~~~ Welcome to my blog! And don't forget to visit again ^^ Arigato! ありがとう ~~~
Welcome to Chovanila Zone Blog! Please leave a chat or comment :)
RSS

Friday 1 August 2014

Amnesia - Pertemuan Tak Disengaja

            Aku membolak-balik halaman kalender. Sekarang tanggal 28 November. Itu berarti, dua hari lagi lomba diselenggarakan. Dan besok, aku berangkat dari sekolah menuju kota Makalung. Aih, senangnya! Hal yang kutunggu-tunggu sejak tiga minggu yang lalu.
            “Farah! Kau terlalu lama memandangi kalender! Ayo cepat, aku sudah siap. Kau belum memakai sepatu!”ucap Safira dengan nada agak keras. Aku menutup kalender itu, dan mengambil sepatu kemudian memakainya. Lalu aku berlari menyusul Safira dan kakek Alif di teras. Setelah berpamitan, kami berangkat. Langit terlihat cerah, jadi kami tak perlu khawatir kehujanan seperti waktu itu.
            Saat kami menaiki tangga, tiba-tiba Pak Risky memanggilku. “Farah, Safira! Setelah ini kalian langsung ke ruang dua puluh satu ya! Akan ada pengarahan untuk pemberangkatan lomba besok!”. Kami mengangguk.
            Setelah meletakkan tas di bangku, kami segera menuju ruang 21. Kak Aria, Bu Jasmine, Pak Risky, dan Kak Taufan telah menunggu kami disana. Ya, aku dan Safira lah yang terakhir masuk dan telat bergabung.
            “Langsung saja kita mulai. Untuk pemberangkatan lomba besok, kalian berkumpul di ruang 19 sekitar jam 7 malam. Dari sekolah, kita akan naik bis. Lama perjalanan sekitar 9 jam. Perlengkapan wajib yang harus dibawa yaitu alat tulis, papan dada, seragam putih biru, sepatu hitam dan kaos kaki putih, pakaian secukpnya, buku catatan ekskul, perlengkapan sholat, mandi, dan obat-obatan. Untuk lomba melukis, peralatan lukis sudah disiapkan panitia, jadi tak perlu membawa. Kita pulang esok paginya, dan menginap di penginapan untuk semalam. Semua biaya ditanggung sekolah. Ada yang ditanyakan?”ucap Kak Aria memberi penjelasan. Apa? Naik bis? Kalau memang harus naik bis, lebih baik aku tidak ikut! Aku masih trauma karena tragedi kecelakaan bis waktu itu, yang menghilangkan ingatanku sampai sekarang. Aku tak mau! Sungguh!
            “Kak, apa tidak ada kendaraan lain selain bis? Saya trauma. Jika tidak ada, lebih baik saya tidak ikut.”kataku sambil mengacungkan tangan. Safira menoleh kearahku dan mengerti maksud ucapanku. “Eh, maaf. Maksud kakak bukan bis, tapi mobil sekolah. Kau tak keberatan kan, Farah?”tanyanya balik. Aku menggeleng. Lagipula, hanya untuk 6 peserta dan 4 orang pendamping, kurasa terlalu berlebihan jika naik bis. Kalau mobil, mungkin aku tidak trauma.
            Malamnya, aku dan Safira terlihat sibuk sekali menyiapkan barang-barang yang harus dibawa besok. Kakek Alif heran melihat tingkah kedua cucunya. Aku memeriksa kembali barang bawaanku di tas ransel yang biasa kupakai sekolah itu. Sepertinya sudah lengkap! Aku melihat benda-benda yang ada di meja kamar. Tanpa sengaja aku melihat sebuah dompet hangus yang kutemukan di lokasi kecelakaan waktu itu. Masih lengkap berisi kartu pelajar dan uang sepuluh ribu yang hangus. Entah mengapa, aku tertarik untuk membawa dompet ini. Walaupun mungkin tak berguna dan hanya memenuhi tasku saja.
            “Kau membawanya?”tanya Safira. Aku mengangguk. “Kau berharap bisa menemukan orang itu disana?”tanyanya lagi. “Aku tak tahu. Jika memang ditakdirkan untuk bertemu, pasti bertemu kok. Jika tidak, ya sudah. Aku yakin, pemilik kartu pelajar ini masih hidup. Meskipun tidak ada bukti pasti untuk itu.”jawabku.
-o-
            Tak tahu mengapa, berat rasanya meninggalkan kakek Alif sendiri, meskipun hanya 2 hari. Kakek berpesan, agar kami bisa menjaga diri baik-baik disana. Setelah shalat Maghrib, kami segera berpamitan kepada kakek Alif. Dengan tas ransel di punggung, kami berjalan beberapa meter untuk mencari angkot menuju sekolah, karena tak mungkin kami bersepeda.
            Setelah sampai di sekolah, kami segera menuju ruang 19. Disana sudah ada 2 anak yang datang, kurang 2 anak lagi. Kak Taufan juga belum datang nampaknya. Mobil sekolah telah menunggu kami di depan ruangan.
            Hingga akhirnya pukul 19:46 (ini terlalu rinci), semua telah berkumpul lengkap tak kurang satupun. Kami berangkat menaiki mobil sekolah, dan Kak Taufan lah yang menyetir. Kami bercanda bersama, menebak apa yang akan dilakukan disana, banyak sekali! Kata Kak Aria, perkiraan sampai di penginapan pukul 5 pagi besok. Lomba dimulai pukul 8 pagi. Masih ada waktu untuk mandi bukan? Untungnya, lokasi penginapan tak jauh dari lokasi lomba. Aku tertidur lelap. Suara yang terakhir kudengar adalah obrolan antara Kak Taufan dan Pak Risky.
            Aku membuka mataku perlahan. Kulihat manusia di sebelahku. Ternyata dia sudah bangun terlebih dulu dibanding yang lain. “Pagi, Safira!”sapaku. “Pagi juga, Farah! Kau sudah bangun rupanya!”balasnya. Ia sibuk merapikan rambut panjangnya yang berantakan karena terhembus angin dari jendela mobil selama semalam. Sepertinya keadaan rambutku juga seperti itu. Lebih buruk dari punya Safira malah! Hehehe…
            Kak Taufan masih serius menyetir. Teman mengobrolnya, Pak Risky, yang duduk di sebelah Kak Taufan, tertidur lelap. “Pagi Kak Taufan! Kak, ini jam berapa? Sudah sampai kota mana?”tanyaku. “Pagi juga Farah! Sekitar jam empat pagi. Sudah sampai kota Kuban, satu jam lagi sampai. Oh ya, kan sudah terdengar adzan Subuh, kita mampir mushola dulu ya?”balasnya. Aku mengiyakan.
            Setelah kami menemukan mushola, mobil terhenti. Bu Jasmine, Kak Aria, dan empat anak lain terbangun dari tidurnya. Semua turun dari mobil dan menunaikan sholat Subuh berjamaah.
            Usai sholat, kami kembali ke mobil. Perjalanan dilanjutkan.
            Satu jam kemudian… langit hitam berganti biru. Mobil kami berhenti di sebuah penginapan yang akan kami tempati nanti malam. Semua turun dan mengambil tasnya masing-masing di bagasi. Kedatangan kami disambut dengan gembira. Kami dipersilahkan untuk menaruh tas di kamar, mandi, dan sarapan. Pemilik penginapan ramah sekali. Tak heran, jika kami akan betah tinggal disini.
            Tepat pukul 7 pagi, kami berangkat dari penginapan menuju lokasi lomba. Tak henti-hentinya aku berdoa agar dimudahkan oleh Allah. Pelaksanaan lomba di Gedung Balai Nusa Makalung, yang jaraknya mungkin hanya 100 meter dari penginapan.
            Kami turun dari mobil dan melihat sekeliling. Ramai sekali! Gedung itu dipenuhi siswa-siswi SMP dari berbagai kota di Indonesia. Aku tak bisa membayangkan, perjuanganku nanti melawan mereka.
            “Selamat datang peserta lomba menulis dan melukis tingkat nasional tahun dua ribu empat belas! Bagi peserta lomba menulis, silahkan masuk ke ruang delapan belas. Dan peserta lomba melukis, ditunggu panitia di ruang delapan segera. Lima belas menit lagi lomba akan dimulai!”terdengar pemberitahuan dari pengeras suara. Aku dan Safira berpisah. Bu Jasmine dan Kak Taufan menemani kami mencari ruangan yang dimaksud. Sedangkan peserta lomba melukis ditemani oleh Kak Aria dan Pak Risky.
            Kami menemukannya! Ternyata, ruang 18 itu masih dibagi-bagi lagi dalam bentuk kelas. Ruang 18A penuh, 18B juga, hingga akhirnya kami menemukan 3 kursi dan meja kosong di ruang 18K.
            Teng… teng… teng… Bel tanda lomba dimulai telah berbunyi. Seorang lelaki seumuran Kak Taufan, masuk ke ruangan kami. Ia membawa puluhan kertas folio bergaris yang siap dibagikan kepada kami. Dan tema lomba kali ini adalah… “Mempadukan Sikap Kepemimpinan dan Kreatif bagi Para Pelajar di Nusantara”. Aku bingung, apa yang harus kutulis untuk tema sesulit ini. Aku tidak menemukan ide cerita sama sekali! Oh tidak!
            Sepuluh menit aku berpikir, belum mendapat ide juga. Sedangkan peserta lain sudah asyik menulis di kertas folionya. Belum ada satupun kata yang kutulis di kertasku. Entah, aku masih bingung. Tiba-tiba aku terpikir untuk memulai menulis. Meskipun tak tahu yang akan aku tulis. Dan jadilah, cerita yang sederhana, apa adanya, dan simple. Yang penting logis alias masuk akal.
            Waktu lomba habis. Seluruh peserta keluar ruangan. Aku tak menemukan Bu Jasmine dan Kak Taufan. Aku berniat menyusul Safira dan yang lain di ruang 8. Namun, saat aku sampai, ruangan itu sudah kosong. Rasanya ingin menangis, berpisah dari rombongan sekolah di tempat seramai ini. Seperti anak hilang! Ya, begitulah yang kurasakan saat ini. Mataku mulai berkaca-kaca, ternyata aku anak yang cengeng.
            Tiba-tiba mataku melihat sesuatu. Ada benda terjatuh di depanku. Sebuah sapu tangan. Benda itu jatuh dari kantong saku celana pemiliknya. Sepertinya, sang pemilik tidak mengetahui jika sapu tangannya jatuh.
            Aku mengejar anak laki-laki itu. Dia seumuran denganku, dan sepertinya peserta lomba melukis, bukan menulis. Aku menepuk bahunya. “Maaf, ini milikmu?”tanyaku. Aku tak ingin dikira sok kenal, niatku kan baik. “Iya, terima kasih! Kau menemukannya dimana?”tanyanya balik. “Tadi terjatuh di depan ruang delapan.”jawabku sambil tersenyum. “Oh, sekali lagi terima kasih! Jika dilihat, kau mirip sahabat SMP ku dulu. Boleh kutahu namamu?”ucapnya. Aku menjawab, “Namaku Farah Azalia Maura. Panggil saja Farah. Kamu?”. “Namaku Nino, Nino Alvian. Kau berasal dari kota mana? Aku Tulungmegung.”balasnya. “Sama! Umm,, maaf, sepertinya aku masih harus mencari rombongan dari sekolahku. Aku terpisah dari mereka! Senang berkenalan denganmu…”ucapku yang kemudian berlari meninggalkan Nino. Mungkin dia membalas perkataanku, namun tak terdengar.
            Ternyata keberadaan teman-temanku tak jauh dari situ. Aku senang sekali, telah menemukan mereka. “Farah! Kami tadi bingung mencarimu.”kata Pak Risky. “Maaf, Pak. Tadi saya juga bingung mau mencari kemana.”jawabku. Safira berkata pelan kepadaku, “Kulihat tadi kau berbicara dengan seorang anak laki-laki disana. Kau kenal?”. “Kenal karena tadi berkenalan. Sebelumnya tidak, tapi entah mengapa aku merasa wajahnya familiar. Tadi saputangan miliknya jatuh, ya sudah aku kembalikan. Namanya Nino. Dia berasal dari kota Tulungmegung juga lho!”jawabku. Safira tersentak kaget, “Nino? Kau tak salah? Jangan-jangan dia pemilik…..”. Aku baru ingat, jika pemilik dompet yang kutemukan waktu itu namanya Nino, Revanditya Nino Alvian. “Dia pemilik dompet hangus itu!”ucapku. “Pasti! Tak salah lagi! Dia temanku dulu. Tadi ia sempat berkata kalau aku mirip sahabat SMP nya dulu! Safira, temani aku untuk menemuinya!”ujarku yakin. Kami meminta izin ke Bu Jasmine dan Pak Risky untuk menemui seseorang. Untungnya, kami diijinkan dan diberi waktu sampai sebelum pengumuman.
            Kami kembali ke tempat dimana aku dan Nino mengobrol tadi. Namun sayang, dia dan rombongan sekolahnya sudah tidak berada di situ. Kami mengelilingi gedung itu, mencari kemanapun, tapi tetap saja tidak ketemu. Sampai akhirnya, terdengar pemberitahuan dari pengeras suara bahwa seluruh peserta lomba menulis dan melukis harus segera berkumpul di ruang 1, karena pengumuman akan segera dilaksanakan. Aku dan Safira langsung berlari menuju ruang 1. Tentunya, kami bertemu Pak Risky, Kak Aria, Bu Jasmine, dan yang lain. Mereka juga ingin menyaksikan pengumuman.
            “Pemenang lomba melukis tingkat nasional dua ribu empat belas… Juara tiga diraih oleh… Arman Hustafa dari SMP Cahaya Abadi Makalung! Juara dua diraih oleh… Fitria Maulidya dari SMPN 3 Surakoa! Dan juara satu dimenangkan oleh… Safira Dina Aulia dari SMPN 1 Tulungmegung! Selamat untuk para pemenang, dan silahkan maju ke atas panggung!”. Suara tepuk tangan meriah terdengar riuh sekali. Aku tersenyum kepada Safira, dia berhasil meraih juara 1 lomba melukis tingkat nasional! Safira tampak senang sekali, tidak disangka dialah pemenangnya.
            “Pemenang lomba menulis cerita tingkat nasional tahun dua ribu empat belas… Juara tiga diraih oleh… Kimaru Ottonika dari SMP Cerdas Harapan Mojokrawu! Juara dua diraih oleh… Farah Azalia Maura dari SMPN 1 Tulungmegung! Dan juara satu dimenangkan oleh… Alfira Diah Maharani dari SMPN 6 Palang! Selamat!”. Aku melonjak kegirangan! Juara 2! Aih, senangnya! Aku maju ke atas panggung.
            Tanpa sengaja, aku melihat Nino tersenyum kearahku. Ia berdiri di pojok belakang ruangan, bergabung bersama teman-teman satu sekolahnya. Tiba-tiba, kepalaku pusing sekali. Berat! Memori hitam putih saat tragedi kecelakaan bis, saat sebelum berangkat wisata, sesingkat itu melintas di pikiranku. Aku juga mengingat bagaimana persahabatanku dengan Nino dulu. Adikku, kedua orang tuaku, aku mengingatnya. Tiba-tiba pandanganku buram, dan… gelap! Sepertinya aku tak sadarkan diri. Suara terakhir yang kudengar adalah suara Safira yang mengkhawatirkanku.
-o-
            “Friska, kau sudah sadar?”. Aku membuka mataku perlahan. Kepalaku masih terasa pusing. Aku menoleh ke arah suara. Ternyata Safira dan Nino berada di sampingku. Dan itu suara Nino.
            “Nino…”ucapku lirih. “Ingatanmu sudah kembali?”tanya Safira. Aku mengangguk. “Tadi Safira bercerita kepadaku dari awal kalian bertemu, sampai sekarang.”kata Nino. Aku menatapnya penuh arti, tak menyangka, Allah mempertemukan aku dengan sahabatku ini, setelah mengujiku dengan amnesia yang kualami. Tentunya aku senang, kedua sahabatku bisa seakrab ini. “Umm,, Saf, Bu Jasmine, Pak Risky, sama yang lain kemana?”tanyaku. “Mereka menunggu di depan.”jawab Safira. Dan anehnya, aku baru sadar kalau aku berada di rumah sakit.
            Mereka masuk ke ruangan. “Farah, kata dokter, jika kepalamu sudah tidak pusing, kamu diijinkan pulang. Dan kita kembali ke penginapan.”kata Bu Jasmine. “Tak apa, Bu. Kepala Farah sudah tidak pusing kok. Kalau boleh, Farah ingin kembali ke penginapan segera. Tapi sebelumnya, izinkan Farah untuk berbicara sebentar dengan teman Farah ya, Bu.”ucapku. Beliau mengangguk. Semua keluar ruangan kecuali Nino, Safira, dan aku tentunya.
            Aku ingin bertanya lebih lanjut, kenapa dia tidak kembali ke Sidopono. Ternyata, Nino sama sepertiku. Kami tak mempunyai biaya untuk kembali ke sana. Tak lupa, aku mengembalikan dompet hangus miliknya. Sekarang dia bersekolah di SMPN 3 Tulungmegung. Sayang, kami tak satu sekolah. Tapi, aku menyempatkan untuk bertanya alamat  dimana ia tinggal di Tulungmegung. Oh ya, aku juga menanyakan nasib teman-teman kami waktu itu. Tapi, Nino juga tidak tahu pasti. Katanya, sebagian besar sudah kembali ke keluarganya, dan bersekolah sehari-hari di Sidopono. Ada juga yang dianggap menghilang, seperti aku dan Nino. Aku ingin kembali kesana, pulang dan bertemu keluargaku. Setidaknya, uang tunai yang kudapatkan tadi bisa untuk biaya transportasi kesana. Namun, aku juga tak dapat mengingkari janjiku kepada Safira sebelumnya, untuk membuat komik setelah lomba tingkat nasional selesai. Jadi, kami sepakat untuk kembali ke kota Sidopono setelah pembuatan komik selesai.
            Usai mengobrol, aku dan Safira kembali ke rombongan sekolah, karena harus kembali ke penginapan. Begitupun dengan Nino, ia juga bergabung dengan teman-teman satu sekolahnya dan pulang kembali ke Tulungmegung.
            Di kamar penginapan, Safira tampak sedih sekali. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Aku menghampirinya.
            “Kok belum tidur, Saf?”tanyaku seraya duduk di sebelahnya. “Jujur, aku takut kehilanganmu, Far!”jawabnya lirih. Matanya berkaca-kaca. Aku memeluknya. “Safira, sahabat Farah nggak boleh nangis… Meskipun nanti aku sudah bertemu keluargaku dan bersekolah disana, aku berjanji, akan sering main ke rumahmu. Aku juga tak ingin meninggalkanmu dan Kakek Alif. Kita masih bisa kok memasak bersama, pergi sawah bersama dan bermain bersama. Sampai sekarang, aku tak tahu, membalas kebaikan kalian selama ini pakai apa. Aku tak dapat membayangkan bagaimana nasibku jika kalian tak menyelamatkanku waktu itu. Kalian lah yang menolongku, merawatku, hingga aku bisa sembuh dari amnesiaku. Karena kalian juga, aku jadi mengerti susahnya hidup sederhana. Kamu yang mengajari aku memasak, bangun pagi, hingga bergaul dengan tetangga. Sampai kapanpun, aku tak akan melupakan kalian…”ucapku. Aku tak kuat menahan tangis. Air mata itu jatuh, membahasi pipiku, yang makin lama makin menderas.
            “Janji?”kata Safira penuh harap dan mengacungkan jari kelingkingnya ke arahku. Aku membalasnya dengan mengaitkan jari kelingkingku, “Janji.”. Akhirnya kami tertidur malam itu. Malam yang menyaksikan perjanjian kami.
-o-
            Tepat pukul 08:18 (lagi-lagi Friska menjelaskan dengan detail), semua siap meninggalkan penginapan. Mobil sekolah kami telah siap berangkat. Kami berdoa agar sampai di kota Tulungmegung dengan selamat. Aku dan Safira sudah tak sabar untuk segera bertemu kakek Alif di rumah. Padahal hanya 2 hari tidak bertemu, seperti berbulan-bulan. Perjalanan dilalui dengan gembira.
Meskipun namaku yang sebenarnya adalah Friska, aku tak keberatan jika masih dipanggil Farah, karena itu nama pemberian Safira dan Kakek Alif. Farah Azalia Maura dan Friskania Aira adalah orang yang sama, yaitu diriku. Hehehe…
-o-
            Lelah sekali tubuh ini. Mobil sekolah terhenti di lapangan sekolahku. Teman-teman sekelasku menyambut kedatanganku dan Safira dengan gembira. Apalagi, setelah mengetahui bahwa kami meraih juara.
            Perjuangan kami untuk sampai di rumah tercinta belum selesai. Dari sekolah, kami harus menaiki angkot dulu, sama seperti waktu berangkatnya. Saat turun dari angkot, kami masih harus berjalan dari jalan raya menuju rumah.
            Dan akhirnya… Rumah tercinta! Kakek Alif sudah menunggu kedatangan kami di kursi teras. Raut muka kakek terlihat senang sekali, setelah mengetahui kedua cucunya telah pulang dengan selamat. Beliau memeluk kami.

            Karena kelelahan, setelah berganti pakaian dan mandi, kami istirahat. Jika kantuk menyerang, tak dapat dilawan. Kami pun tertidur lelap.

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment