~~~ Welcome to my blog! And don't forget to visit again ^^ Arigato! ありがとう ~~~
Welcome to Chovanila Zone Blog! Please leave a chat or comment :)
RSS

Friday 1 August 2014

Amnesia - Komik Kenangan

            “Farah, kapan kita akan memulai?”tanya Safira. Aku mengerti maksudnya. Ya, pembuatan komik. “Sekarang kah? Mumpung hari Minggu.”jawabku. Ia mengambil buku gambarnya. Kali ini buku gambarnya tak lagi berwarna kuning, melainkan merah. Miliknya yang kuning telah habis terpakai.
            “Kau sudah ada ide cerita? Nanti akan kuilustrasikan.”tambah gadis itu. “Bagaimana kalau, bercerita tentang kisahku saat ini?”usulku. Menurutku, kejadian yang kualami sekarang menarik untuk dikomikkan. “Amnesia maksudmu?”tanyanya lagi. Aku mengangguk.
            Ia mengilustrasikan kejadian kecelakaan bis. Seorang anak perempuan yang diselamatkan oleh kakek dan cucunya. Ya, ilutrasinya mirip sekali. Tugasku adalah menuliskan percakapan (dialog) dari gambar-gambar tersebut.
            Berhari-hari, setiap pulang sekolah, kami selalu melanjutkan komik yang dibuat. Tentunya, tanpa mengganggu aktivitas sehari-hari dong! Seperti memasak, membantu kakek, belajar bersama, mengerjakan PR, dll.
-o-
            Pagi itu, sekolahku ramai sekali. Ternyata seperti ini suasana pengambilan rapor di SMPN 1 Tulungmegung. Ya, rapor kenaikan kelas! Eits, kenaikan kelas? Itu tandanya, aku akan naik kelas 9! Asyik!!!
            Kakek Alif mengambil rapor cucu-cucunya, raporku dan milik Safira. Kami tegang sekali, sakaligus penasaran peringkat berapa kami di kelas. Dan… saat yang ditunggu-tunggu! Pengumuman peringkat oleh Bu Jasmine! Karena anak-anak tak dibolehkan masuk ruangan, jadi kami terpaksa mengintip lewat jendela. Ke-21 temanku itu berusaha untuk mengambil tempat mengintip. Hehehe…
            “Baiklah, bapak dan ibu. Saya akan mengumumkan peringkat satu, dua, dan tiga. Peringkat tiga diduduki oleh Dianita Sarah. Peringkat dua diduduki oleh Safira Dina Aulia. Dan peringkat satu diduduki oleh Farah Azalia Maura. Semoga peringkat tersebut dapat dipertahankan, dan bagi yang belum mendapat peringkat, bisa menjadi motivasi untuk lebih giat belajar.”ucap Bu Jasmine dari dalam ruangan.
            Aku peringkat satu? Sedangkan aku adalah murid baru dikelas ini! Sarah menghampiriku, ia mengucapkan selamat kepadaku. “Farah, kau hebat! Meskipun umurmu masih dua belas tahun, tapi kau bisa berprestasi di kelas ini. Selamat! Aku kagum kepadamu…”ucapnya. “Kau juga tak kalah hebat kok! Jangan mempermasalahkan umur.. Hehehe! Selamat juga ya!”balasku sambil tersenyum.
            “Aku senang kau mendapat peringkat satu, Friska! Selamat!”kata Safira sambil menepuk bahuku. “Selamat juga, Safira! Maafkan aku, jika menggantikan posisimu di peringkat satu.”ucapku menunduk. “Tak apa, itu hak semua siswa di kelas ini yang sudah berusaha untuk mendapatkannya.”balasnya tersenyum. Ya, aku merasa bersalah menggantikan posisi Safira di peringkat satu, dan Safira menjadi peringkat dua.
            Setelah pengambilan rapor selesai, kakek Alif, aku, dan Safira pulang ke rumah. Masih ada tugas yang harus kami selesaikan, yaitu komik.
-o-
            Hari demi hari dilalui. Hingga akhirnya, pembuatan komik selesai! Kami segera mengirimkannya ke penerbit yang menerima komik. Kami berharap, semoga komik itu diterbitkan, dan ide ceritanya sesuai dengan kriteria penerbit.
             Sebenarnya, aku ingin segera mengetahui apakah komik kami itu layak terbit atau tidak. Namun, semua itu butuh penantian. Aku tak akan melupakan janjiku dengan Nino, untuk kembali ke kota Sidopono. Baiklah, aku akan bersabar! Semoga penantian ini tidak sia-sia. Amin..
-o-
            Sabtu, 21 Januari 2015. Aku menghempaskan tubuhku di kasur. Kulihat jam dinding. Masih pukul 13:16. Oh ya, aku perlu menjelaskan, jam dinding di kamarku itu jam digital, jadi bisa kutulis sedetail ini. Hehehe… Jam itu merupakan salah satu bingkisan yang kudapatkan waktu memenangkan lomba menulis di Makalung.
            Tiba-tiba, ada suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Aku melihatnya dari jendela. Seseorang turun dari motornya, dan berjalan menuju pintu rumah untuk mengetuknya. Aku membuka pintu dan menerima sebuah amplop dari Pak Pos yang berseragam oranye itu. Tak lupa, aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Aku pun segera berlari masuk rumah dan memanggil Safira.
            “Safira! Ada surat untuk kita, dari penerbit komik. Kita buka bersama yuk!”ucapku seraya menghampiri Safira yang sedang membuat kopi untuk Kakek Alif di dapur. “Oh ya? Aku tak sabar membukanya!”balasnya. Secangkir kopi itu lalu diantarkan ke kamar Kakek Alif. Kami duduk di kursi teras.
            Aku memegang amplop itu dan membukanya. Safira ikut membaca surat yang ada di tanganku itu. Inti dari surat itu ialah… KOMIK KAMI DITERBITKAN! Kami segera memberitahukan berita gembira ini kepada Kakek. Beliau senang sekali! Aku melihat isi amplop lagi. Ternyata kami diberi 5 eksemplar komik yang diterbitkan itu. Aku mengambilnya satu, dan berlari menuju kamar untuk mengambil secarik kertas. Ya, kertas itu berisikan alamat rumah Nino yang kutanyakan waktu itu. Aku bersiap-siap dan berganti pakaian. Tentunya, aku berpamitan kepada Kakek Alif dan Safira terlebih dahulu, tanpa aku beritahukan tujuanku kemana. Sepertinya Safira mengerti. Ia mengedipkan satu matanya kearahku. Aku tersenyum dan mengayuh sepedaku.
            Letak tempat tinggal Nino tak jauh dari sekolahnya, SMPN 3 Tulungmegung. Untungnya, alamat itu mudah dicari. Jl. Radipangan no. 9. Aku tak yakin setelah menemukan rumah yang dimaksud. Aku memarkir sepedaku dengan ragu. Lalu, aku berjalan menuju pintu rumah dan mengetuknya.
            “Assalamualaikum…”ucapku. “Waalaikumsalam…”jawab seseorang dari dalam rumah sambil membukakan pintu. Ternyata seorang wanita tua yang umurnya tak beda jauh dengan Kakek Alif.  “Ada apa nak ayu datang kemari?”tanya beliau. “Saya datang kesini ingin bertemu Nino, nek. Saya sahabatnya.”jawabku. “Ayu tenan kowe nduk. Ayo lungguh dhisik, dakcelukne bocahe yo. (cantik banget kamu nak. Ayo duduk dulu, nenek panggilkan ya).”ucap nenek. Aku mengangguk saja.
            Tak lama kemudian, Nino menghampiriku. “Sudah lama kau menunggu?”tanyanya. “Tidak juga. Sekitar lima menit.”jawabku. Ia duduk di sebelahku. “Nenekmu ramah sekali. Kau hanya tinggal bersama nenekmu?”tanyaku. Dia mengangguk. Tiba-tiba ia menatapku. “Kau sama saja seperti dulu. Rambut panjangmu selalu kau urai.”ucapnya. “Mungkin kalau sekolah tidak seperti ini. Kau terlihat rapi pagi ini, tidak sepertiku.”balasku. “Oh ya? Tapi kau cantik, Fris. Kau tetap Friska yang cantik dan manis, seperti yang kukenal.”ucapnya seraya tetap menatapku. Aku menunduk. Aku tak mengira, dia memujiku seperti itu. “Terima kasih untuk itu.”balasku singkat.
            Aku memberikan komik yang kubawa tadi kepada Nino. “Ini untukmu.”. “Komik? Ini komikmu dan Safira?”tanyanya. “Aku mengangguk. “Aku ingin kau menyimpannya. Dan, kau masih ingat perjanjian itu bukan?”balasku. “Masih. Dan aku selalu menunggu untuk itu. Kapan kita ke berangkat ke Sidopono?”ucapnya. “Besok lusa? Kau siap?”tanyaku balik. “Kalau kau siap, aku juga.”jawabnya. Aku tersenyum senang. Ia menanyakan alamat rumahku, dan berniat menjemputku lusa. Tak lama kemudian, aku berpamitan pulang.
            “Titip salam untuk Safira dan Kakek ya, Fris!”seru Nino. “Ok! Nanti kusampaikan. Assalamualaikum…”ucapku. “Waalaikumsalam…”balas Nino dan neneknya. Aku pun meninggalkan rumah itu dengan mengayuh sepedaku.
            Sesampainya di rumah, Safira menungguku di kursi teras. Aku menghampirinya, dan ikut duduk. “Kau bertemu dengannya?”tanyanya. “Ya. Dia menitipkan salam untukmu. Besok lusa kami berangkat.”balasku. “Besok lusa? Apa itu tidak terlalu cepat? Aku masih ingin kau tinggal disini.”bantah Safira. “Itulah keputusan kami. Kami ingin segera bertemu dengan keluarga, dan kembali ke sekolah kami. Maaf Saf, aku tak dapat menuruti keinginanmu.”ucapku lesu. “Aku mengerti. Baiklah, semoga kalian selamat dan bisa bertemu dengan orang-orang menyayangi kalian.”kata Safira seraya menitikkan air mata. Aku tak tega harus meninggalkan sahabatku ini. Namun, aku juga masih membutuhkan orang tua, saudara, sahabat, dan orang-orang terdekatku. Aku ingin bertemu mereka. Berada di tengah kehangatan keluarga adalah impianku saat ini.

            Safira meninggalkanku yang masih terduduk diam di kursi teras. Entahlah, aku bingung. Ini pilihan yang sulit bagiku. Satu tahun tinggal bersama Safira dan Kakek Alif, memberiku banyak pelajaran. Merekalah penulis kata-kata di memoriku, memori baru. Karena memori lama sempat hilang sekejap. Terlalu banyak pengalaman dan kenangan yang kudapatkan bersama mereka, membuatku semakin sulit untuk meninggalkannya. 

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment