Aku membuka mataku perlahan.
Cahaya terang seolah menyorot mataku. Kulihat sekeliling. Aku berada di sebuah
kamar yang sepertinya asing bagiku. Kamar kecil nan sederhana. Di sebelahku
tampak seorang lelaki tua yang tersenyum setelah melihatku tersadar. Ada juga
seorang anak perempuan yang umurnya tak beda jauh denganku. Ia duduk menemani
lelaki tua itu.
Kurasakan kepalaku yang amat sakit dan pusing. Aku
berusaha untuk duduk, menyapa mereka yang sedari tadi duduk menemaniku. Siapa
mereka? Dan mengapa aku bisa berada disini?
Tiba-tiba anak perempuan itu menyapaku. “Kau sudah sadar?
Alhamdulillah!” ucapnya. “Syukurlah nak, kau telah sadar. Apakah kau masih
merasa sakit?” tanya lelaki tua. Aku mengangguk pelan, karena kepalaku masih
terasa berat untuk digerakkan. “Siapa namamu nak?” tanya lelaki tua itu sekali
lagi. Aku tersadar. Seharusnya aku tahu siapa namaku. Namun kali ini, aku tak
mengenal siapa diriku sendiri. Namaku, keluargaku, daerah asalku,
teman-temanku, sepertinya ada gangguan di otakku.
Aku menggelengkan kepala. “Maaf kek, saya tidak tahu
siapa nama saya. Kepala saya pusing. Kakek ini siapa ya? Saya tidak mengenal
kakek sebelumnya.” kataku. “Perkenalkan, nama kakek Alif Winarko. Kamu bisa
panggil saya kakek Alif. Dan ini cucu kakek, Safira Dina Aulia. Kamu bisa
memanggilnya Safira.”jawab seorang lelaki tua yang ternyata bernama Kakek Alif
tersebut. “Mengapa saya bisa berada disini ya kek?” tanyaku yang tak henti-hentinya
bertanya. “Kami yang telah menyelamatkan dan merawatmu setelah kecelakaan bis
dua hari yang lalu. Kau terluka, dan kakek yang menemukanmu di tempat lokasi
kejadian. Memangnya kau tak ingat kejadiannya? Apa kau amnesia?” ucap Safira.
“Sepertinya begitu. Aku sama sekali tak mengingat tentang kejadian kemarin.
Bahkan, aku sendiri tak mengingat siapa namaku, keluargaku, dan
teman-temanku.”jawabku apa adanya.
“Untuk sementara waktu, kau boleh tinggal disini. Sampai
akhirnya kau berhasil menemukan keluargamu dan kondisimu akan membaik. Anggap
saja kakek ini kakekmu sendiri. Dan Safira adalah saudaramu. Umur kalian juga
tak beda jauh.”kata Kakek Alif. “Terima kasih kek! Terima kasih juga
Safira!”balasku tersenyum. “Oh ya, kan kamu belum tahu nama kamu siapa
sebenarnya. Bagaimana kalau namamu Farah saja? Lebih lengkapnya Farah Azalia
Maura. Setuju tidak?”usul Safira. “Aku setuju kok, Saf! Nama pemberianmu
bagus!”ucapku.
Aku sangat beruntung bisa diselamatkan oleh orang-orang
baik seperti Kakek Alif dan Safira. Mereka sudah kuanggap sebagai kakek dan
saudaraku sendiri. Aku belum tahu, bisa membalas kebaikan mereka dengan apa.
Jika tidak ada mereka, mungkin aku tidak bisa diselamatkan.
Beberapa hari kemudian… Kondisiku kini sudah
berangsur-angsur membaik. Dan sampai akhirnya, suatu sore aku mengajak Safira
bersepeda sekitar desa untuk memperkenalkan diriku kepada tetangga lainnya.
Aku mengayuh sepedaku bersebelahan dengan Safira.
Tiba-tiba ada suara ibu-ibu memanggil Safira. Ibu itu duduk di teras depan
rumahnya sambil mengobrol dengan ibu-ibu lain. “Nak Safira, jarang main ke
rumah ibu. Itu teman kamu ya? Siapa namanya?”. Safira menjawab, “Bukan Bu April,
ini saudara saya. Namanya Farah. Memang saudara jauh, jadi jarang ke rumah
saya. Untuk beberapa bulan, dia menginap di rumah saya.”. Aku menyalimi dan
mencium tangan Bu April tanda hormat. Dan memperkenalkan diriku.
Kami melanjutkan bersepeda. “Saf, masyarakat sekitar sini
itu ramah ya!”seruku. “Ya, begitulah masyarakat Desa Saringpo. Mereka selalu
bersikap ramah kepada siapapun, baik itu penduduk tetap atau pun penduduk
sementara sepertimu.”balas Safira. Aku semakin merasa nyaman tinggal di desa
ini, penduduknya ramah, pemandangannya bagus, udaranya sejuk, dan banyak
pepohonan. Semua yang ada disini sebagian besar masih alami, berupa sawah dan
lahan kosong, bangunan pun masih sedikit jumlahnya.
Setelah puas bersepeda, kami memutuskan untuk pulang ke
rumah. Sesampai di rumah, tiba-tiba kakek memanggilku. “Farah, kakek punya
kejutan buat kamu!”seru kakek Alif. “Apa kek?”tanyaku gembira. “Mulai besok,
kamu sudah bisa bersekolah di sekolahnya Safira. Kakek sudah mengurus segala keperluanmu
untuk sekolah. Kamu senang?”kata kakek Alif. “Senang sekali! Terima kasih kek!”sorakku.
Tepat pukul 7 malam, aku duduk di kursi bambu teras.
Kutatap langit yang penuh bintang. Bintang itu berkerlap-kerlip seolah mengerti
perasaanku yang sedang senang. Aku sangat bersyukur kepada Allah, karena sampai
sekarang masih diberi keselamatan. Jujur saja, sebenarnya aku ingin mengetahui
siapa diriku ini. Bertemu dengan keluarga, berkumpul bersama saudara, bermain
bersama teman, sepertinya adalah hal terindah yang aku bayangkan saat ini.
Tiba-tiba ada seseorang menepuk pundakku. “Hei, sedang
apa duduk disini?”tanya orang itu. Aku menoleh. Ternyata suara Safira. “Tak ada
yang sedang kulakukan, hanya sekedar melihat bintang saja! Sini, duduk di
sebelahku!”ajakku. Safira menuruti perintahku.
“Kalau boleh tahu, orangtuamu kemana? Sepertinya aku
tidak pernah melihat sosok ibu dan ayah di rumah ini. Maaf sebelumnya, kalau
aku bertanya yang aneh-aneh.”ucapku memulai pembicaraan. “Tak apa kok, Far.
Tidak ada yang salah dengan ucapanmu. Sejak umur tiga tahun, aku sudah kehilangan
orang tuaku dan adikku. Aku tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang. Waktu
itu ada musibah yang memisahkan kami, saat aku berumur tiga tahun dan adikku
masih bayi. Kamu beruntung Far, memiliki saudara dan orangtua, yang sangat menyayangimu,
meskipun kamu tidak tahu keberadaannya dimana sekarang. Tapi aku yakin, pasti
kedua orangtuamu disana selalu mendoakanmu untuk keselamatanmu.”jawab Safira.
Ia tak kuat menahan tangis air mata. Aku jadi merasa bersalah karena membuat
Safira menangis.
“Maaf ya Safira, gara-gara aku, kamu jadi menangis
seperti ini! Mmm,, terima kasih ya, karena ucapanmu, aku jadi tenang sekarang. Oh
ya, apa kamu mau menemani aku ke lokasi kecelakaan kemarin? Barangkali aku bisa
menemukan sesuatu sebagai petunjuk.”ucapku. Safira mengangguk dan mengusap air
matanya. Kami pun segera masuk kamar dan bersiap untuk tidur. Aku tidak sabar
untuk hari esok, yaitu bersekolah. Selamat malam semua!
Kring…kring…kring… Alarm berbunyi. Safira segera beranjak
dari tempat tidur, melipat selimut dan merapikan tempat tidurnya. Sedangkan
aku, masih tetap memeluk guling di tempat tidur. Hahaha…
“Farah, ayo bangun! Hari ini itu hari pertama kamu
sekolah! Masa’ mau terlambat sih? Kan malu? Ayolah, bangun!”seru Safira seraya
menggoyang-goyangkan pundakku. “Iya,, iya,, ini aku sudah bangun!”balasku
dengan nada terpaksa. Aku beranjak dari tempat tidur. Setelah merapikan tempat
tidur, aku melihat jam dinding. Hah? Masih jam 3 pagi? Kenapa harus dibangunkan
sekarang?
“Safira,, tunggu!”ucapku dengan nada agak keras. Safira
berjalan menuju dapur, aku menyusulnya dari belakang. “Sekarang kan masih jam
tiga pagi, kenapa harus bangun? Bukankah masuk sekolah masih jam tujuh pagi?
Paling tidak, kita bisa bangun jam lima bukan?”tanyaku. “Hahaha… Farah, Farah!
Mungkin kamu tidak terbiasa bangun pagi seperti ini! Kita harus menyiapkan
sarapan untuk kakek. Setelah selesai menyiapkan sarapan, kita sholat subuh
berjamaah di mushola. Lalu, bersiap-siap ke sekolah!”jawabnya. “Lho, kamu yang
memasak?”tanyaku sekali lagi. Safira mengangguk. “Iya, aku sudah terbiasa kok memasak.
Memangnya Farah mau bantuin?”. Aku menjawab, “Mau,, mau! Sekalian aku ingin
belajar memasak bersama chef Safira…”. Kami berdua tertawa dan melanjutkan memasak.
Aku mengikuti tata cara memasak Safira. Padahal
sebenarnya aku tidak tahu sedang memasak apa. Hehehe… Ternyata Safira anak yang
rajin! Pasti Kakek Alif bangga banget punya cucu seperti Safira. Sifat Safira
memang patut untuk ditiru. Rajin, disiplin, cantik, berakhlak baik, Safira
pantas dikagumi.
Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya masakan kami
matang dan siap untuk disajikan. Adzan subuh pun terdengar dari arah mushola di
depan rumah. Kakek Alif menyapa kami yang agak kelelahan usai memasak. “Wah,
cucu-cucu kakek rajin sekali! Ya sudah, ayo bersiap-siap ke mushola untuk
sholat subuh berjamaah! Nanti terlambat
lho!”. Kami berdua mengangguk hampir bersamaan.
Tepat pukul 04.30, kami kembali ke rumah setelah dari
mushola. Sesampai di rumah, kami segera bersiap-siap menuju sekolah. Mmm,,
nikmatnya menyantap masakan buatan sendiri. Aku memuji masakan Safira. “Safira,
enak banget loh masakannya! Nama masakannya apa sih?”. “Oh, terima kasih! Itu
kan buatan kamu juga. Nama masakannya Sayur Lodeh.”.
Kami berpamitan untuk berangkat sekolah. Setelah
mengucapkan salam dan mencium tangan kakek, kami mengayuh sepeda beriringan
menuju sekolah. Kata Safira, letak sekolahnya memang agak jauh dari rumah.
Jadi, kami harus berangkat dari rumah pukul setengah enam pagi, meskipun masuk
sekolah masih jam tujuh pagi.
Tak terasa, akhirnya sampai juga kami di tempat tujuan.
Kuparkir sepedaku bersebelahan dengan sepeda Safira. Setelah itu, berjalan
masuk menuju sekolah. Bangunan megah ini kupandangi lekat-lekat. Sekolah ini
memang tampak bagus dan bersih. Aku masih tak menyangka, bisa bersekolah di SMP
Negeri favorit di kota ini. SMPN 1 Tulungmegung, itulah namanya. Fasilitas yang
ada di sekolah ini sangatlah lengkap.
Aku mengikuti Safira, karena kata kakek kelas kami sama.
Ternyata kelas kami berada di lantai dua. Teman-teman Safira menyambut kami,
dan mereka berkenalan denganku. Aku memperkenalkan diriku sebagai saudara
Safira.
Teng..teng..teng.. Bel masuk berbunyi. Semua murid segera
masuk kelas dan duduk di bangkunya masing-masing. Seorang guru masuk ke dalam
kelas. Dan berniat untuk memperkenalkan diriku kepada teman-teman.
Dengan ragu bercampur malu, aku memperkenalkan diriku.
“Pagi teman-teman! Namaku Farah Azalia Maura. Kalian bisa memanggilku Farah.
Umurku dua belas tahun. Aku pindahan dari luar kota. Rumahku sama seperti rumah
Safira, yaitu di Desa Saringpo nomer dua. Aku saudaranya Safira. Jika ada yang
ingin ditanyakan, kalian bisa menanyakannya nanti. Terima kasih!”. Seketika
kelas hening. Seorang guru yang tadi menyuruhku untuk memperkenalkan diri, kini
mencarikan tempat duduk untukku. “Farah, kamu bisa duduk di sebelahnya Sarah,
karena kebetulan Devi tidak masuk hari ini.”. Aku mengangguk dan meletakkan
tasku di bangku.
Sarah memperkenalkan dirinya kepadaku. “Hai Farah! Namaku
Dianita Sarah. Kamu bisa panggil aku Sarah. Oh ya, kamu sudah tahu belum nama
ibu guru yang tadi?”. Aku menjawab, “Belum. Memang, siapa namanya?”. “Namanya
Bu Jasmine. Beliau guru fisika, sekaligus wali kelas kita. Bu Jasmine itu guru
yang amat sabar.”balasnya.
Aku merasa seperti anak kecil di kelasku. Bagaimana
tidak? Semua teman-temanku rata-rata berumur 15 tahun. Sedangkan aku, masih 12
tahun. Aku menjadi murid termuda di kelas. Hahaha… Tak apalah, tapi aku selalu
berusaha untuk menjalani kegiatan pembelajaran sehari-hari dengan mudah sebagai
murid yang duduk di bangku kelas 2 SMP. Padahal pada umumnya, anak berusia 12
tahun itu masih duduk di bangku kelas 6 SD lho…
Sepulang sekolah, aku dan Safira tak langsung pulang ke
rumah. Aku meminta Safira untuk mengantarkanku ke lokasi kejadian kecelakaan
beberapa hari yang lalu. Berharap akan menemukan barang sebagai petunjuk.
Setelah sampai, kupandangi bangkai bis yang telah rusak.
Aku melihat sekeliling. Safira mengikuti langkah kakiku dari belakang. Setelah
sekian lama melihat-lihat, tiba-tiba aku menghentikan langkah kakiku. Mataku
terpanah pada suatu barang yang tergeletak di tanah. Hmm,, sebuah dompet yang
hangus. Aku yakin, pasti ini milik salah satu temanku yang juga menjadi korban
kecelakaan. Tanpa pikir panjang, aku membuka dompet itu. Safira ikut melihat.
Isinya hanyalah selembar uang sepuluh ribu yang sobek, dan sebuah kartu pelajar
SMP. Kartu itu bertuliskan:
KARTU
PELAJAR SMPN 1 SIDOPONO
Nama
: Revanditya Nino Alvian
Tempat Tanggal Lahir : Sidopono, 9 Februari 2000
Jenis Kelamin : Laki-laki
Asal Sekolah : SMPN 1 Sidopono
No. Induk : 1234567890
Tinggi badan : 160 cm
Berarti,
kemungkinan besar aku berasal dari kota Sidopono. Sayang sekali, foto yang ada
di kartu itu hangus dan tak jelas. Dompet itu kumasukkan ke dalam tas
sekolahku. Aku ingin menanyakan kejadian terakhir kepada warga sekitar.
Barangkali, ada informasi yang akan kudapatkan.
“Permisi bu, apakah ibu tahu tentang tragedi kecelakaan
bis dua minggu yang lalu ini?”tanyaku kepada salah satu ibu-ibu yang sedang
menggendong anaknya. “Ibu sedikit tahu, jika ada yang ingin ditanyakan,
silahkan bertanya. Mungkin ibu bisa membantu.”jawab ibu itu. “Penyebab
kecelakaan ini apa ya bu?”selidikku layaknya seorang detektif. “Menurut
kepolisian, penyebab kecelakaan ini karena sopir bis yang mengantuk. Jadi, ada
serombongan anak SMP sedang pergi wisata. Tapi, sepertinya mereka berasal dari
luar kota.”jawabnya. “Lantas, bagaimana dengan korbannya?”tanya Safira. Oke,
kali ini Safira yang berbicara. “Sebagian dilarikan ke rumah sakit oleh
penduduk sekitar, tapi ada juga yang melarikan diri sebelum bis meledak.
Bahkan, ada yang dinyatakan hilang.”tanggapnya. Aku terdiam sejenak.
Sebenarnya, aku lebih beruntung daripada teman-temanku. Sampai sekarang, aku
masih selamat. Sedangkan mereka, belum tentu selamat. Ada yang dinyatakan
hilang pula. Kasihan mereka. Aku ingin mencari teman-temanku, tapi aku tidak
ingat muka masing-masing. Namanya pun aku tidak tahu.
“Baiklah bu. Terima kasih atas informasinya! Ibu sangat
membantu kami.”ucapku. “Sama-sama nak.”balasnya. Aku dan Safira kembali ke
tempat berhentinya sepeda. Kami bergegas untuk pulang.
Sepertinya aku ingin mengumpulkan informasi lebih banyak
lagi. Berarti, mungkin saja dugaanku benar. Kalau aku adalah murid kelas satu
SMP yang sedang pergi wisata bersama teman-temanku, dan mengalami kecelakaan
saat perjalanan menuju tempat wisata. Jadi, penyebab aku amnesia seperti ini
adalah karena kecelakaan itu. Hmm, akan kupikirkan nanti.
0 comments:
Post a Comment