cerdas
Harapan Mojokrawu! Juara dua diraih oleh… Farah Azalia Maura dari SMPN 1
Tulungmegung! Dan juara satu dimenangkan oleh… Alfira Diah Maharani dari SMPN 6
Palang! Selamat!”. Aku melonjak kegirangan! Juara 2! Aih, senangnya! Aku maju
ke atas panggung.
Tanpa sengaja, aku melihat Nino tersenyum kearahku. Ia
berdiri di pojok belakang ruangan, bergabung bersama teman-teman satu sekolahnya.
Tiba-tiba, kepalaku pusing sekali. Berat! Memori hitam putih saat tragedi
kecelakaan bis, saat sebelum berangkat wisata, sesingkat itu melintas di
pikiranku. Aku juga mengingat bagaimana persahabatanku dengan Nino dulu.
Adikku, kedua orang tuaku, aku mengingatnya. Tiba-tiba pandanganku buram, dan…
gelap! Sepertinya aku tak sadarkan diri. Suara terakhir yang kudengar adalah
suara Safira yang mengkhawatirkanku.
-o-
“Friska, kau sudah sadar?”. Aku membuka mataku perlahan.
Kepalaku masih terasa pusing. Aku menoleh ke arah suara. Ternyata Safira dan
Nino berada di sampingku. Dan itu suara Nino.
“Nino…”ucapku lirih. “Ingatanmu sudah kembali?”tanya
Safira. Aku mengangguk. “Tadi Safira bercerita kepadaku dari awal kalian
bertemu, sampai sekarang.”kata Nino. Aku menatapnya penuh arti, tak menyangka,
Allah mempertemukan aku dengan sahabatku ini, setelah mengujiku dengan amnesia
yang kualami. Tentunya aku senang, kedua sahabatku bisa seakrab ini. “Umm,,
Saf, Bu Jasmine, Pak Risky, sama yang lain kemana?”tanyaku. “Mereka menunggu di
depan.”jawab Safira. Dan anehnya, aku baru sadar kalau aku berada di rumah
sakit.
Mereka masuk ke ruangan. “Farah, kata dokter, jika
kepalamu sudah tidak pusing, kamu diijinkan pulang. Dan kita kembali ke
penginapan.”kata Bu Jasmine. “Tak apa, Bu. Kepala Farah sudah tidak pusing kok.
Kalau boleh, Farah ingin kembali ke penginapan segera. Tapi sebelumnya, izinkan
Farah untuk berbicara sebentar dengan teman Farah ya, Bu.”ucapku. Beliau
mengangguk. Semua keluar ruangan kecuali Nino, Safira, dan aku tentunya.
Aku ingin bertanya lebih lanjut, kenapa dia tidak kembali
ke Sidopono. Ternyata, Nino sama sepertiku. Kami tak mempunyai biaya untuk
kembali ke sana. Tak lupa, aku mengembalikan dompet hangus miliknya. Sekarang
dia bersekolah di SMPN 3 Tulungmegung. Sayang, kami tak satu sekolah. Tapi, aku
menyempatkan untuk bertanya alamat
dimana ia tinggal di Tulungmegung. Oh ya, aku juga menanyakan nasib
teman-teman kami waktu itu. Tapi, Nino juga tidak tahu pasti. Katanya, sebagian
besar sudah kembali ke keluarganya, dan bersekolah sehari-hari di Sidopono. Ada
juga yang dianggap menghilang, seperti aku dan Nino. Aku ingin kembali kesana,
pulang dan bertemu keluargaku. Setidaknya, uang tunai yang kudapatkan tadi bisa
untuk biaya transportasi kesana. Namun, aku juga tak dapat mengingkari janjiku
kepada Safira sebelumnya, untuk membuat komik setelah lomba tingkat nasional
selesai. Jadi, kami sepakat untuk kembali ke kota Sidopono setelah pembuatan
komik selesai.
Usai mengobrol, aku dan Safira kembali ke rombongan
sekolah, karena harus kembali ke penginapan. Begitupun dengan Nino, ia juga
bergabung dengan teman-teman satu sekolahnya dan pulang kembali ke
Tulungmegung.
Di kamar penginapan, Safira tampak sedih sekali.
Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Aku menghampirinya.
“Kok belum tidur, Saf?”tanyaku seraya duduk di
sebelahnya. “Jujur, aku takut kehilanganmu, Far!”jawabnya lirih. Matanya
berkaca-kaca. Aku memeluknya. “Safira, sahabat Farah nggak boleh nangis…
Meskipun nanti aku sudah bertemu keluargaku dan bersekolah disana, aku
berjanji, akan sering main ke rumahmu. Aku juga tak ingin meninggalkanmu dan
Kakek Alif. Kita masih bisa kok memasak bersama, pergi sawah bersama dan bermain
bersama. Sampai sekarang, aku tak tahu, membalas kebaikan kalian selama ini
pakai apa. Aku tak dapat membayangkan bagaimana nasibku jika kalian tak
menyelamatkanku waktu itu. Kalian lah yang menolongku, merawatku, hingga aku
bisa sembuh dari amnesiaku. Karena kalian juga, aku jadi mengerti susahnya
hidup sederhana. Kamu yang mengajari aku memasak, bangun pagi, hingga bergaul
dengan tetangga. Sampai kapanpun, aku tak akan melupakan kalian…”ucapku. Aku
tak kuat menahan tangis. Air mata itu jatuh, membahasi pipiku, yang makin lama
makin menderas.
“Janji?”kata Safira penuh harap dan mengacungkan jari
kelingkingnya ke arahku. Aku membalasnya dengan mengaitkan jari kelingkingku,
“Janji.”. Akhirnya kami tertidur malam itu. Malam yang menyaksikan perjanjian kami.
-o-
Tepat pukul 08:18 (lagi-lagi Friska menjelaskan dengan
detail), semua siap meninggalkan penginapan. Mobil sekolah kami telah siap
berangkat. Kami berdoa agar sampai di kota Tulungmegung dengan selamat. Aku dan
Safira sudah tak sabar untuk segera bertemu kakek Alif di rumah. Padahal hanya
2 hari tidak bertemu, seperti berbulan-bulan. Perjalanan dilalui dengan
gembira.
Meskipun
namaku yang sebenarnya adalah Friska, aku tak keberatan jika masih dipanggil
Farah, karena itu nama pemberian Safira dan Kakek Alif. Farah Azalia Maura dan
Friskania Aira adalah orang yang sama, yaitu diriku. Hehehe…
-o-
Lelah sekali tubuh ini. Mobil sekolah terhenti di
lapangan sekolahku. Teman-teman sekelasku menyambut kedatanganku dan Safira
dengan gembira. Apalagi, setelah mengetahui bahwa kami meraih juara.
Perjuangan kami untuk sampai di rumah tercinta belum
selesai. Dari sekolah, kami harus menaiki angkot dulu, sama seperti waktu
berangkatnya. Saat turun dari angkot, kami masih harus berjalan dari jalan raya
menuju rumah.
Dan akhirnya… Rumah tercinta! Kakek Alif sudah menunggu
kedatangan kami di kursi teras. Raut muka kakek terlihat senang sekali, setelah
mengetahui kedua cucunya telah pulang dengan selamat. Beliau memeluk kami.
Karena kelelahan, setelah berganti pakaian dan mandi,
kami istirahat. Jika kantuk menyerang, tak dapat dilawan. Kami pun tertidur
lelap.
0 comments:
Post a Comment