Aku melangkahkan kaki menuju
kelas. Tampak dari kejauhan, teman-temanku bergerombol di depan kelas.
Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu. Raut muka mereka sangat gembira.
Aku menjadi semakin penasaran, ada apakah gerangan?
“Nanda, ini ada apa? Mengapa ramai sekali?”tanyaku dengan
raut muka bingung. “Hahaha… Farah tertinggal info! Mulai besok, kita libur kenaikan
semester hingga tanggal dua November!”jawabnya sambil berseru ria. Suaranya
yang keras membuatku harus menutup telinga. Asyik, berita menarik! Selama dua
minggu ke depan, aku bisa membantu kakek bekerja di sawah. Dan aku ingin
mengumpulkan informasi lebih banyak lagi seputar diriku.
Saat pulang sekolah, aku dan Safira menemui kakek di
sawah. Karena hari ini sekolah pulang lebih awal dari biasanya. Jadi, kakek
pasti masih berada di sawah. Betul saja, tampak sosok Kakek Alif yang sedang
mencangkul tanah di sawah, bersama petani-petani yang lain. Kami menghampiri
Kakek Alif yang sedang serius. “Assalamualaikum.. Kakek Alif!”seru kami seraya
memeluk Kakek Alif. “Waalaikumsalam! Cucu-cucu kakek sudah pulang rupanya. Tumben,
masih pukul setengah sebelas pagi sudah pulang?”tanya Kakek Alif. Beliau menghentikan
aktivitasnya sejenak. “Iya kek. Sekolah pulang lebih awal.”jawab Safira. Aku
menambahkan, “Oh ya kek, ada kabar gembira! Mulai besok, kami libur kenaikan
semester sampai tanggal dua November! Kami boleh kan membantu kakek bekerja di
sawah besok?”. Kakek mengangguk. “Boleh, boleh! Asalkan kalian jangan sampai
kelelahan ya.”ucap Kakek Alif. “Iya kek!”balasku dan Safira berbarengan.
Keesokan harinya, aku, Safira, dan Kakek Alif
bersiap-siap menuju sawah. Penampilanku sangat sederhana hari ini. Dengan
rambut panjang yang terkuncir dua layaknya gadis desa, kaos atasan merah dan
celana panjang putih (mirip seperti warna bendera Indonesia), dan sandal jepit berwarna
hijau. Safira tampak cantik menurutku. Rambutnya yang panjang dikepang, memakai
kaos atasan warna putih, dan rok panjang berwarna biru (mirip seperti seragam
SMP), dan memakai sandal jepit berwarna kuning. Kakek menggoncengku, sedangkan
Safira tetap mengayuh sepedanya.
Tak terasa, akhirnya sampai di sawah sekitar pukul 06.00.
Kakek segera menuju tanah garapannya, aku dan Safira mengikutinya dari
belakang. Entah apa tugas kami disini, yang penting membantu kakek. “Kek, ada
yang bisa kami bantu?”tanyaku. “Mmm,, kalian menanam padi saja ya. Nanti kakek
ajarkan langkah-langkahnya.”jawab Kakek Alif. Kami mengangguk.
Sambil bekerja, tak ada salahnya jika aku menanyakan
sedikit tentang Kakek Alif. “Kek, Farah boleh tanya sesuatu tidak?”tanyaku
memulai pembicaraan. “Boleh! Tanya saja.”jawab Kakek. Aku memulai mengajukan
pertanyaanku. Safira tidak mendengarkan ucapan kami, karena dia tampak begitu
serius menanam padi. “Kakek lahir dimana? Cerita ya kek, hingga akhirnya kakek
bisa tinggal di Desa Saringpo itu.”tanyaku. “Kakek bukan penduduk asli desa
ini. Kakek berasal dari kota Sidopono, sama sepertimu. Begitu juga dengan
Safira, ia juga lahir disana.”jawab Kakek. “Lantas, kenapa kakek pindah ke kota
Tulungmegung, dan tinggal di desa Saringpo?”tanyaku lagi. “Waktu itu, mungkin
sekitar dua belas tahun yang lalu, di Kota Sidopono terjadi gempa bumi dahsyat.
Dan Safira masih berumur 3 tahun. Kakek dan Safira terpisah dari keluarga. Anak
kakek, menantu kakek, dan adiknya Safira saat itu sedang pergi. Di rumah hanya
ada kakek dan Safira. Saat gempa itu terjadi, kakek dan Safira memilih keluar
dari rumah dan menyelamatkan diri. Lalu kami tinggal di tempat pengungsian.
Saat itu, kakek sudah tak memikirkan bagaimana nasib keluarga kakek. Oleh tim
penyelamat, kami dicarikan tempat tinggal, dan menetaplah kakek di desa
Saringpo itu.”cerita kakek Alif panjang lebar. “Apakah kakek tidak ingin
kembali ke kota Sidopono dan mencari keluarga kakek?”tanyaku. “Sampai sekarang
kakek belum mendapat kabar tentang keluarga kakek. Dan, kakek sudah merasa
nyaman tinggal di desa ini bersama cucu kakek, Safira. Sebenarnya kakek
berharap, suatu saat Safira bisa menemukan orang tuanya dan adiknya, jika
memang masih hidup. Kasihan dia, masa kecilnya berlalu tanpa sosok orang
tua.”jawab Kakek Alif. Aku mengerti ucapan Kakek Alif.
Kami melanjutkan bekerja. Aku menghampiri Safira yang
terlihat sibuk menanam padi. Sedangkan kakek menghampiri petani lain. Pagi itu
menjadi pagi yang amat menyenangkan, melakukan hal yang sebelumnya mungkin belum
pernah kulakukan. Ditemani oleh kicauan burung dan cerahnya sinar matahari,
menambah kehangatan suasana saat ini.
Para petani Desa Saringpo sangatlah rajin. Mereka mencari
nafkah setiap hari demi keluarganya. Selain itu, sikap kekeluargaan diantara mereka
amatlah rekat. Mereka bergotong royong demi kepentingan bersama. Jika dalam
peribahasa, ibarat ‘berat sama dipikul, ringan sama dijinjing’. Segala masalah
dirasakan oleh semua. Mereka menyelesaikan masalah yang dihadapi secara
bersama-sama. Kebersamaan mereka itu lho, yang patut dikagumi. Sebaliknya, jika
ada sesuatu yang menggembirakan, mereka juga merayakannya bersama-sama.
Aku kagum melihat perjuangan Kakek Alif. Meskipun sudah
tua, beliau tetap bekerja demi menghidupi dirinya dan cucunya, Safira. Beliau
sangatlah hebat, bisa menyekolahkan Safira dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Semangat
Kakek Alif patut dicontoh. Mencangkul tanah, menanam padi, mengairi sawah,
memanen padi, seolah menjadi makanan Kakek Alif sehari-hari. Meskipun lelah,
Kakek Alif tak pernah mengeluh. Apapun dilakukan demi kebahagiaan Safira.
Seandainya saja, Kakek Alif adalah kakek kandungku.
Setelah selesai menanam padi, aku dan Safira izin pulang
ke rumah untuk menyiapkan makan siang dan sholat zuhur. Di tengah perjalanan, kami
mampir terlebih dahulu di pasar dekat rumah. “Safira, kita memasak apa
nanti?”tanyaku. “Kamu ingin makan apa?”tanyanya balik. “Masak masakan spesial
yuk! Bagaimana kalau kita memasak oseng-oseng kangkung, lauknya ikan mujaer?”usulku.
“Oke!”balasnya.
Sesampai di rumah, kami segera menuju dapur dan memasak.
Seperti biasa, aku bertugas memotong-motong sayur dan mengupas kulit bawang.
Sedangkan Safira yang memasaknya. Kami memasak sambil bercerita seru. Hingga
tak terasa, masakan kami pun telah matang. Kebetulan, saat itu Kakek Alif juga
sudah pulang. “Kakek, ayo kita makan siang!”seruku. Aku sudah tak sabar ingin
segera mencicipi masakan oseng-oseng kangkung tersebut.
“Enak tidak kek, masakan buatan kami?”tanya Safira. “Enak
sekali, oseng-oseng kangkung buatan cucu-cucu kakek. Kalian memang pintar
memasak!”puji Kakek Alif. Kami tersenyum, “Terima kasih, kek!”.
Setelah makan siang, tiba-tiba aku teringat tentang ide
cerita yang pernah aku buat waktu itu. Aku ingin mengembangkannya menjadi
sebuah novel. Safira asyik melihat acara memasak favoritnya di salah satu
stasiun televisi. Sedangkan kakek Alif mencuci sepeda di garasi.
Oh iya, aku belum menceritakan ide ceritaku. Sssttt,,,
ini rahasia, yang tahu hanyalah aku, Safira, dan kalian! Mau tahu apa ide ceritaku?
Ini dia:
Ada seorang anak perempuan yang
bersekolah di salah satu SMP di kota. Dia jago bulu tangkis dan karate. Tapi,
ia kurang mampu menguasai pelajaran yang didapatnya. Akibatnya, nilai rapotnya
buruk, dan hanya unggul di bidang olahraga. Sampai akhirnya pada suatu hari,
dia memiliki seorang sahabat yang dapat merubah cara berpikirnya, sehingga ia
lebih mampu menguasai pelajaran. Prestasi di bidang olahraga nya pun tetap
berjalan dengan baik. Ternyata, ia memiliki bakat terpendam, yaitu fotografi.
Saat memasuki usia remajanya, dia telah menjadi atlet bulutangkis dan
fotografer.
Hmm,, bagus tidak ide ceritaku? Belum tuntas sih, bahkan
aku pun belum mencari ide kelanjutan dari cerita itu. Sudahlah, jangan
dipikirkan! Aku menulis kata demi kata sehingga tak terasa tulisanku sudah
menjadi 6 halaman kertas buku tulis. Dan ups, tinta bolpoin ku habis. Dengan
terpaksa, aku menghentikan kegiatanku.
Malam harinya, aku menyusun rencana kegiatan yang akan
kulakukan besok. Tiba-tiba Safira menghampiriku. “Farah belum tidur? Ayo tidur,
sudah larut malam lho!”ucapnya. Aku mengangguk. Kami pun tertidur pulas.
Hari demi hari dilalui. Hingga tak terasa, masa liburan
telah habis. Dan besok, aku sudah kembali bersekolah seperti biasanya. Buku
pelajaran, seragam, hingga alat tulis sudah kupersiapkan. Aku tak sabar, ingin
bertemu dengan teman-temanku.
0 comments:
Post a Comment