~~~ Welcome to my blog! And don't forget to visit again ^^ Arigato! ありがとう ~~~
Welcome to Chovanila Zone Blog! Please leave a chat or comment :)
RSS

Saturday 7 June 2014

Amnesia - Ekskul Menulis Cerita? Ikut!

            Aku melihat kartu pelajar itu sekali lagi. Sempat aku berfikir, kalau aku ingin kembali ke kota Sidopono. Dan mencari letak SMPN 1 Sidopono. Pasti guru-guru disana akan mengenaliku. Aku berencana untuk mengembalikan dompet dan kartu pelajar ini kepada temanku yang bernama Revanditya Nino Alvian, sebagai pemiliknya.
            Kuusulkan rencanaku kepada kakek untuk kembali ke kota Sidopono. “Kakek Alif, boleh tidak kalau Farah pergi ke kota Sidopono mencari keluarga Farah?”. Kakek menjawab, “Sebaiknya, jangan nak. Kau belum sembuh total. Masih dalam keadaan hilang ingatan. Kota Sidopono itu jauh, dan kau anak perempuan, tak baik jika pergi ke luar kota sendirian. Nanti saja, jika ingatanmu sudah kembali, kakek dan Safira janji akan menemani kamu ke kota Sidopono  untuk mencari keluargamu.”. Safira menambah, “Iya Farah. Selain itu, pergi ke luar kota itu butuh biaya transportasi. Lebih baik kita menabung dulu, jika nanti sudah terkumpul banyak, dan ingatanmu sudah kembali total, baru kita pergi ke kota Sidopono! Bagaimana?”. Aku mengangguk. Dalam hati, aku berjanji akan melakukan aktivitasku sehari-hari bersama Safira dan kakek hingga ingatanku pulih. Sekolah setiap hari dan membantu kakek di sawah.
            Keesokan harinya, seperti biasa, aku berangkat sekolah bersama Safira. Sesampai di sekolah, aku berjalan menuju kelas dan meletakkan tas di bangku. Devi memanggilku, “Farah, kayaknya kamu belum memilih ekstrakurikuler ya di sekolah ini?”. “Belum. Aku bingung ikut ekskul apa, Dev! Memangnya, apa saja ekskulnya?”tanyaku balik. “Banyak kok! Ada paduan suara, karawitan, badminton, basket, orkestra, melukis, tari, menulis cerita, dan lain-lain.”sahut Sarah. “Eits, menulis cerita? Mau! Di kelas ini, siapa saja yang ikut ekskul menulis?”balasku. “Cuma ada empat anak sih. Aku, Asisa, Nanda, dan Putri. Kalau kamu mau ikut, kan seru, bertambah satu anak!”jawab Indi, salah satu temanku yang lain.
            Kebetulan, hari ini hari Sabtu, jadwal ekskul menulis. Sepulang sekolah, aku tak langsung pulang. Berniat untuk mendaftar ekskul. Safira juga mengikuti ekskul melukis, jadi ia tak langsung pulang. Sama sepertiku, jam selesai ekskul menulis dan melukis itu bersamaan. Sehingga aku tetap bisa pulang bersama Safira, tanpa harus pulang sendiri.
            Aku, Indi, Nanda, Putri, dan Asisa berjalan menuju ruang ekskul. Tampak seorang lelaki muda sedang menunggu di meja yang berada di sudut ruangan. Asisa berbisik kepadaku seraya menunjuk lelaki itu. “Farah, kakak itu yang mengajar ekskul menulis. Namanya Kak Nugi. Dia sabar kok! Baik pula.”. Aku menanggapi pembicaraannya. “Oh, itu! Mmm,, temani aku ya Sis, bicara ke Kak Nugi kalau aku murid baru dan ingin bergabung di ekskul menulis!”. Asisa mengangguk.
            Setelah meletakkan tas di kursi, aku dan Asisa berjalan menuju meja Kak Nugi. “Kak, boleh tidak teman saya ini bergabung di ekskul menulis? Dia murid baru kak!”ucap Asisa. Kak Nugi menoleh. Tiba-tiba ia kaget setelah melihatku. “Lho, Friska! Kamu pindah sekolah? Lama ya tidak bertemu! Bagaimana kabarnya? Mengapa bisa sekolah di sini? Orang tuamu juga pindah? Jauh sekali pindahnya, dari kota Sidopono ke kota Tulungmegung!”tanyanya panjang lebar sehingga aku bingung menjawab yang mana dulu. Hah,, Kak Nugi mengenal aku? Dan memanggil aku dengan nama,, Friska??? Memangnya, Kak Nugi itu siapa?
            Asisa bingung mendengar ucapan Kak Nugi yang mengenal aku. “Loh, Kak Nugi sudah mengenal Farah ya?”tanya Asisa kebingungan. Aku masih terdiam. Kak Nugi menjawab, “Farah? Namanya kan Friska, bukan Farah! Iya, kakak sudah kenal Friska sejak dulu. Dia dulu tetangga Kak Nugi. Dan teman akrabnya. Tapi setelah Kakak pindah ke kota Tulungmegung, kita tidak pernah bertemu. Hei Friska, kok melamun?”. Pertanyaan Kak Nugi seolah mengagetkanku. Aduh, aku tak tahu apa-apa! “Em,, i-i-iy-iya kak! Friska pindah sekolah ke luar kota. Friska sekarang tinggal di rumah saudara. Kabar Friska baik kok!”. Aku berusaha mencari jawaban. Kulihat Asisa yang masih kebingungan. “Kamu boleh ikut ekskul menulis. Selamat bergabung!”seru Kak Nugi. Aku mengangguk.
            Kami kembali bergabung bersama teman-teman. Untungnya, Asisa tak bertanya yang macam-macam tentangku. Perkataan Kak Nugi masih terpikir di benakku. Namun, aku harus tetap fokus dengan materi ekskul pertamaku ini.
            Materi menulis cerita kali ini adalah langkah dasar menyusun sebuah karangan. Langkah pertama membuat cerita adalah menentukan tema. Langkah selanjutnya yaitu mencari ide cerita. Selanjutnya, menentukan judul. Setelah itu, membuat kerangka karangan. Lalu, dari kerangka karangan itu dikembangkan menjadi sebuah karangan yang utuh. Dan perlu diingat, dalam sebuah cerita harus ada permasalahan dan penyelesaian, agar cerita itu menarik. Itulah pembelajaran yang aku dapatkan hari ini.
            Tepat pukul 16.30, ekskul menulis dan melukis selesai. Aku menghampiri Safira di ruang ekskul melukis. “Safira, kamu sudah selesai?”tanyaku. “Sudah Far! Ayo kita pulang! Kasihan kakek, sendirian di rumah. Kita harus menyiapkan makanan untuk makan malam nanti!”jawab Safira. Kami berjalan menuju tempat parkir sepeda. Dan mengayuh sepeda ke arah pulang.
            Tok..tok..tok.. “Assalamualaikum! Kakek Alif!”seruku dan Safira sambil mengetuk pintu rumah. Kakek Alif menjawab, “Waalaikumsalam! Farah, Safira, kalian sudah pulang! Kok sampai sore sekolahnya?”. “Ada ekskul kek.”balasku. “Ya sudah, kita mau menyiapkan makan malam dulu ya kek!”tambah Safira. Kakek hanya tersenyum melihat tingkah kedua cucunya.
            Setelah makan malam, aku mengajak Safira duduk di kursi bambu. Aku ingin menceritakan tentang ucapan Kak Nugi tadi siang. “Safira, aku mau cerita.”ucapku memulai pembicaraan. “Curhat ya? Tentang ekskul menulis?”katanya. “Iya sih, sedikit! Kamu tahu Kak Nugi pembimbing ekskul menulis kan?”tanyaku. Ia menjawab, “Tahu! Memangnya kenapa?”. “Tadi waktu aku meminta izin untuk bergabung di ekskul menulis, ternyata Kak Nugi mengenal aku.”balasku. Safira tertarik dengan apa yang akan aku bicarakan. “Oh ya? Cerita dong Far!”. “Tadi, aku dan Asisa berniat untuk meminta izin bergabung di ekskul, tapi ternyata Kak Nugi mengenal aku. Dia kaget dan tanya-tanya kabarku. Kak Nugi memanggil aku Friska. Waktu ditanya Asisa siapa Kak Nugi, Kak Nugi jawab, katanya dia tetangga aku dan teman akrabku dulu. Lalu pindah ke kota Tulungmegung. Oh ya Saf, dugaanku benar lho! Kalau aku berasal dari kota Sidopono.”terangku panjang lebar.
            Kami terdiam sejenak. Safira melanjutkan dengan nada pelan, “Berarti, informasimu bertambah! Nama aslimu adalah Friska.”. Aku mengangguk. “Sepertinya begitu.”. Entah mengapa, tiba-tiba Safira menangis. “Loh, kamu kenapa Saf? Kok menangis?”tanyaku. “Aku takut kehilangan kamu Far, kalau suatu saat kamu pergi meninggalkan aku dan kakek, karena kamu sudah menemukan keluargamu. Padahal, aku sayang sama kamu, sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri.”jawabnya pelan. “Sudah, tak perlu menangis! Kalau suatu hari aku sudah menemukan keluargaku dan ingatanku kembali, aku janji tidak akan melupakan kamu. Kita akan tetap menjadi saudara, Safira.”ucapku menenangkannya. Aku merekam ucapanku dalam otakku. “Janji?”tanyanya sambil mengarahkan jari kelingkingnya kepadaku. Aku mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingking Safira. “Janji!”balasku tersenyum. Malam itu menjadi malam yang sangat indah, malam yang menyaksikan sebuah persahabatan abadi layaknya saudara. Dihiasi bintang dan sinar bulan purnama.
            Aku masuk ke dalam kamar, sedangkan Safira masih menemani kakek Alif melihat televisi di ruang keluarga. Tiba-tiba terlintas sebuah ide cerita di pikiranku. Aku ingin membuat novel. Segera kutuliskan ide ceritaku di sebuah buku tulis kosong. Sebenarnya, aku ingin mengetiknya langsung di laptop. Namun apa daya, sampai saat ini Safira belum memiliki laptop. Aku memakluminya. Semoga saja, suatu hari kehidupan keluarga ini akan membaik. Allah pasti akan membalas kebaikan seseorang, seperti kebaikan Kakek Alif dan Safira kepadaku.
            Tanpa kusadari, lamunan panjangku terhenti karena seseorang. Ternyata Safira. Ia menepuk bahuku dari belakang. “Farah melamun? Itu apa?”tanyanya seraya menunjuk buku tulis yang berisi ide ceritaku itu. Pertanyaan itu sontak mengagetkanku. “Tidak, bukan apa-apa. Oh ini, tadi tiba-tiba aku menemukan ide untuk menulis cerita. Ya sudah, aku tulis saja di buku ini.”jawabku. Safira mengerti ucapanku.

            Selama tinggal di sini, aku belum pernah melihat gambaran atau lukisan Safira satu kali pun. “Safira, aku ingin lihat gambarmu! Pasti bagus!”. Safira menjawab, “Hmm,, biasa saja! Sebentar ya, aku ambilkan buku gambarku di lemari.”. Aku mengangguk. Tak lama kemudian, Safira menghampiriku dengan membawa sebuah buku gambar berukuran A3 yang berwarna kuning. Ia duduk di sebelahku dan membuka halaman demi halaman buku gambar itu. Aku terkagum-kagum melihat gambarannya. Goresan pensil yang sangat teratur dan membentuk sebuah gambar yang amatlah indah. “Bagus sekali gambarmu! Aku saja belum tentu bisa menggambar seperti itu.”ucapku memuji. “Mmm,, terima kasih! Tapi, setiap orang itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Aku juga, belum tentu bisa menulis cerita dan menemukan ide cerita sebagus yang kamu tulis tadi.”balasnya. Benar kata Safira, kelebihan dan kekurangan setiap orang itu berbeda-beda. Jadi, kita tak perlu iri dengan kelebihan orang lain, justru kita harus mengembangkan kelebihan yang kita punya. 

Read Comments
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment