Aku melihat kartu pelajar
itu sekali lagi. Sempat aku berfikir, kalau aku ingin kembali ke kota Sidopono.
Dan mencari letak SMPN 1 Sidopono. Pasti guru-guru disana akan mengenaliku. Aku
berencana untuk mengembalikan dompet dan kartu pelajar ini kepada temanku yang
bernama Revanditya Nino Alvian, sebagai pemiliknya.
Kuusulkan rencanaku kepada kakek untuk kembali ke kota
Sidopono. “Kakek Alif, boleh tidak kalau Farah pergi ke kota Sidopono mencari
keluarga Farah?”. Kakek menjawab, “Sebaiknya, jangan nak. Kau belum sembuh
total. Masih dalam keadaan hilang ingatan. Kota Sidopono itu jauh, dan kau anak
perempuan, tak baik jika pergi ke luar kota sendirian. Nanti saja, jika
ingatanmu sudah kembali, kakek dan Safira janji akan menemani kamu ke kota
Sidopono untuk mencari keluargamu.”.
Safira menambah, “Iya Farah. Selain itu, pergi ke luar kota itu butuh biaya
transportasi. Lebih baik kita menabung dulu, jika nanti sudah terkumpul banyak,
dan ingatanmu sudah kembali total, baru kita pergi ke kota Sidopono! Bagaimana?”.
Aku mengangguk. Dalam hati, aku berjanji akan melakukan aktivitasku sehari-hari
bersama Safira dan kakek hingga ingatanku pulih. Sekolah setiap hari dan
membantu kakek di sawah.
Keesokan harinya, seperti biasa, aku berangkat sekolah
bersama Safira. Sesampai di sekolah, aku berjalan menuju kelas dan meletakkan
tas di bangku. Devi memanggilku, “Farah, kayaknya kamu belum memilih
ekstrakurikuler ya di sekolah ini?”. “Belum. Aku bingung ikut ekskul apa, Dev!
Memangnya, apa saja ekskulnya?”tanyaku balik. “Banyak kok! Ada paduan suara,
karawitan, badminton, basket, orkestra, melukis, tari, menulis cerita, dan lain-lain.”sahut
Sarah. “Eits, menulis cerita? Mau! Di kelas ini, siapa saja yang ikut ekskul
menulis?”balasku. “Cuma ada empat anak sih. Aku, Asisa, Nanda, dan Putri. Kalau
kamu mau ikut, kan seru, bertambah satu anak!”jawab Indi, salah satu temanku
yang lain.
Kebetulan, hari ini hari Sabtu, jadwal ekskul menulis.
Sepulang sekolah, aku tak langsung pulang. Berniat untuk mendaftar ekskul.
Safira juga mengikuti ekskul melukis, jadi ia tak langsung pulang. Sama
sepertiku, jam selesai ekskul menulis dan melukis itu bersamaan. Sehingga aku
tetap bisa pulang bersama Safira, tanpa harus pulang sendiri.
Aku, Indi, Nanda, Putri, dan Asisa berjalan menuju ruang
ekskul. Tampak seorang lelaki muda sedang menunggu di meja yang berada di sudut
ruangan. Asisa berbisik kepadaku seraya menunjuk lelaki itu. “Farah, kakak itu
yang mengajar ekskul menulis. Namanya Kak Nugi. Dia sabar kok! Baik pula.”. Aku
menanggapi pembicaraannya. “Oh, itu! Mmm,, temani aku ya Sis, bicara ke Kak
Nugi kalau aku murid baru dan ingin bergabung di ekskul menulis!”. Asisa
mengangguk.
Setelah meletakkan tas di kursi, aku dan Asisa berjalan
menuju meja Kak Nugi. “Kak, boleh tidak teman saya ini bergabung di ekskul
menulis? Dia murid baru kak!”ucap Asisa. Kak Nugi menoleh. Tiba-tiba ia kaget
setelah melihatku. “Lho, Friska! Kamu pindah sekolah? Lama ya tidak bertemu!
Bagaimana kabarnya? Mengapa bisa sekolah di sini? Orang tuamu juga pindah? Jauh
sekali pindahnya, dari kota Sidopono ke kota Tulungmegung!”tanyanya panjang
lebar sehingga aku bingung menjawab yang mana dulu. Hah,, Kak Nugi mengenal
aku? Dan memanggil aku dengan nama,, Friska??? Memangnya, Kak Nugi itu siapa?
Asisa bingung mendengar ucapan Kak Nugi yang mengenal
aku. “Loh, Kak Nugi sudah mengenal Farah ya?”tanya Asisa kebingungan. Aku masih
terdiam. Kak Nugi menjawab, “Farah? Namanya kan Friska, bukan Farah! Iya, kakak
sudah kenal Friska sejak dulu. Dia dulu tetangga Kak Nugi. Dan teman akrabnya.
Tapi setelah Kakak pindah ke kota Tulungmegung, kita tidak pernah bertemu. Hei
Friska, kok melamun?”. Pertanyaan Kak Nugi seolah mengagetkanku. Aduh, aku tak
tahu apa-apa! “Em,, i-i-iy-iya kak! Friska pindah sekolah ke luar kota. Friska
sekarang tinggal di rumah saudara. Kabar Friska baik kok!”. Aku berusaha
mencari jawaban. Kulihat Asisa yang masih
kebingungan. “Kamu boleh ikut ekskul menulis. Selamat bergabung!”seru Kak Nugi.
Aku mengangguk.
Kami kembali bergabung bersama teman-teman. Untungnya,
Asisa tak bertanya yang macam-macam tentangku. Perkataan Kak Nugi masih
terpikir di benakku. Namun, aku harus tetap fokus dengan materi ekskul
pertamaku ini.
Materi menulis cerita kali ini adalah langkah dasar
menyusun sebuah karangan. Langkah pertama membuat cerita adalah menentukan
tema. Langkah selanjutnya yaitu mencari ide cerita. Selanjutnya, menentukan
judul. Setelah itu, membuat kerangka karangan. Lalu, dari kerangka karangan itu
dikembangkan menjadi sebuah karangan yang utuh. Dan perlu diingat, dalam sebuah
cerita harus ada permasalahan dan penyelesaian, agar cerita itu menarik. Itulah
pembelajaran yang aku dapatkan hari ini.
Tepat pukul 16.30, ekskul menulis dan melukis selesai.
Aku menghampiri Safira di ruang ekskul melukis. “Safira, kamu sudah
selesai?”tanyaku. “Sudah Far! Ayo kita pulang! Kasihan kakek, sendirian di
rumah. Kita harus menyiapkan makanan untuk makan malam nanti!”jawab Safira.
Kami berjalan menuju tempat parkir sepeda. Dan mengayuh sepeda ke arah pulang.
Tok..tok..tok.. “Assalamualaikum! Kakek Alif!”seruku dan
Safira sambil mengetuk pintu rumah. Kakek Alif menjawab, “Waalaikumsalam!
Farah, Safira, kalian sudah pulang! Kok sampai sore sekolahnya?”. “Ada ekskul
kek.”balasku. “Ya sudah, kita mau menyiapkan makan malam dulu ya kek!”tambah
Safira. Kakek hanya tersenyum melihat tingkah kedua cucunya.
Setelah makan malam, aku mengajak Safira duduk di kursi
bambu. Aku ingin menceritakan tentang ucapan Kak Nugi tadi siang. “Safira, aku
mau cerita.”ucapku memulai pembicaraan. “Curhat ya? Tentang ekskul menulis?”katanya.
“Iya sih, sedikit! Kamu tahu Kak Nugi pembimbing ekskul menulis kan?”tanyaku.
Ia menjawab, “Tahu! Memangnya kenapa?”. “Tadi waktu aku meminta izin untuk
bergabung di ekskul menulis, ternyata Kak Nugi mengenal aku.”balasku. Safira
tertarik dengan apa yang akan aku bicarakan. “Oh ya? Cerita dong Far!”. “Tadi,
aku dan Asisa berniat untuk meminta izin bergabung di ekskul, tapi ternyata Kak
Nugi mengenal aku. Dia kaget dan tanya-tanya kabarku. Kak Nugi memanggil aku
Friska. Waktu ditanya Asisa siapa Kak Nugi, Kak Nugi jawab, katanya dia
tetangga aku dan teman akrabku dulu. Lalu pindah ke kota Tulungmegung. Oh ya
Saf, dugaanku benar lho! Kalau aku berasal dari kota Sidopono.”terangku panjang
lebar.
Kami terdiam sejenak. Safira melanjutkan dengan nada
pelan, “Berarti, informasimu bertambah! Nama aslimu adalah Friska.”. Aku mengangguk.
“Sepertinya begitu.”. Entah mengapa, tiba-tiba Safira menangis. “Loh, kamu
kenapa Saf? Kok menangis?”tanyaku. “Aku takut kehilangan kamu Far, kalau suatu
saat kamu pergi meninggalkan aku dan kakek, karena kamu sudah menemukan keluargamu.
Padahal, aku sayang sama kamu, sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri.”jawabnya
pelan. “Sudah, tak perlu menangis! Kalau suatu hari aku sudah menemukan
keluargaku dan ingatanku kembali, aku janji tidak akan melupakan kamu. Kita
akan tetap menjadi saudara, Safira.”ucapku menenangkannya. Aku merekam ucapanku
dalam otakku. “Janji?”tanyanya sambil mengarahkan jari kelingkingnya kepadaku.
Aku mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingking Safira. “Janji!”balasku
tersenyum. Malam itu menjadi malam yang sangat indah, malam yang menyaksikan
sebuah persahabatan abadi layaknya saudara. Dihiasi bintang dan sinar bulan
purnama.
Aku masuk ke dalam kamar, sedangkan Safira masih menemani
kakek Alif melihat televisi di ruang keluarga. Tiba-tiba terlintas sebuah ide
cerita di pikiranku. Aku ingin membuat novel. Segera kutuliskan ide ceritaku di
sebuah buku tulis kosong. Sebenarnya, aku ingin mengetiknya langsung di laptop.
Namun apa daya, sampai saat ini Safira belum memiliki laptop. Aku memakluminya.
Semoga saja, suatu hari kehidupan keluarga ini akan membaik. Allah pasti akan
membalas kebaikan seseorang, seperti kebaikan Kakek Alif dan Safira kepadaku.
Tanpa kusadari, lamunan panjangku terhenti karena
seseorang. Ternyata Safira. Ia menepuk bahuku dari belakang. “Farah melamun?
Itu apa?”tanyanya seraya menunjuk buku tulis yang berisi ide ceritaku itu.
Pertanyaan itu sontak mengagetkanku. “Tidak, bukan apa-apa. Oh ini, tadi
tiba-tiba aku menemukan ide untuk menulis cerita. Ya sudah, aku tulis saja di
buku ini.”jawabku. Safira mengerti ucapanku.
Selama tinggal di sini, aku belum pernah melihat gambaran
atau lukisan Safira satu kali pun. “Safira, aku ingin lihat gambarmu! Pasti
bagus!”. Safira menjawab, “Hmm,, biasa saja! Sebentar ya, aku ambilkan buku
gambarku di lemari.”. Aku mengangguk. Tak lama kemudian, Safira menghampiriku
dengan membawa sebuah buku gambar berukuran A3 yang berwarna kuning. Ia duduk
di sebelahku dan membuka halaman demi halaman buku gambar itu. Aku
terkagum-kagum melihat gambarannya. Goresan pensil yang sangat teratur dan
membentuk sebuah gambar yang amatlah indah. “Bagus sekali gambarmu! Aku saja
belum tentu bisa menggambar seperti itu.”ucapku memuji. “Mmm,, terima kasih!
Tapi, setiap orang itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Aku juga, belum tentu bisa menulis cerita dan menemukan ide cerita sebagus yang
kamu tulis tadi.”balasnya. Benar kata Safira, kelebihan dan kekurangan setiap
orang itu berbeda-beda. Jadi, kita tak perlu iri dengan kelebihan orang lain,
justru kita harus mengembangkan kelebihan yang kita punya.
0 comments:
Post a Comment