“Farah, kapan kita akan
memulai?”tanya Safira. Aku mengerti maksudnya. Ya, pembuatan komik. “Sekarang
kah? Mumpung hari Minggu.”jawabku. Ia mengambil buku gambarnya. Kali ini buku
gambarnya tak lagi berwarna kuning, melainkan merah. Miliknya yang kuning telah
habis terpakai.
“Kau sudah ada ide cerita? Nanti akan
kuilustrasikan.”tambah gadis itu. “Bagaimana kalau, bercerita tentang kisahku
saat ini?”usulku. Menurutku, kejadian yang kualami sekarang menarik untuk
dikomikkan. “Amnesia maksudmu?”tanyanya lagi. Aku mengangguk.
Ia mengilustrasikan kejadian kecelakaan bis. Seorang anak
perempuan yang diselamatkan oleh kakek dan cucunya. Ya, ilutrasinya mirip
sekali. Tugasku adalah menuliskan percakapan (dialog) dari gambar-gambar
tersebut.
Berhari-hari, setiap pulang sekolah, kami selalu
melanjutkan komik yang dibuat. Tentunya, tanpa mengganggu aktivitas sehari-hari
dong! Seperti memasak, membantu kakek, belajar bersama, mengerjakan PR, dll.
-o-
Pagi itu, sekolahku ramai sekali. Ternyata seperti ini
suasana pengambilan rapor di SMPN 1 Tulungmegung. Ya, rapor kenaikan kelas!
Eits, kenaikan kelas? Itu tandanya, aku akan naik kelas 9! Asyik!!!
Kakek Alif mengambil rapor cucu-cucunya, raporku dan milik
Safira. Kami tegang sekali, sakaligus penasaran peringkat berapa kami di kelas.
Dan… saat yang ditunggu-tunggu! Pengumuman peringkat oleh Bu Jasmine! Karena
anak-anak tak dibolehkan masuk ruangan, jadi kami terpaksa mengintip lewat
jendela. Ke-21 temanku itu berusaha untuk mengambil tempat mengintip. Hehehe…
“Baiklah, bapak dan ibu. Saya akan mengumumkan peringkat
satu, dua, dan tiga. Peringkat tiga diduduki oleh Dianita Sarah. Peringkat dua
diduduki oleh Safira Dina Aulia. Dan peringkat satu diduduki oleh Farah Azalia
Maura. Semoga peringkat tersebut dapat dipertahankan, dan bagi yang belum
mendapat peringkat, bisa menjadi motivasi untuk lebih giat belajar.”ucap Bu
Jasmine dari dalam ruangan.
Aku peringkat satu? Sedangkan aku adalah murid baru
dikelas ini! Sarah menghampiriku, ia mengucapkan selamat kepadaku. “Farah, kau
hebat! Meskipun umurmu masih dua belas tahun, tapi kau bisa berprestasi di
kelas ini. Selamat! Aku kagum kepadamu…”ucapnya. “Kau juga tak kalah hebat kok!
Jangan mempermasalahkan umur.. Hehehe! Selamat juga ya!”balasku sambil tersenyum.
“Aku senang kau mendapat peringkat satu, Friska!
Selamat!”kata Safira sambil menepuk bahuku. “Selamat juga, Safira! Maafkan aku,
jika menggantikan posisimu di peringkat satu.”ucapku menunduk. “Tak apa, itu
hak semua siswa di kelas ini yang sudah berusaha untuk mendapatkannya.”balasnya
tersenyum. Ya, aku merasa bersalah menggantikan posisi Safira di peringkat
satu, dan Safira menjadi peringkat dua.
Setelah pengambilan rapor selesai, kakek Alif, aku, dan
Safira pulang ke rumah. Masih ada tugas yang harus kami selesaikan, yaitu
komik.
-o-
Hari demi hari dilalui. Hingga akhirnya, pembuatan komik
selesai! Kami segera mengirimkannya ke penerbit yang menerima komik. Kami
berharap, semoga komik itu diterbitkan, dan ide ceritanya sesuai dengan
kriteria penerbit.
Sebenarnya, aku
ingin segera mengetahui apakah komik kami itu layak terbit atau tidak. Namun,
semua itu butuh penantian. Aku tak akan melupakan janjiku dengan Nino, untuk
kembali ke kota Sidopono. Baiklah, aku akan bersabar! Semoga penantian ini
tidak sia-sia. Amin..
-o-
Sabtu, 21 Januari 2015. Aku menghempaskan tubuhku di
kasur. Kulihat jam dinding. Masih pukul 13:16. Oh ya, aku perlu menjelaskan,
jam dinding di kamarku itu jam digital, jadi bisa kutulis sedetail ini. Hehehe…
Jam itu merupakan salah satu bingkisan yang kudapatkan waktu memenangkan lomba
menulis di Makalung.
Tiba-tiba, ada suara sepeda motor berhenti di depan
rumah. Aku melihatnya dari jendela. Seseorang turun dari motornya, dan berjalan
menuju pintu rumah untuk mengetuknya. Aku membuka pintu dan menerima sebuah
amplop dari Pak Pos yang berseragam oranye itu. Tak lupa, aku mengucapkan
terima kasih kepadanya. Aku pun segera berlari masuk rumah dan memanggil
Safira.
“Safira! Ada surat untuk kita, dari penerbit komik. Kita
buka bersama yuk!”ucapku seraya menghampiri Safira yang sedang membuat kopi
untuk Kakek Alif di dapur. “Oh ya? Aku tak sabar membukanya!”balasnya.
Secangkir kopi itu lalu diantarkan ke kamar Kakek Alif. Kami duduk di kursi
teras.
Aku memegang amplop itu dan membukanya. Safira ikut
membaca surat yang ada di tanganku itu. Inti dari surat itu ialah… KOMIK KAMI
DITERBITKAN! Kami segera memberitahukan berita gembira ini kepada Kakek. Beliau
senang sekali! Aku melihat isi amplop lagi. Ternyata kami diberi 5 eksemplar
komik yang diterbitkan itu. Aku mengambilnya satu, dan berlari menuju kamar
untuk mengambil secarik kertas. Ya, kertas itu berisikan alamat rumah Nino yang
kutanyakan waktu itu. Aku bersiap-siap dan berganti pakaian. Tentunya, aku
berpamitan kepada Kakek Alif dan Safira terlebih dahulu, tanpa aku beritahukan
tujuanku kemana. Sepertinya Safira mengerti. Ia mengedipkan satu matanya
kearahku. Aku tersenyum dan mengayuh sepedaku.
Letak tempat tinggal Nino tak jauh dari sekolahnya, SMPN
3 Tulungmegung. Untungnya, alamat itu mudah dicari. Jl. Radipangan no. 9. Aku
tak yakin setelah menemukan rumah yang dimaksud. Aku memarkir sepedaku dengan
ragu. Lalu, aku berjalan menuju pintu rumah dan mengetuknya.
“Assalamualaikum…”ucapku. “Waalaikumsalam…”jawab
seseorang dari dalam rumah sambil membukakan pintu. Ternyata seorang wanita tua
yang umurnya tak beda jauh dengan Kakek Alif. “Ada apa nak ayu datang kemari?”tanya beliau.
“Saya datang kesini ingin bertemu Nino, nek. Saya sahabatnya.”jawabku. “Ayu tenan kowe nduk. Ayo lungguh dhisik, dakcelukne bocahe yo.
(cantik banget kamu nak. Ayo duduk dulu, nenek panggilkan ya).”ucap nenek. Aku
mengangguk saja.
Tak lama kemudian, Nino menghampiriku. “Sudah lama kau
menunggu?”tanyanya. “Tidak juga. Sekitar lima menit.”jawabku. Ia duduk di
sebelahku. “Nenekmu ramah sekali. Kau hanya tinggal bersama nenekmu?”tanyaku. Dia
mengangguk. Tiba-tiba ia menatapku. “Kau sama saja seperti dulu. Rambut
panjangmu selalu kau urai.”ucapnya. “Mungkin kalau sekolah tidak seperti ini.
Kau terlihat rapi pagi ini, tidak sepertiku.”balasku. “Oh ya? Tapi kau cantik,
Fris. Kau tetap Friska yang cantik dan manis, seperti yang kukenal.”ucapnya
seraya tetap menatapku. Aku menunduk. Aku tak mengira, dia memujiku seperti
itu. “Terima kasih untuk itu.”balasku singkat.
Aku memberikan komik yang kubawa tadi kepada Nino. “Ini
untukmu.”. “Komik? Ini komikmu dan Safira?”tanyanya. “Aku mengangguk. “Aku
ingin kau menyimpannya. Dan, kau masih ingat perjanjian itu bukan?”balasku.
“Masih. Dan aku selalu menunggu untuk itu. Kapan kita ke berangkat ke
Sidopono?”ucapnya. “Besok lusa? Kau siap?”tanyaku balik. “Kalau kau siap, aku
juga.”jawabnya. Aku tersenyum senang. Ia menanyakan alamat rumahku, dan berniat
menjemputku lusa. Tak lama kemudian, aku berpamitan pulang.
“Titip salam untuk Safira dan Kakek ya, Fris!”seru Nino.
“Ok! Nanti kusampaikan. Assalamualaikum…”ucapku. “Waalaikumsalam…”balas Nino
dan neneknya. Aku pun meninggalkan rumah itu dengan mengayuh sepedaku.
Sesampainya di rumah, Safira menungguku di kursi teras.
Aku menghampirinya, dan ikut duduk. “Kau bertemu dengannya?”tanyanya. “Ya. Dia
menitipkan salam untukmu. Besok lusa kami berangkat.”balasku. “Besok lusa? Apa
itu tidak terlalu cepat? Aku masih ingin kau tinggal disini.”bantah Safira.
“Itulah keputusan kami. Kami ingin segera bertemu dengan keluarga, dan kembali
ke sekolah kami. Maaf Saf, aku tak dapat menuruti keinginanmu.”ucapku lesu.
“Aku mengerti. Baiklah, semoga kalian selamat dan bisa bertemu dengan
orang-orang menyayangi kalian.”kata Safira seraya menitikkan air mata. Aku tak
tega harus meninggalkan sahabatku ini. Namun, aku juga masih membutuhkan orang
tua, saudara, sahabat, dan orang-orang terdekatku. Aku ingin bertemu mereka.
Berada di tengah kehangatan keluarga adalah impianku saat ini.
Safira meninggalkanku yang masih terduduk diam di kursi
teras. Entahlah, aku bingung. Ini pilihan yang sulit bagiku. Satu tahun tinggal
bersama Safira dan Kakek Alif, memberiku banyak pelajaran. Merekalah penulis
kata-kata di memoriku, memori baru. Karena memori lama sempat hilang sekejap.
Terlalu banyak pengalaman dan kenangan yang kudapatkan bersama mereka,
membuatku semakin sulit untuk meninggalkannya.
0 comments:
Post a Comment